BeritaTerdakwa Tunggal Kasus Paniai Berdarah Dituntut Hukuman 10 Tahun Penjara

Terdakwa Tunggal Kasus Paniai Berdarah Dituntut Hukuman 10 Tahun Penjara

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, terdakwa tunggal dalam kasus dugaan pelanggaran HAM Berat Paniai 2014 didakwa hukuman pidana 10 tahun. Terdakwa dituntut hukuman paling minimal dalam sidang 14 November 2022 di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Utara, setelah sidang ditunda sepekan sebelumnya.

Hingga sidang dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 masih mengamini bahwa Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai 2014 hanyalah formalitas semata.

“Karena di tiap prosesnya masih jauh dari kata keadilan dan tidak adanya penegakan hukum bagi masyarakat sipil khususnya Orang Asli Papua selama dua dekade. Terlebih dalam agenda pemeriksaan saksi, korban dan saksi dari kalangan masyarakat sipil minim dilibatkan dalam prosesnya. Maka, tidak heran jika narasi yang timbul selama proses persidangan adalah narasi yang dibangun oleh TNI-Polri,” demikian dikutip dari siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014, Senin, 14 November 2022.

Lanjut ditulis, selang dari pembacaan sejumlah catatan atas berbagai kesaksian yang sangat didominasi oleh unsur TNI dan Polri ini, JPU kemudian menuntut terdakwa dengan hukuman pidana selama 10 tahun.

“Jaksa Penuntut Umum yakin Terdakwa bersalah atas kedua pasal yang dikenakan yakni kejahatan kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan dengan juga penggunaan unsur rantai komando. Dengan demikian menurut Jaksa, dakwaan terhadap terdakwa telah terpenuhi secara keseluruhan dan terbukti secara hukum melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat secara sah yang diatur dalam dua dakwaan yakni Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).”

Oleh karena dakwaan kesatu telah terpenuhi, pihak penuntut umum menyebutkan jika terdakwa juga disebut memenuhi dakwaan kedua, karena dakwaan bersifat kumulatif yaitu sesuai Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Baca Juga:  Raih Gelar Doktor, Begini Pesan Aloysius Giyai Demi Pelayanan Kesehatan di Papua

“Hukuman pidana 10 tahun merupakan hukuman pidana paling singkat bagi tiap pelaku yang memenuhi unsur Pasal 36 dan 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM atas jenis kejahatan kemanusiaan yang dilakukan. Meski JPU panjang lebar menguraikan tentang kronologis hingga bentuk-bentuk kesalahan Terdakwa yang utamanya dianggap gagal berkoordinasi dengan pejabat yang punya kewenangan lebih tinggi guna mencegah peristiwa terjadi, JPU dengan sejumlah poin yang meringankan hanya menuntut Terdakwa dengan ancaman pidana minimal,” urainya.

Koalisi mengungkapkan, berhentinya penentuan pertanggungjawaban komando hanya ke individu dengan kedudukan jabatan tertinggi di lokasi pada waktu kejadian juga menunjukkan kekeliruan JPU tidak mendalami pertalian peristiwa yang ketiga, terakhir, namun tidak kalah penting, yakni adanya kebijakan negara melalui Polri dan TNI yang menetapkan kabupaten Paniai sebagai salah satu zona rawan (zona merah) dari 11 wilayah di Papua. Penetapan daerah rawan yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Operasi Aman Matoa V oleh Polda Papua yang diduga dilakukan dengan bantuan anggota Kodam TNI XVII/Cenderawasih, khususnya Timsus (Tim Khusus) 753/AVT.

Sebagaimana penyelidikan Komnas HAM telah menyampaikan peristiwa kekerasan di Paniai pada 7-8 Desember 2014 tidak akan terjadi jika tidak ada Timsus 753/AVT beserta kelengkapan pos dan infrastrukturnya yang membantu Operasi Aman Matoa V.

“Salah satu indikatornya sebagaimana disampaikan oleh beberapa saksi, bahwa akibat Paniai ditetapkan sebagai daerah rawan, maka dalam gudang senjata hanya ada peluru tajam, bukan peluru hampa atau karet. Dengan demikian, senjata yang dipegang aparat TNI di lokasi memang dimaksudkan untuk perang/pertahanan terhadap ancaman dari luar negara, bukan untuk memproses KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata adalah ranah keamanan, bukan pertahanan) apalagi menghadapi masyarakat sipil tanpa senjata,” bebernya.

Seperti yang diramalkan oleh khalayak ramai, Koalisi menyebut memang dapat diperkirakan bahwa Terdakwa hanyalah kambing hitam dari peristiwa ini.

