ArsipMULAI DARI GONTA GANTI NAMA, HINGGA COPY PASTE

MULAI DARI GONTA GANTI NAMA, HINGGA COPY PASTE

Sabtu 2014-04-05 16:22:00

Oleh: Oktovianus Pogau*

Bagian kedua, akan dibahas dinamika yang berkembang saat penyusunan draf RUU Otsus Plus, termasuk beberapa kali terjadi perubahan nama – draf Keempatbelas, yakni draf paling terakhir disebut dengan nama draf RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua.

KEPADA media massa di Jakarta dan Papua, Gubernur Papua Lukas Enembe menggembar-gemborkan hasil pertemuaan dengan Presiden SBY, pada 29 April 2013, terkait konsep Otonomi Khusus Plus, yang menurutnya akan dipersembahkan untuk kemuliaan orang Papua (dignity of Papuan people).

Yang lantas menjadi pertanyaan adalah, Otsus Plus yang dimaksud Gubernur Papua atas usul Presiden SBY ini apakah melakukan evaluasi menyeluruh seperti yang diamanatkan dalam UU No. 21/2001, pasal 77? Atau, melakukan rekonstruksi ulang – merombak seluruh isi dan makna – sesuai kemauaan Presiden SBY dan Gubernur Papua? Atau justru mengganti nama, dan bentuk UU No. 21/2001 dengan model UU yang baru?

Dalam perkembangannya, yang dilakukan oleh Gubernur Papua bersama tim asistensi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dan Universitas Cenderwasih – termasuk belakangan dilibatkan juga Gubernur Provinsi Papua Barat Bram Octovianus Ataruri dan tim asistensi Pemprov Papua Barat – adalah mengganti UU No. 21/2001 menjadi UU yang baru, dengan model yang baru pula.

Nama saja sudah mengalami perubahan, apalagi bentuk dan isi. Dalam UU No 21/2001 hanya ada XXIV BAB, dan 79 pasal, sedangkan pada RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua draf keempatbelas, yakni ada LI BAB, 369 pasal; Meningkat cukup drastis bukan? Pasal-pasal bertambah hampir tiga kali lipat.

Ganti Nama, Hingga Copy Paste

Gubernur Papua awalnya terlihat “malu-malu kucing” untuk mengatakan jika dalam pembahasan dan diskusi yang dilakukan dirinya bersama tim asistensi, juga dengan Velix Wanggai, Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah dan Pembangunan, adalah akan mengganti nama UU No. 21/2001 menjadi Undang-Undang Pemerintahan Papua (UU Pemerintahan Papua).

Namun, semakin jelas ketika pada 29 Mei 2013, Felix Wanggai mengatakan secara terbuka bahwa UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus akan berubah nama menjadi UU Pemerintahan Papua.

“Kami akan ganti nama UU No. 21/2001 menjadi UU Pemerintahan Papua. Ini untuk kerangka pembangunan, dimana kalau disebutkan Otsus hanya beberapa point-point yang dikelola, tetapi UU Pemerintahan Papua ini (Otsus Plus) adalah UU otonomi komprehensif yang didalamnya mengatur semua aspek didalam pembangunan, urusan kewenangan, dan urusan pusat dalam daerah, dan juga mengatur kewenangan-kewenangan yang selama ini dikelola oleh para menteri.” kata Wanggai kepada wartawan di Kantor Gubernur Papua, saat berlangsung Rakerdasus), yang dihadiri oleh kepala daerah di 29 Kabupaten/Kota yang ada di seluruh provinsi Papua.

Dengan konsep UU Pemerintahan Papua, tim asistensi dari Uncen yang dipimpin Dekan FH Uncen Martinus Salosa, bersama tim Asisten dari Pemprov yang dipimpin Kepala BAPPEDA Papua, Dr. Muhammad Mussad bekerja siang dan malam untuk menyusunnya menjadi sebuah draf, agar cepat disampaikan kepada Gubernur Papua.

Di pertengahaan Juli 2013, public dikejutkan dengan bocornya “Rancangan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang tentang Pemerintahan Papua” yang diduga kuat telah melakukan jiplak atau copy paste terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Bagaimana tidak terkejut, pada  naskah “Rancangan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang tentang Pemerintahan Papua” ditemukan antara lain, pada halaman 99  butir 5 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang berbunyi “Tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Aceh diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Kalimatnya sama persis  dengan UU Pemerintahan Provinsi Aceh Pasal 203 Ayat (1).

Kemudian, pada halaman 89, butir 1, pasal tentang Komunikasi dan Informatika disebutkan “Pemerintahan Papua mempunyai kewenangan menetapkan ketentuan di bidang pers dan penyiaran berdasarkan nilai Islam.” Terkait pasal ini, mendapat respon keras dari Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Kota Jayapura.

“AJI Kota Jayapura berkesimpulan bahwa pasal tersebut selain hanyalah plagiasi dari UU Pemerintahan Aceh, juga sangat bertentangan dengan realitas lokal di Papua yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Dan lebih dari itu, pasal tersebut jelas merupakan upaya membatasi kebebasan/kemerdekaan pers di Tanah Papua,” ujar Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor, di Jayapura, pertengahaan Juli 2013.

Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua juga meminta kepada pemerintah dan MRP mencermati ulang dengan seksama usulan perubahan atas UU No. 21/2001 yang sedang digagas pemerintah, sebab tak ada partisipasi publik.

“Pembahasannya harus melibatkan tenaga-tenaga akademisi yang jelas, dan yang mengenal budaya orang Papua, juga melibatkan seluruh komponen masyarakat di Tanah Papua,” tegas SE Foker LSM Papua, Lien Maloali.

