Bonus Demografi Vs Sketsa Pendidikan di Tanah Papua

Sebuah Catatan Reflektif   Menyambut Kedatangan Otsus Jilid II dan DOB

0
1196

Oleh: Manio Nafaro)*
)* Penulis adalah pemerhati isu demokrasi dan keadilan sosial di Tanah Papua

Sebagaimana pemberitaan di news.detik.com 31 Januari 2019, provinsi Papua telah memasuki masa bonus demografi sejak tahun 2013 dimana BPS merilis angka rasio ketergantungan sejak tahun tersebut adalah di bawah 50 persen. Dan puncak era bonus demografi ini terjadi pada tahun 2020-2030, saat dimana 70 persen penduduk Papua berada pada usia produktif, yakni usia antara 15 – 65 tahun.

Tidak hanya di provinsi Papua saja, bonus demografi juga terjadi di Papua Barat. Seperti diberitakan jubi.co.id 9 Desember 2021, berdasarkan hasil sensus penduduk 2020 oleh BPS, penduduk usia produktif di Provinsi Papua mencapai 78,40 % dari 4,3 juta penduduk, yakni 3.371.200 orang. Sementara penduduk usia produktif provinsi Papua Barat mencapai 71,42 % dari 1,34 juta jiwa penduduk, yakni 956.760 orang.

Menurut perspektif teori, bonus demografi, akan sangat menguntungkan secara ekonomi, sebab sebagian besar penduduk merupakan SDM yang dapat bekerja dan akan memiliki penghasilan, sehingga otomatis jumlah pengangguran akan berkurang, dan kesejahteraan akan meningkat. Dengan kata lain, jika ledakan penduduk usia produktif ini diserap secara optimal, maka akan menjadi stimulus bagi kemajuan pembangunan. Sebaliknya, jika penduduk usia produktif ini tidak diserap secara optimal karena keterbatasan peluang kerja yang ada atau karena keterampilan dan pengetahuan yang tidak memadai, maka mereka justru akan menjadi beban pembangunan.

ads

Bagaimana dengan Tanah Papua, apakah semua penduduk usia produktif di Tanah Papua memiliki ijazah dan tingkat pendidikan yang memadai? Apakah mereka memiliki keterampilan khusus yang memadai untuk direkrut sebagai tenaga kerja handal? Lalu, berapa banyak lowongan pekerjaan yang tersedia? Tiga pertanyaan di atas sebagai pemicu untuk merefleksikan kondisi kompetensi SDM Orang Asli Papua (OAP) berusia produktif di era bonus demokrasi yang sementara kita masuki ini.

Angka pengangguran di Provinsi Papua sesuai data BPS Agustus 2020 mencapai 75.658 orang dan tahun 2019 angkanya sebesar 65.143 orang. Di Provinsi Papua Barat jumlah pengangguran per Februari 2022 mencapai 35.086 orang, meningkat sebanyak 4.775 dibanding tahun sebelumnya. Jika pengangguran ini lebih dipengaruhi oleh minimnya lapangan pekerjaan di Tanah Papua, kenapa justru Pemerintah Pusat membangun smelter PT. Freeport di Gresik, Jawa Timur? Atau mungkinkah smelter ditukar dengan Otsus Jilid II dan DOB di Tanah Papua? Kalau demikian, berapa ribu manusia produktif asli Papua yang akan terserap ketika DOB beroperasi?

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sebuah hasil penelitian berjudul, “Riset: negara masih absen dalam pendidikan di Papua, dari ketimpangan guru hingga salah manajemen siswa” (theconversation.com, 8 April 2022), melaporkan, dari berbagai hasil studi yang dipelajari menunjukan bahwa pemerintah dengan sejumlah strateginya belum dapat mengatasi masalah pelik tanah Papua. Otonomi Khusus (Otsus), pembangunan infrastruktur, bahkan pemekaran wilayah ternyata belum mampu membuat OAP menjadi sejahtera. Bahkan OAP belum bebas dari stigma yang melekat pada dirinya, yaitu “miskin, sakit, dan tak terdidik”. Menurut laporan ini, pendidikan sebagai salah satu kebijakan sosial yang lebih krusial untuk meningkatkan kualitas manusia di Papua, masih mendapat perhatian yang sedikit. Laporan ini mengangkat tiga pokok masalah yang ditemukan, yaitu:

