BeritaLBH Papua ‘Bongkar’ Empat Kasus Kekerasan Negara Terhadap Anak

LBH Papua ‘Bongkar’ Empat Kasus Kekerasan Negara Terhadap Anak

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyatakan hingga kini masih nihil perlindungan anak dalam kebijakan pertahanan keamanan di Tanah Papua.

“Negara melalui aparat keamanan wajib memenuhi, melindungi dan menghormati hak anak-anak di wilayah Papua,” ujar Emanuel Gobay, direktur LBH Papua, dalam siaran pers pada perayaan hari anak sedunia atau Universal Children’s Day 20 November 2022.

Ditegaskan, anak-anak Papua rentan dengan berbagai tindak kekerasan.

“Pada prinsipnya, setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual, sebagaimana diatur pada Pasal 15 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,” tulisnya dalam siaran pers dengan nomor 012/SP-LBH-Papua/XI/2022 tertanggal 22 November 2022.

Sekalipun demikian, kata Emanuel, pada prakteknya masih banyak anak yang tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana dimaksud diatas.

“Dengan menyadari bahwa di semua negara di dunia terdapat anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sangat sulit dan anak-anak seperti itu memerlukan perhatian khusus, sehingga dirumuskan Konvensi Tentang Hak Anak yang telah diratifikasi kedalam sistem hukum Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-hak Anak.”

Selain itu, kebijakan perlindungan terhadap anak nasional yang dijamin sebagaimana dalam ketentuan terkait “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” sebagaimana diatur pada Pasal 28b ayat (2) UUD 1945. Dalam rangka mengefektifkan jaminan perlindungan anak, maka negara telah diberikan kewajiban sesuai ketentuan “Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak, negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (2) Undang-undang nomor 35 tahun 2014.

Baca Juga:  Usut Tuntas Oknum Aparat yang Diduga Aniaya Warga Sipil Papua

“Pada prakteknya jaminan perlindungan terhadap anak di wilayah Papua masih jauh dari harapan ketentuan hukum diatas. Salah satu fakta nihilnya perlindungan terhadap anak di Papua terlihat dalam kasus implementasi kebijakan pertahanan keamanan di Papua yang menjadi kewenangan pusat sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua,” bebernya.

Berdasarkan fakta ditemukan beberapa fakta pelanggaran hak-hak anak dalam implementasi kebijakan pertahanan keamanan di Papua sebagaimana terlihat melalui kebijakan pendropan pasukan di beberapa kabupaten di Papua sejak tahun 2018 sampai dengan 2022 sebagaimana terjadi di kabupaten Nduga, Intan Jaya, Mimika, Puncak, Pegunungan Bintang, dan kabupaten Maybrat di provinsi Papua Barat telah mencatat tingginya kasus pengungsian yang mayoritas diisi oleh anak-anak yang belum mampu ditangani secara maksimal oleh negara melalui pemerintah sesuai ketentuan Pasal 28b ayat (2) UUD 1945 junto Pasal 21 ayat (2) UU nomor 35 tahun 2014.

“Terlepas dari itu, ada sejumlah kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan terhadap anak selama tahun 2022 yang terus meningkat di wilayah Papua,” ujarnya.

LBH Papua memaparkan empat dari beberapa kasus kekerasan terhadap anak-anak selama tahun 2022.

Pertama, kasus oknum anggota menginterogasi dan menyiksa tujuh anak ini secara berulang kali dengan kabel dan besi dari 23 Maret 2022 hingga 24 Maret 2022 di kabupaten Puncak. Ketujuh anak korban tindakan kekerasan serta penyiksaan yaitu DM (SD kelas 5), DK (SD Kelas 4), FW, EM, AM, WM, dan Makilon Tabuni (SD Kelas 6). (https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/03/24/investigasi-komnas-ham-anggota-tni-diduga-aniaya-tujuh-anak-di-sinak).

