ArsipDoktrin NKRI Harga Mati, Pintu Kekerasan di Papua

Doktrin NKRI Harga Mati, Pintu Kekerasan di Papua

Minggu 2015-12-12 14:04:14

Kasus berdarah tiada henti. Hukuman berat di akhirat menanti para pelaku pencabut nyawa.

Oleh: John NR Gobai*

Berbagai kekerasan negara terus menerus terjadi di Tanah Papua. Fakta tragis tersebut memang sangat memprihatinkan. Papua seakan ladang pembantaian (killing field).

Atas nama “NKRI Harga Mati”, kekerasan demi kekerasan menimpa umat Tuhan di tanah kaya raya ini. Aparat keamanan diajarkan untuk berpegang teguh pada doktrin yang jika dikritisi justru menjual muka negara di mata dunia internasional.

Kekerasan demi kekerasan di Tanah Papua hanya menciptakan duka lara, juga melahirkan kebencian warga terhadap negara.

Kekerasan jika dibalas kekerasan hanya akan menghasilkan dendaman, dan dendaman hanya akan menghasilkan kekerasan baru. Jika kekerasan itu bertahan terus, maka akan timbul rasa untuk ingin berlalu dan pergi jauh dari kenyataan hidup itu.

Bila kekerasan itu terjadi dalam sebuah keluarga, maka kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan dan sakit hati yang pada akhirnya salah satu pihak pergi dari kehidupan keluarga, akan menjadi pilihan terakhir.

Jika itu kekerasan dilakukan oleh Negara terhadap rakyat, maka apa yang akan terjadi? Jangan salahkan korban kekerasan, tetapi bertanyalah pada dirimu apa yang telah kau perbuat, jangan bertanya atau hanya menuding dan salahkan orang lain.

Doktrin Rusak

Kebersamaan akan terpelihara dengan baik jika ada kejujuran dan saling dialog yang terbuka dengan mengakui kesalahan masa lalu, mengakui tindakan represif yang mengakibatkan kekerasan dan pelanggaran HAM, sehingga yang nampak adalah sikap ksatria.

Langkah strategis adalah dengan membuka ruang dan waktu agar orang Papua dapat mengemukakan seluruh pengalaman kekerasan selama menjadi bagian dari NKRI, yang kini telah menjadi sebuah memoria passionis.

Singkatnya, peranan ABRI atau TNI dan Polri di Papua sejak tahun 1960-an sampai tahun 2000 harus dibuka secara jujur oleh Indonesia agar dapat disikapi secara bijak dalam konteks kemanusiaan, sementara itu seluruh pengalaman pahit orang-orang Papua mesti diakomodir pula di dalamnya sebagai bagian yang utuh.

Hal ini akan menjadi penting dalam membangun dialog, karena dialog tak mungkin akan dilakukan dalam keadaan orang masih dalam suasana dendam, sakit hati dan juga benci, sebab menurut saya, dialog hanya akan dilakukan dengan munafik.

Hal yang penting adalah mengesampingkan doktrin “NKRI Harga Mati”, karena dengan ini akan menghapus air mata dan mengobati luka hati orang Papua terkait adanya kekerasan yang pernah terjadi.

Sebagaimana diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus, menjadi agenda mendesak di Papua ini harus didukung oleh TNI/Polri, karena kita juga sadar bahwa yang melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM bukan institusi, melainkan oknum.

 

Namun jika oknum dilindungi oleh institusi, maka hanya akan merusak citra institusi; dan jika terus dilindungi, maka akan merusak citra negara. Jadi, doktrin ini telah menjadi pintu kekerasan di Papua.

Tuntutan Global

Yang perlu dipahami oleh Negara bahwa masalah kemanusian adalah yang universal, maka atas nama kemanusiaan orang dari berbagai negara dapat menyatakan kepeduliaan dan keprihatinannya dengan berbagai cara. Hal ini juga terjadi karena perkembangan teknologi informasi.

Maka, perlu dipahami oleh pelaku kekerasan di Papua bahwa jarum jatuh di Papua, Amerika Serikat akan tahu. Apalagi jika ada manusia yang dilanggar HAMnya. Karena itu, mari saling menghargai sebagai manusia seperti halnya Anda ingin dihargai.

Yang juga perlu dipahami oleh pelaku kekerasan di Papua yang melakukan kekerasan untuk mempertahankan bingkai NKRI atau menjaga wibawa negara dan aparat negara, ingat hukum karma dan juga di pengadilannya Tuhan. Jangan lupa bahwa Anda tidak akan lolos dari hukum karma dan di pengadilannya Tuhan, negara tidak akan menyelamatkan atau membela kita dari tuntutan Tuhan.

Penutup

Pelanggaran HAM akan menjadi pintu untuk masuknya intervensi kemanusiaan dari dunia internasional di Papua, sehingga Indonesia jangan main-main dengan Papua.

 

Jangan doktrin ini dijadikan pagar yang mati. Jangan doktrin ini selalu ditaruh di depan muka atau selalu menghantui aparat keamanan, sehingga selalu menembak orang yang distigma atau dicurigai OPM atau orang yang berbeda pendapat.

Di sisi lain jika kita melihat dari aspek Biblis, maka dapat kami katakan, bagi pelaku kekerasan yang beragama Nasrani, tetapi juga agama muslim (mungkin ajarannya sama, tetapi dengan ungkapan atau teks yang maknanya sama), Tuhan akan bertanya dan sama seperti saat Kain membunuh Habel, lalu Tuhan berfirman, dalam Alkitab Kejadian 4:10: “Apakah yang telah kau perbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah”, dan akhirnya Tuhan menghukum Kain.

Tentunya, aparat keamanan yang Nasrani tidak ingin Tuhan bertanya kepadamu tentang darah orang yang kau tembak, karena darahnya sedang berteriak kepada Allah Pencipta.

Jangan lagi menembak orang Papua karena doktrin ini, jika ini dilakukan, maka doktrin ini hanya akan tinggal doktrin, intervensi internasional akan masuk di Papua, Indonesia bisa tiba di saat yang dilematis antara memegang teguh NKRI Harga Mati atau melepas Papua sama seperti Timor Leste.

*Penulis adalah Ketua Dewan Adat Paniyai.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Orang Mee dan Moni Saudara, Segera Hentikan Pertikaian!

0
“Kami tegaskan, jangan terjadi permusuhan sampai konflik diantara orang Mee dan Moni. Semua masyarakat harus tenang. Jangan saling dendam. Mee dan Moni satu keluarga. Saudara dekat. Cukup, jangan lanjutkan kasus seperti ini di Nabire, dan di daerah lain pun tidak usah respons secara berlebihan. Kita segera damaikan. Kasus seperti ini jangan terulang lagi,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.