PANIAI, SUARAPAPUA.com — Keluarga korban pelanggaran HAM Berat Paniai tahun 2014 mengaku tidak kaget dengan putusan vonis bebas kepada terdakwa tunggal, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, yang dibacakan majelis halim di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (8/12/2022).
“Keluarga korban sudah duga itu yang akan terjadi. Sekarang sudah terbukti, vonis bebas. Kalau tersangkanya satu orang saja itu putusannya nanti bebas. Makanya itu dari awal kami sudah tolak pengadilan HAM di Makassar,” kata Yones Douw, pendamping korban dan keluarga korban Paniai Berdarah, saat dihubungi suarapapua.com, Jumat (9/12/2022) pagi.
Selain belasan orang menderita luka-luka, empat pelajar: Alpius You, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei, tewas dalam tragedi Paniai Berdarah, 8 Desember 2014.
Yones menjelaskan, keluarga korban 4 orang bersama 17 orang luka-luka dalam tragedi berdarah di Enarotali, kabupaten Paniai, 7-8 Desember 2014, bersepakat tidak ikut hadir menyaksikan jalannya persidangan karena dari awal prosesnya sudah tidak memihak kepada korban dan keluarga korban.
Selain tidak terlibat bahkan tidak hadiri sidang di PN Makassar, keluarga korban tragedi Paniai Berdarah juga tidak memberikan rekomendasi kepada siapapun untuk mengikuti persidangan.
“Kami tahu hukum Indonesia. Kami kalau hadir di sidang, lalu memberi kesaksian dan putusannya seperti ini, keluarga dan korban luka-luka pasti menyesal seumur hidup. Vonis bebas itu kami kaget karena kami duga dari awal seperti begitu. Jadi, kami tidak menyesal dan tidak kaget dengan putusan pengadilan itu,” tuturnya.
Menanggapi putusan bebas tersebut, keluarga korban Paniai Berdarah menyampaikan pernyataan sikap sebagaimana dibeberkan dalam keterangan tertulis berisi lima poin.
Pertama, keluarga korban 4 siswa dan 17 orang luka-luka menolak sejak Jaksa Agung menetapkan satu tersangka dengan alasan kalau satu tersangka saja, putusan pengadilan terakhir kemungkinanb besar akan dibebaskan. Dugaan tersebut akhirnya menjadi kenyataan.
Kedua, keluarga korban meninggal dan korban luka-luka menolak mengawal dan menyaksikan pengadilan kasus HAM Paniai di PN Makassar karena dari awal proses tidak memihak kepada korban.
Ketiga, walaupun pemerintah Indonesia melalui Pengadilan Makassar memvonis bebas terdakwa, tetapi keluarga korban menyatakan kasus pelanggaran HAM berat Paniai belum diselesaikan oleh pemerintah secara adil dan jujur. Oleh karena itu, keluarga korban meninggal dan korban luka-luka menuntut kepada negara Indonesia agar harus dilakukan penyelidikan ulang atau membuka kembali dokumen penyelidikan Komnas HAM RI.
Keempat, keluarga korban meninggal dan korban luka-luka paham bahwa pemerintah Indonesia pasti akan mengutamakan kepentingan negara Indonesia dari pada menegakkan keadilan dan kejujuran bagi keluarga korban.
Kelima, keluarga korban jikapun menghadiri pengadilan juga tetap tidak akan dihargai sebagai manusia. Itulah sebabnya dari awal sudah menyatakan menolak hadir, karena mengingat pengalaman pengadilan pelanggaran HAM Papua sebelumnya.
Tepat 8 Desember 2014, delapan tahun silam, Paniai Berdarah terjadi, menelan korban nyawa 4 pelajar dan melukai belasan orang lainnya. Menanti keadilan dari negara selama delapan tahun, di tanggal yang sama, keadilan yang dinantikan, justru berbanding terbalik. Terdakwa divonis bebas dari segala jeratan hukum.
Hakim ketua Sutisna Sawati membacakan putusan, “Menyatakan, satu, terdakwa Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu dan kedua.”
Sidang dipimpin dua hakim karir, Sutisna Sawati dan Abdul Rahman Karim. Didampingi tiga hakim ad hoc: Siti Noor Laila, Sofi Rahma Dewi, dan Robert Pasaribu.
Sutisna membacakan putusan kedua, “Membebaskan terdakwa oleh karena itu, dari semua dakwaan penuntut umum.”
Putusan ketiga, memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat dan martabatnya.
Majelis hakim juga menyatakan, barang bukti yang ada tidak berlaku lagi.
Hakim Beda Pendapat
Dari lima majelis hakim yang menangani kasus Paniai 2014, dua diantaranya menyampaikan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
Meski begitu, mayoritas hakim berprinsip bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Isak Sattu terkait unsur pertanggungjawaban rantai komando tidak terbukti. Karenanya, terdakwa divonis bebas.
Kendati dijatuhkan vonis bebas, dua hakim menyatakan terdakwa yang saat kejadian 8 Desember 2014 berstatus sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai sesuai dengan dakwaan kesatu bahwa tidak ada pengendalian secara patut dan telah memenuhi salah satu unsur berupa pembunuhan, dan terjadi pola kekerasan yang sama.
“Majelis hakim menimbang karena telah terjadi korban jiwa dan sudah terbukti melakukan tindak pidanan menurut hukum, maka hakim ad hoc menyatakan dakwaan satu dan kedua terpenuhi,” kata hakim Sofi Rahma Dewi.
Robert Pasaribu, hakim ad hoc, menyatakan, pihak lain selain Isak Satty lebih bertanggung jawab, berdasarkan rantai komando secara berjenjang dalam perkara HAM Paniai.
“Berdasarkan komando teritori maupun pasukan khusus atau BKO (bawah kendali operasi), baik dari TNI maupun Polri,” ujarnya.
Sebelumnya, Jaksa dari Kejaksaan Agung menuntut terdakwa tunggal 10 tahun penjara.
Dakwaan pertama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dakwaan kedua, karena dakwaan bersifat komulatif, yaitu sesuai Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Terdakwa langsung mengucap syukur begitu divonis bebas majelis hakim. Saat bersalaman dengan kuasa hukum pun ia sempat meneteskan air mata haru.
Mantan Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai itu merasa putusan terbaik diterimanya karena tidak terlibat dalam seluruh dakwaan JPU.
Terhadap vonis bebas itu, Jaksa Erryl Prima Poetra Agus, mengatakan, masih pikir-pikir dulu untuk upaya hukum lanjutan yakni mengajukan banding atau kasasi. Ini juga sesuai amar putusan majelis hakim.
Dimulai sejak 21 September 2022, sidang pengadilan HAM Berat Paniai berlangsung selama 15 kali dengan menghadirkan 36 orang saksi. Terdiri dari 12 unsur Polri, 13 TNI, enam saksi ahli, dan dua warga sipil. Saksi sipil lainnya termasuk korban tidak dapat dihadirkan JPU di ruang sidang, dengan berbagai alasan. Berita acara pemeriksaan (BAP) dari tiga saksi sipil dibacakan di persidangan.
Pewarta: Markus You