JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Aksi damai yang difasilitasi Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Kamis (20/10/2016) lalu, direspon Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPR PB).
Menurut Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH Manokwari, aksi damai dengan mengusung tema “Tanah Papua Zona Darurat HAM” itu diterima DPR PB dan berdialog dengan perwakilan massa aksi.
“Oleh karena itu, kami menyampaikan apresiasi sekaligus ucapan terima kasih kepada DPR PB yang telah menerima kedatangan massa aksi damai,” kata Warinussy, dalam keterangan yang dikirim ke media ini.
Dalam dialog, jelas dia, pimpinan DPR PB yang diwakili Fraksi Otsus sangat responsif terhadap pesan-pesan yang dikemukakan LP3BH bersama masyarakat sipil dan adat di Manokwari melalui pernyataannya saat itu.
Aksi ini diikuti rakyat Papua khususnya para korban pelanggaran HAM di Papua Barat. Massa aksi damai diterima Yan Anthon Yoteni beserta anggota DPR PB, salah satunya Imanuel Yenu.
Dominggus Sani, anggota Fraksi Otsus DPR PB, kata Warinussy, dalam dialog itu dengan tegas meminta DPR PB dapat menggunakan mekanisme internalnya untuk memanggil dan melakukan konsultasi langsung dengan para pemegang kekuasaan otoritas sipil dan militer di provinsi Papua Barat, khususnya menyangkut dugaan pelanggaran HAM yang Berat.
Dalam kesempatan itu, menurut dia, LP3BH diminta pimpinan dan anggota DPR PB untuk membantu dalam menyiapkan data-data yang diperlukan berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang Berat yang dahulunya terjadi di wilayah ini.
Kasus tersebut antara lain kasus Wasior (2001), kasus Manokwari Berdarah (1999), kasus Aimas Berdarah (2013), kasus Arfay (1969), kasus Masni (1965), juga kasus dugaan pembunuhan kilat dan penghilangan paksa terhadap Permenas B. Awom dan Josef Inden di laut Pulau Mansinam.
“Mantan Panglima OPM dan ajudannya itu sudah serahkan diri secara baik pada tahun 1970 kepada negara dan diterima oleh mantan Pangdam XVII Cenderawasih, Brigjen TNI Acub Zaenal. Tetapi kemudian hingga hari ini keluarga dan kerabatnya tidak pernah bertemu lagi. Jika mereka dua sudah mati atau tewas, dimanakah jasadnya?” tanya Warinussy.
Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” tahun 2005 di Montreal Canada ini menambahkan, hal lain yang mengemuka saat dialog, LP3BH diminta menyiapkan naskah akademik dan hukum dari rancangan peraturan daerah provinsi (Raperdasi) dan rancangan peraturan daerah khusus (Raperdasus) mengenai pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“Itu sesuai amanat pasal 44 dan 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008,” jelas Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua.
Pewarta: Mary Monireng