Tanah PapuaAnim HaGugatan Suku Awyu di PTUN Jayapura Fase Akhir, Rencana Putusan Pekan Depan

Gugatan Suku Awyu di PTUN Jayapura Fase Akhir, Rencana Putusan Pekan Depan

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Gugatan masyarakat adat suku Awyu di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura memasuki babak final setelah proses persidangan berlangsung selama tujuh bulan lebih. Majelis hakim akan memutus perkara tersebut pada pekan depan, 2 November 2023.

Informasi itu disampaikan Tigor Gemdita Hutapea, salah satu kuasa hukum penggugat, melalui siaran pers ke suarapapua.com, Kamis (26/10/2023).

Tigor menjelaskan, dalam sidang sebelumnya (20/10/2023) para penggugat dan tergugat telah mengajukan kesimpulan.

“Kuasa hukum penggugat dalam sidang telah mengajukan kesimpulan kepada majelis hakim berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan. Baik fakta-fakta didukung dengan banyak alat bukti surat, keterangan para saksi, dan para ahli. Ada 102 bukti surat yang kami ajukan, menghadirkan enam orang saksi fakta, tiga ahli berlatarbelakang penyusun AMDAL, ahli pertanian masyarakat, dan hukum lingkungan. Semua bukti ini mendukung argumentasi kami,” bebernya.

Menurut Hutapea, gugatan dilatarbelakangi terbitnya keputusan kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi Papua nomor 82 tahun 2021 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 90 ton TBS/jam seluas 36.096,4 hektar ke PT Indo Asiana Lestari (IAL).

Baca Juga:  Jelang Idul Fitri, Pertamina Monitor Kesiapan Layanan Avtur di Terminal Sentani
Masyarakat adat Awyu, aktivis dan mahasiswa ketika gelar aksi di depan PTUN Jayapura, Kamis (6/7/2023). (Dok. Pusaka)

PT IAL diketahui perusahaan modal asing yang dikendalikan perusahaan asal Malaysia, All Asian Group.

Rencana perkebunan kelapa sawit tersebut telah ditentang masyarakat setempat yang khawatir kehilangan hak tanah adat yang dijaga dan dikelola turun temurun sebagai sumber kehidupan. Tindakan sepihak pemerintah yang tetap memaksa penerbitan izin akhirnya digugat.

“Kami menyimpulkan, proses penerbitan keputusan pemerintah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyusunan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) melanggar prinsip validitas data,” kata Tigor.

Sementara, Emanuel Gobay, direktur LBH Papua, mengemukakan dalam persidangan terungkap banyak data AMDAL yang tidak valid, penyusun juga tidak menganalisis nilai kenekaragaman hayati yang tinggi di lokasi, tidak melakukan analisis dampak deforestasi terhadap perubahan iklim.

Baca Juga:  Beredar Seruan dan Himbauan Lagi, ULMWP: Itu Hoax!

Selain itu, ujar Emanuel, dalam penyusunan AMDAL juga dengan sengaja tidak memasukan pendapat masyarakat yang melakukan upaya penolakan.

“Pemerintah seharusnya tidak mengeluarkan keputusan tersebut,” ujarnya.

Gobay menyatakan, gugatan tersebut mendapat dukungan dari berbagai masyarakat. Bahkan sebuah petisi disusun Gerakan Solidaritas Untuk Selamatkan Hutan Adat Papua dan ditandatangani 73 lembaga dan 94 individu.

“Dukungan awal telah diserahkan ke majelis hakim, dan pastinya dukungan akan bertambah hingga menjelang putusan.”

Termasuk, imbuh Emanuel, Komnas HAM, berbagai kalangan akademisi dan organisasi sipil menyusun Amicus Curiea atau sahabat peradilan yang dikirimkan ke Pengadilan.

Beberapa langkah tersebut dilakukan dengan target dalam putusan akhir dapat menyelamatkan ribuan hektare hutan.

“Kami berharap agar putusan hakim yang adil. Putusan ini akan menyelamatkan 26.326 hektar hutan alam kering yang dapat berkontibusi besar membantu mengatasi perubahan iklim dan memulihkan hak masyarakat adat,” ujar Gobay.

Baca Juga:  Kapendam Cenderawasih: Potongan Video Masih Ditelusuri
Kuasa hukum pengugat dari marga Woro dan suku Awyu, tampak berdiri di hadapan hakim usai sidang, Kamis (27/7/2023). (Supplied for SP)

Diberitakan sebelumnya, Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro, bagian dari suku Awyu, mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura pada 13 Maret 2023.

Hendrikus menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan pemerintah provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT IAL.

Muncul sikap perlawanan dari masyarakat adat karena sejak awal tak pernah dilibatkan. Dalam proses kesepakatan yang dibuat perusahaan dan pemerintah tidak melibatkan pemilik jak ulayat.

Berdasarkan keputusan kepala DPMPTSP Papua nomor 82 tahun 2021, luas lahan yang diizinkan adalah 36.094,4 hektare untuk PT IAL di distrik Mandobo dan distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel.

“Itu mereka lakukan tanpa sepengetahuan pemilik ulayat, suku, marga. Pihak perusahaan langsung klaim dan kuasai lahan seluas 36.094,4 hektare yang dimiliki oleh masyarakat adat suku Awyu,” kata Woro. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.