  • “Adanya jurang yang masih lebar terkait kehadiran guru berkualitas pada berbagai jenjang pendidikan di Papua”. Guru-guru kebanyakan terkonsentrasi di perkotaan, sementara di kampung-kampung yang sesungguhnya merupakan kantong OAP hanya ditangani dengan guru berkualitas alakadarnya.
  • Guru yang mengabdi di kampung-kampung atau kantong-kantong OAP juga lebih banyak guru non-PNS (honorer). Dimana kualitas guru PNS tentu lebih baik dari guru honorer dan lebih sejahtera dibanding guru honorer.
  • Adanya kesalahan manajemen pemberian beasiswa di Papua. Meski minimal Sembilan tahun belakangan ini pemda telah menjalankan program beasiswa, namun tidak dimonitor dengan baik. “Pemda hanya terlibat dalam proses penganggaran dan pencairan dana beasiswa, namun abai dalam tahapan monitoring dan evaluasi para pemegang beasiswa”.

Christian Sohilait ketika masih menjabat Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Provinsi Papua pernah mengatakan bahwa setidaknya ada tiga tema besar masalah dunia pendidikan di Papua, yaitu: angka buta huruf di Provinsi Papua yang masih ada; sarana-prasarana yang kurang dan dialami hampir seluruh sekolah; dan rendahnya minat baca terkait buku yang tidak menarik (m.liputan6.com, 27 Oktober 2020).

Selain tiga hal itu, ada juga persoalan keterbatasan jumlah guru, kualitas guru, dan soal kesejahteraan guru-guru itu sendiri. Ditambah lagi persoalan keamanan terkait konflik antar TPN- OPM dan aparat keamanan – di Kabupaten Nduga ada 4000 siswa yang selama 2 tahun 8 bulan terpaksa tidak sekolah. Walau sudah terbatas jumlahnya, seringkali guru-guru masih harus meninggalkan proses pembelajaran karena terpaksa mengurus sarana-prasarana sekolah yang kurang memadai. “Satu sekolah ada lima guru. Nanti satu guru pergi lobi ke pak gubernur, satu lobi ke kadisdik, satu lobi ke DPR, satu lobi kepada siapa lagi, hanya minta WC atau rung kelas atau buku. Lalu mereka tinggalkan sekolah itu”. Hal demikian disampaikan Christian Sohilait saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPRI (cnnindonesia.com, 24 Maret 2021). Dan pada kesempatan itu beliau juga juga meminta agar gaji dan tunjangan 3.527 guru honorer dan 1.400 guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dibiayai oleh pemerintah pusat.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Ketika memperingati Hari Pendidikan Nasional di Jayapura, tahun 2021, Christian Sohilait kembali angkat persoalan pendidikan di Provinsi Papua agar menjadi perhatian semua pihak terkait. Selain masalah guru, dia juga mengatakan bahwa ada 17 persen anak putus sekolah dan 27 persen buta huruf di Papua. Sementara itu kontribusi ke sektor pendidikan dari berbagai perusahaan yang berinvestasi di Papua masih sangat minim. Menurutnya, ada sekitar 30.000 perusahaan di Provinsi Papua tapi hanya 14 persen yang memiliki kontribusi bagi dunia pendidikan di Papua. “Masih terdapat sekolah-sekolah yang berada di lingkungan perusahaan besar Papua, namun tidak mendapat perhatian khusus dari perusahaan-perusahaan. Artinya lingkungan tidak memberikan dukungan,” kata Sohilait.