“Upaya terus melanjutkan proses hukum hanya terhadap satu terdakwa ditengarai sebagai misi untuk merekonstruksi konsep pertanggungjawaban komando yang dibuat seolah memungkinkan bahwa pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat bisa dibebankan ke salah satu orang saja. Padahal tanpa pengenaan pasal rantai komando, tiap orang yang melakukan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan di Undang-Undang Nomor  26 tahun 2000 juga patut dituntut oleh negara.”

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

Koalisi juga mencermati uraian yang dicantumkan dalam berkas tuntutan yang nafasnya tak berbeda jauh dengan berkas dakwaan disebabkan karena komposisi saksi yang didominasi oleh unsur aparat baik dari TNI maupun POLRI. Narasi-narasi berupa tindakan kekerasan dan perilaku tidak pantas dari korban dan masyarakat selalu didengungkan seolah untuk dijadikan pembenaran. Meskipun jika benar adanya tindakan kekerasan dari warga, sistem hukum tidak membenarkan adanya tindakan tidak terukur yang berujung dengan kejahatan kemanusiaan.

“Dalam sistem hukum pidana yang berkeadilan, warga yang tertangkap tangan melakukan kekerasan tetap harus menempuh proses yang bebas dari penyiksaan dan ketidakadilan apalagi pembunuhan di luar proses hukum.”

Koalisi mencatat salah satu narasi yang dijadikan alasan yang meringankan diri Terdakwa namun tidak ada kaitannya adalah bahwa ada keterangan dari saksi perihal telah ada bantuan sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus rupiah) dari pemerintah daerah Paniai kepada para korban. Keterangan yang tidak diuji sebab pengadilan nihil partisipasi korban ini sangat sesat apabila dijadikan alasan yang meringankan.

“Selain soal sumber aliran dana yang bukan dari sisi pelaku, melainkan pihak pemerintahan, pemulihan para korban tidak bisa dijadikan sandaran untuk meringankan apalagi menihilkan pertanggungjawaban pelaku. Derita korban pelanggaran HAM berat jelas melampaui urusan sosial ekonomi dan ini tentu patut disesalkan bahwa Kejaksaan Agung tidak sensitif terhadap para korban dan publik, serta tidak memberikan penegakan hukum bagi masyarakat sipil khususnya Orang Asli Papua.”

Dengan kondisi persidangan seperti ini, bagi Koalisi, ekspektasi akan terungkapnya kebenaran, dituntut dan diadilinya seluruh pelaku, pemulihan para korban hingga jaminan ketidakberulangan dengan salah satunya berupa koreksi dan evaluasi TNI-Polri di Peristiwa Paniai 2014 sepertinya masih jauh di awang-awang.

Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

Pekan Depan Sidang Pleidoi

Dalam sidang pembacaan dakwaan, Senin (14/11/2022), tim JPU meminta Majelis Hakim Pengadilan HAM Makassar menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap terdakwa tunggal pelanggaran HAM Paniai.

Tim jaksa Emilwan Ridwan dalam pembacaan tuntutannya menyatakan, Terdakwa terbukti melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Tujuh orang tim JPU yang dipimpin Direktur Pelanggaran HAM Jampidsus Kejagung Erryl Prima Putra Agoes membacakan surat tuntutan terhadap Isak Sattu secara bergantian.

Mendengar tuntutan tersebut, Terdakwa akan mengajukan pleidoi atau nota pembelaannya.

Setelah pembacaan tuntutan dakwaan 10 tahun, rencananya pada pekan depan (28/11/2022) sidang dengan agenda pembelaan terdakwa. Pembacaan pleidoi sempat ditunda karena Penasihat Hukum Terdakwa belum siap untuk membacakan nota pembelaan terdakwa atas tuntutan tim JPU.

Penundaan pembacaan pleidoi diterima Majelis Hakim pada sidang pekan lalu, Senin (21/11/2022). Majelis Hakim bersepakat menunda hingga sepekan agar nota pembelaan terdakwa disiapkan dengan baik.

Sidang dipimpin lima orang hakim, terdiri dari dua hakim karier dan tiga hakim ad hoc, yaitu Sutisna Sawati, Abdul Rahman Karim, Siti Noor Laila, Sofi Rahma Dewi, dan Robert Pasaribu.

Setelah bermusyawarah atas permohonan penundaan, Hakim mengingatkan Penasehat Hukum Terdakwa segera mempersiapkan agar nantinya berjalan lancar sesuai agenda persidangan.

Dari sidang pembacaan pleidoi kemudian akan dipelajari lagi untuk selanjutnya penyampaian tanggapan.

Ahmad Kautibi, salah satu kuasa hukum Terdakwa, menyatakan telah menyiapkan pembelaan terbaik bagi kliennya.

Menurut Ahmad, tuntutan dakwaan tersebut tidak benar dan tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-01/A/Fh.1/04/2022 tanggal 1 April 2022 yang ditetapkan Jaksa Agung selaku penyidik membeberkan mengenai penyebab terjadinya pelanggaran HAM Berat Paniai.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.