Kemudian, karena merasa paling bertanggung jawab  dan bersalah atas “bocornya” dokumen tersebut, Felix Wanggai buru-buru melakukan klarifikasi kepada media massa di Papua – informasi yang berkembang draf tersebut berasal dari Jakarta, dan disusun oleh Felix Wanggai sendiri.

“Bukan copy paste, tapi kita belajar dari daerah–daerah lain tentang capaian mereka, jadi kita adopsi yang baik dan sesuai dengan kondisi di Papua, apakah itu dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh, bahkan Daerah Khusus Ibukota, kalaupun ada beberapa penggalan kalimat yang masih dicantumkan dalam draft yang beredar, itu sebagai bahan perbandingan, sekiranya hal tersebut perlu di atur juga di Papua, bisa mencontoh dari Aceh,” katanya kepada media ini, akhir Oktober 2013, membantah isu copy paste yang sudah cukup luas berkembang di Papua.

Tanpa partisipasi publik, dikerjakan atas usulan Presiden SBY bukan usulan rakyat Papua seperti yang diamanatkan dalam pasal 77 UU No. 21/2001, dokumen copy paste yang bocor,  tentu legitimasi dan kepercayaan public terhadap RUU Pemerintahan Papua sudah tidak ada lagi.

Tak mau ambil pusing, tim asistensi dari Uncen semakin giat bekerja, selain karena disokong dana yang cukup besar dari Pemerintah Provinsi Papua, juga karena diberikan batas waktu (deadline) oleh Gubernur Papua, yakni, diserahkan pada awal Agustus 2013, agar pada 17 Agustus 2013, Presiden SBY bisa secara resmi mengumumkan kebijakan Otsus Plus untuk Papua yang menjadi “kado” untuk rakyat Papua.

Namun, menurut Gubernur, yang ditargetkan oleh dirinya meleset, sebab tim asistensi Pemprov maupun Uncen tidak bekerja secara maksimal.

“Setelah draf selesai disusun oleh tim asistensi ternyata tidak sesuai dengan keinginan negara kita. Seharusnya tanggal 17 Agustus lalu sudah di bawa. Namun karena ada keterlambatan, sehingga saya lakukan pergantian,” ujar Gubernur.

Tim asistensi dari Uncen yang dipimpin langsung oleh Rektor Uncen, Prof. Dr. Karel Sesa, baru menyerahkan draf mereka pada 10 Oktober 2013, kepada Gubernur Papua.

“Terima kasih karena Uncen diberikan kepercayaan oleh Gubernur untuk mengerjakan ini. Terima kasih juga untuk tim asistensi Uncen yang telah bekerja siang dan malam untuk rampungkan ini. Saya harapkan ini betul-betul dikerjakan dengan baik, sehingga diharapkan hasil dari konsep ini melalui pak gubernur akan diteruskan kepada Preside,” ujar Sesa, sebelum menyerahkan kepada Gubernur Papua.

Usai Gubernur menerima draf dari pihak Uncen, tidak ingin bekerja lambat, maka segera dibentuk tim asistensi baru – yang bertugas untuk mensinkronisasikan draf dari Uncen dan Pemerintah Provinsi – untuk selanjutnya diserahkan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP).

Tidak butuh waktu lama untuk menyandingkan kedua draf tersebut, sebab pada 21 Oktober 2013, draf final hasil penggabungan dari tim asistensi Uncen maupun Pemrov telah diserahkan kepada MRP untuk selanjutnya di pelajari.

“Kita sudah sampaikan hasil konsultasi RUU Pemerintahan Papua secara resmi kepada MRP, dan MRP membutuhkan waktu beberapa hari untuk melihat draft RUU Pemerintahan Papua sebelum nantinya diserahkan selanjutnya ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP),” kata Kepala Bappeda Papua, Muhammad Musa’ad kepada wartawan, di Jayapura, akhir Oktober 2013.

Tak butuh waktu lama bagi MRP membaca draf yang diserahkan pemerintah Provinsi; sebab empat hari kemudian, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan bahwa MRP telah membaca dengan detil RUU Pemerintahan Papua, dan telah menyetujuinya, dengan mengatakan bahwa telah diboboti bagian-bagian yang kurang, tapi tidak menjelaskan apa pembobotan yang dimaksud.

Menjawa pro kontra RUU Pemerintahan Papua, Ketua MRP mengatakan, “Saya pikir kita tidak perlu pro dan kontra di Papua, kita harus bersatu dan berani katakan bahwa Otsus Plus harus jalan,” ujar Murib.

Apakah sang ketua MRP lupa dengan evaluasi otsus versi Orang Asli Papua yang dilakukan pada 24-27 Juli 2013, dengan rekomendasi pertama, membuka ruang untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan ditempat yang netral; dan kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan Dialog Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point (1) rekomendasi ini.

Di tingkat Papua, RUU Pemerintahan Papua sudah beres. MRP telah menyetujui, untuk selanjutnya di paripurnakan di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) pada akhir tahun. Tapi nampaknya ada yang masih kurang, yakni, keterlibatan Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Lantas kenapa Asisten I Pemprov Papua Barat ikut menandatangani? Apa respon tim asistensi dari Papua Barat yang sama sekali tidak dilibatkan? Dan bagaimana kelanjutan “konflik” antar tim dari Papua dan Papua Barat? Termasuk, keenganan Gubernur Papua Barat menandatangani draf tersebut walau akan diserahkan kepada Presiden SBY di Istana Bogor? Nantikan tulisan selanjutnya. (Bersambung).

*Oktovianus Pogau adalah wartawan, mengasuh situs berita dan informasi Suara Papua (http://www.suarapapua.com); tinggal di Kabupaten Intan Jaya, Papua.  

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.