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

Kedua, dalam kasus pembunuhan dan multilasi yang melibatkan oknum anggota TNI sebagai pelaku 22 Agustus 2022 terlihat salah satu korban pembunuhan dan mutilasi masih berusia anak. Hal tersebut dibuktikan dengan data administrasi kependudukan berupa kartu keluarga yang menyatakan bahwa korban JT masih berusia 17 tahun (https://kontras.org/2022/09/23/temuan-atas-investigasi-kasus-pembunuhan-dan-mutilasi-empat-warga-sipil-di-mimika-papua/).

Ketiga, kasus kekerasan dalam bentuk penyiksaan dan penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan terhadap Rahmat Faisei (14) bersama dua temannya, Bastian Bate (13) dan Laurents Kaung (11) di kabupaten Keerom, pada 28 Oktober 2022. Pelakunya prajurit TNI AD. (https://jubi.id/tanah-papua/2022/3-anak-di-keerom-diduga-dianiaya-prajurit-tni-ad-dengan-rantai-gulungan-kawat-dan-selang-air/).

Keempat, kasus tertembaknya seorang anak perempuan berinisial ED di kampung Yokatapa, distrik Sugapa, kabupaten Intan Jaya, 4 November 2022. (https://suarapapua.com/2022/11/04/aparat-tembak-seorang-anak-perempuan-dan-satu-pemuda-yang-diduga-anggota-tpnpb-di-sugapa/).

Emanuel menyatakan, dari beberapa kasus yang dialami anak-anak Papua itu merupakan fakta bahwa dalam perayaan hari anak sedunia tahun 2022 menunjukan tingginya kasus kekerasan terhadap anak dalam praktek pendekatan keamanan di Papua yang terjadi secara berulang di tempat yang berbeda-beda dengan bentuk yang beragam mulai dari pendropan pasukan yang berujung pada terjadinya pengungsian yang diisi oleh anak-anak, tindakan penganiayaan terhadap anak, tindakan penyiksaan terhadap anak, tindakan penyalahgunaan senjata api terhadap anak serta pembunuhan dengan cara multilasi terhadap anak.

Berbagai kasus kekerasan terhadap anak menunjukan nihilnya implementasi ketentuan “Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak, negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (2) Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak oleh aparat keamanan yang menjalankan pendekatan keamanan di Papua, sehingga menunjukan kondisi ketidaknyamanan anak-anak Papua dalam implementasi kebijakan pertahanan keamanan yang menjadi kewenangan pusat sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi provinsi Papua.

Baca Juga:  Situasi Paniai Sejak Jasad Danramil Agadide Ditemukan

Atas dasar kesimpulan tersebut, LBH Papua menggunakan kewenangan terkait “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kepada:

Pertama, Presiden Republik Indonesia dalam menjalankan kewenangan pertahanan keamanan di Papua wajib menjalankan ketentuan negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sesuai Pasal 21 ayat (2) Undang-undang nomor 35 tahun 2014.

Kedua, Ketua DPR RI segera mengawasi kewajiban memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sesuai Pasal 21 ayat (2) Undang-undang nomor 35 tahun 2014 dalam implementasi kebijakan pertahanan keamanan di Papua.

Ketiga, Panglima TNI segera proses hukum seluruh oknum anggota TNI pelaku tindak kekerasan terhadap anak di Papua.

Keempat, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) segera menjalan tugas sesuai Pasal 76 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 di Papua.

Kelima, Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Papua segera membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sesuai perintah Pasal 74 ayat (2) Undang-undang nomor 35 tahun 2014.

REDAKSI

 

 

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Yahukimo Belum Seriusi Kebutuhan Penerangan di Kota Dekai

0
“Pemerintah kita gagal dalam mengatasi layanan penerangan di Dekai. Yang kedua itu pendidikan, dan sumber air dari PDAM. Hal-hal mendasar yang seharusnya diutamakan oleh pemerintah, tetapi dari pemimpin ke pemimpin termasuk bupati yang hari ini juga agenda utama masuk dalam visi dan misi itu tidak dilakukan,” kata Elius Pase.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.