JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Agnes Callamard, sekretaris jenderal Amnesty International (AI), melakukan kunjungan tingkat tinggi ke Indonesia selama empat hari, 4-7 Maret 2025. Kunjungannya sebagai bagian dari kampanye global melawan meningkatnya tren praktik-praktik otoriter di dunia yang gejalanya sudah terlihat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Dilansir laman resmi Amnesty International Indonesia, Agnes Callamard mengakhiri kunjungannya di Indonesia dengan menemui pejabat di Kejaksaan Agung, Jumat (7/3/2025), membahas peran penting kejaksaan dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan mencegah penuntutan terhadap kasus-kasus kriminalisasi pembela HAM di Indonesia.
Sehari sebelumnya, Kamis (6/3/2025), Sekjen AI bertemu dengan ketua Mahkamah Agung dan beberapa hakim agung lainnya untuk membahas pentingnya menjaga independensi peradilan yang sering menjadi target serangan di negara-negara yang mengalami peningkatan praktik-praktik otoriter seperti baru-baru ini dilakukan Donald Trump di Amerika Serikat.
“Saya berkunjung ke Indonesia dalam rangka kampanye global menentang praktik-praktik otoriter di penjuru dunia sebagai bagian dari resistensi global terhadap langkah Donald Trump bersama sekutunya melanggar hak asasi manusia dan tata kelola global,” kata Agnes di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta, Jumat (7/3/2025).
“Saya sebelumnya berkunjung ke Sri Lanka membawa misi dan menyampaikan pesan yang sama kepada pemerintahan baru di sana. Sekarang saya di Indonesia untuk menganalisis perlindungan hak asasi manusia di negara ini,” jelasnya.
Selama kunjungan ini, Agnes menemukan tren global meningkatnya praktik-praktik otoriter, sayangnya, juga tercermin di Indonesia. Ia mencatat dalam beberapa tahun terakhir pelanggaran HAM dan militerisasi atas ruang-ruang sipil di Indonesia kian marak.
Ini bukanlah fenomena baru di Indonesia, tambah Agnes, sebab sejak 1965 hingga saat ini Indonesia telah menjadi teater pelanggaran HAM yang tak diusut secara tuntas.
Lewat pertemuan dengan beberapa otoritas di Indonesia, AI, lanjutnya, menyerukan penghentian impunitas bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Indonesia.
“Kami menyerukan pihak-pihak berwenang segera mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi lembaran hitam sejarah Indonesia. Ini termasuk pembunuhan putra dari ibu Sumarsih (Wawan) dalam demonstrasi mahasiswa 1998, yang hingga kini belum ada keadilan. Untuk itu, kami menyerukan adanya pengadilan ad hoc HAM untuk mengusut kasus ini,” ujar Agnes.
Sekjen AI juga menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya bagi para ibu maupun kerabat korban yang terus berjuang setiap hari, setiap bulan, dan setiap tahun mengkampanyekan keadilan, termasuk menggelar Aksi Kamisan dalam mengenang para korban.
“Selama kunjungan ke Indonesia, saya juga bertemu dengan sejumlah korban pelanggaran HAM, termasuk mereka yang berpartisipasi dalam unjuk rasa Indonesia Gelap bulan lalu dan aksi protes di Papua. Dalam kasus-kasus tersebut kami menyaksikan pengerahan kekuatan berlebih aparat keamanan atas para pembela HAM. Kami juga memantau kriminalisasi atas aksi-aksi yang tidak melanggar hukum, seperti aksi protes atas perubahan iklim, walaupun sebenarnya ada ketentuan hukum yang melindungi masyarakat yang memperjuangkan kepentingan publik (Anti-SLAPP),” beber Agnes.
Di Papua, AI Indonesia telah mendokumentasikan kasus-kasus penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, penahanan sewenang-wenang, dan belum satu pun kami melihat kasus-kasus tersebut telah diproses secara adil.
“Tahun lalu kami mendokumentasikan kasus penyiksaan yang menewaskan seorang korban, di mana tiga belas aparat diduga terlibat namun belum ada yang dibawa ke pengadilan. Jadi, jelas ada kebutuhan yang luar biasa agar keadilan atas kasus-kasus tersebut ditegakkan,” tuturnya.
Agnes menyerukan kepada pihak-pihak berwenang untuk sekuat tenaga mengakhiri pelanggaran-pelanggaran tersebut sekaligus menjamin perlindungan HAM di negeri ini.
“Saya pun menyerukan peran yang lebih besar bagi media-media massa yang independen beserta segenap masyarakat dan tokoh-tokoh agama untuk menentang bangkitnya praktik-praktik otoriter di negeri ini.”
“Mungkin hal itu tidak mengusik Anda hari ini, namun jangan salah, apabila hal itu dibiarkan maka akan banyak lagi yang terdampak, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.”
AI menyerukan Indonesia untuk segera menghentikan impunitas dan mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Indonesia pun perlu menggalang solidaritas dengan sesama negara berkembang untuk menghentikan praktik-praktik otoriter di seluruh dunia.
70 Tahun KTT Asia Afrika dan Perlunya Solidaritas Anti Penindasan
Agnes Callamard juga menyinggung serangan luar biasa dan terorganisir atas HAM yang digalang presiden AS saat ini, Donald Trump. Ini adalah fenomena global dan harus dihentikan.
“Kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah lain di kawasan,” tegasnya.
Tahun ini di bulan April, Indonesia akan merayakan 70 Konferensi Asia Afrika. Ia mengingatkan, 70 tahun lalu, tepatnya 1955, negara-negara Asia dan Afrika datang ke Indonesia bersama-sama menyatakan penolakan terhadap penjajahan dan mencanangkan era yang baru. Tetapi 70 tahun kemudian, dunia malah menghadapi era kemunduran, kembali ke era penjajahan, penindasan, agresi militer, dan genosida yang lebih buruk dari sebelumnya.
Maka, bagi Agnes Callamard, kini waktunya bagi Indonesia, sebagai pemimpin di kawasan, untuk menyerukan para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika agar bangkit dan bersama-sama menyerukan, “Ini bukanlah era dan tatanan dunia yang ingin kita bangun!”.
Pada 70 tahun lalu negara-negara di Asia dan Afrika dalam konferensi di Bandung bersama-sama mendeklarasikan hak bagi rakyat untuk menentukan nasib sendiri dan penghormatan terhadap HAM.
“Kini, pada tahun 2025, waktunya bagi kita untuk mengulangi peran yang bersejarah itu. Saya menyerukan kepada Indonesia untuk memainkan lagi peran bersejarah itu, dan menyatakan sikap bersama negara-negara berkembang lainnya untuk menolak Donald Trump yang membawa dunia kepada kehancuran,” tandasnya.
Selama di Jakarta, Agnes Callamard menemui para pejabat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Gubernur Jakarta serta perwakilan organisasi masyarakat sipil, jurnalis, hingga korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Kendati ia khawatir mengenai munculnya tren-tren praktik otoriter di Indonesia, Agnes optimistis atas sikap masyarakat sipil, aktivis hak-hak perempuan, feminis, perempuan muda, pelajar SMA dan pihak-pihak lain yang tetap teguh memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Agnes juga menaruh harapan karena setidaknya gubernur Jakarta yang ia temui telah berkomitmen untuk tak mengesahkan aturan apapun yang membolehkan praktik poligami dalam pemerintahannya.
“Saya menyerukan kepada semua pemerintah untuk mengikuti komitmennya dan secara tegas menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi poligami di Indonesia dan di seluruh dunia.” []