Dr. Ir. Agus Irianto Sumule baru-baru ini mengungkap kondisi pendidikan  yang sangat mencengangkan berbagai pihak  sebagaimana  kami akses pada situs “Hingga hari ini, 5 Oktober 2022, tidak ada satupun pemerintah kabupaten/kota di seluruh Tanah Papua yang mengalokasikan anggaran tahun 2022 untuk menyelesaikan masalah pembangunan paling krusial di tanah Papua: ada hampir 500.000 penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah,” demikian Sumule. “Untuk mendidik mereka guru- guru harus direkrut. tanah Papua kekurangan paling sedikit 33.000 orang guru, belum termasuk untuk guru-guru yang mangkir mengajar. Tidak ada upaya untuk itu sama sekali,” lanjutnya. “Pertanyaan kita: total dana Otsus 1,25% setara DAU Nasional tahun 2022 sebesar Rp 900 miliar lebih, yang dialokasikan untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua, dan Rp 1,25 triliun untuk provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat, digunakan untuk apa?” Pada paragraf lain ditulis bahwa ada salah satu kabupaten di tanah Papua (tidak disebut nama kabupaten) pada tahun 2022 memiliki hampir 7000 anak tak bersekolah, diantaranya 1.500 anak SD. Dimana hal ini berhubungan dengan dialihkannya dana pendidikan sebesar 25 miliar rupiah untuk membayar utang-utang program pendidikan terdahulu kabupaten dimaksud.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Di Provinsi Papua Barat ada 68.988 orang anak usia sekolah yang tidak sekolah. Dari jumlah itu, sebanyak 24.725 anak berada pada usia sekolah dasar atau SD, sedangkan anak usia SMP sebanyak 25.326 orang. Selanjutnya mereka yang seharusnya bersekolah di tingkat SMA dan SMK, namun tidak sekolah berjumlah 18.938 anak. Hal ini dipaparkan di Sorong oleh Dr. Agus Sumule saat rapat pokok kebijakan rencana induk pembangunan otonomi khusus bidang pendidikan dan kesehatan bagi OAP, diliput oleh media Antara (antaranews.com, 14 Oktober 2022).

Dalam jangka waktu 10 tahun kedepan dapat dipastikan pemerintah masih harus terus berusaha keras memecahkan persoalan pengangguran terbuka, tingginya angka putus sekolah, menurunkan angka buta huruf, meningkatkan kualitas pendidikan dan persoalan-persoalan pendidikan yang lain. Belum lagi kita bicara berapa banyak mahasiswa asli Papua yang terpaksa putus kuliah karena tidak mampu biayai studinya secara mandiri, atau yang sama sekali tidak pernah kuliah setelah tamat dari SLTA.

Menurut hemat kami, momentum emas bonus demografi ini secara tersamar sudah menunjukan sebuah ironi, kalau disandingkan dengan fakta persoalan pendidikan dan angka pengangguran yang ada di tanah Papua. Kalau saja pembangunan manusia pada dimensi pengetahuan berjalan dengan optimal, minimal selama masa Otsus jilid I dalam kurun waktu 20 tahun, bisa jadi bonus demografi yang ada saat ini akan menjadi masa panen raya SDM di tanah Papua. Namun pada kenyataannya terlihat adanya indikasi bahwa pada era puncak bonus demografi (tahun 2020-2030), Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya belum bisa menikmati peluang emas ini. Butuh waktu puluhan atau mungkin ratusan tahun lagi baru Bonus Demografi muncul lagi.

Jumlah OAP tidak banyak. Jika memang Pemerintah Indonesia di Jakarta dan di Papua sungguh-sungguh mau memajukan OAP di Tanah Papua, tentu bukan masalah berat. Namun kalau “percepatan pembangunan” hanya sebuah selubung dari keserakahan dan kapitalisasi Tanah Papua yang berefek pada marjinalisasi dan pelanggaran HAM terhadap OAP, maka Tanah Papua tidak akan pernah menikmati panen raya pada era Bonus Demografi yang berikut, sebaliknya justru berada dalam kemiskinan dan ketertindasan. Selamat datang Otsus Jilid II dan DOB! (*)

Artikel sebelumnyaTerdakwa Tunggal Kasus Paniai Berdarah Dituntut Hukuman 10 Tahun Penjara
Artikel berikutnyaPenegasan Koalisi LSM HAM Terkait Putusan Pengadilan HAM Kasus Paniai