Tanah PapuaAnim HaRudapaksa Meningkat, Febiana Koten: Papua Darurat Kekerasan Seksual

Rudapaksa Meningkat, Febiana Koten: Papua Darurat Kekerasan Seksual

Editor :
Markus You

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kejahatan rudapaksa terhadap perempuan dan anak tidak hanya terjadi di Nabire. Kasus kekerasan seksual terjadi juga di kabupaten Merauke, Papua Selatan.

Hal ini dikemukakan Febiana Koten, ketua eksternal Persatuan Perempuan Ha-Anim (PPHA) dalam siaran pers nomor 01/PPHA/V/2023, Senin (8/5/2023).

Febiana menyatakan, tim PPHA mencatat setidaknya ada 11 kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah kabupaten Merauke selama rentang waktu 2021 sampai 2023.

Dijelaskan, catatan kasus tersebut merupakan hasil penelusuran berdasarkan data media online dan itu belum termasuk kasus yang luput diliput media massa, apalagi yang terjadi, tetapi tidak dilaporkan atau diungkap ke publik.

Berdasarkan hasil identifikasi, kata Febiana Koten, kasus kekerasan seksual khususnya jenis rudapaksa menimpa anak-anak umur 3-16 tahun dan rata-rata pelakunya adalah orang terdekat.

Baca Juga:  Komnas HAM RI Didesak Selidiki Kasus Penyiksaan Warga Sipil Papua di Puncak

“Yang kami sampaikan ini khusus kasus kekerasan seksual berbentuk rudapaksa, itu belum termasuk 14 jenis kekerasan seksual lainnya menurut kategori dari Komnas Perempuan dan Anak Republik Indonesia,” kata Febiana.

Meningkatnya kasus-kasus tersebut, Magda Lomanop, anggota eksternal PPHA, mengaku sangat prihatin sekaligus sedih atas semua tindak pidana kejahatan seksual yang menimpa para perempuan dan anak selaku korban kekerasan seksual.

Magda berpesan, semua saling melindungi satu sama lain dan bersatu melawan setiap tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Ia tegaskan, para pelaku harus diberi sanksi tegas agar mendapat efek jera.

Selain itu, ruang untuk terjadinya tindakan tercela itu harus ditutup dengan berbagai kegiatan pencegahan dan penyadaran publik.

“Kasus-kasus ini menyadarkan kita bahwa kekerasan seksual gencar membuntuti setiap perempuan terlebih khusus anak dibawah umur, bahkan pelaku tidak hanya dari orang asing, melainkan orang terdekat kita sendiri,” ujar Magda.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

Dengan melihat fakta dari kasus rudapaksa, Maria Goreti, juru bicara PPHA menyimpulkan, berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, pihaknya menilai perlu adanya upaya pencegahan kekerasan seksual yakni dengan memberikan pendidikan hukum kritis serta pendidikan proteksi terhadap anak dari ancaman kekerasan seksual.

“Sosialisasi hak-hak perempuan dan anak serta pendidikan hukum kritis harus dilakukan di lingkungan sekolah, kampus, organisasi, bahkan di kampung-kampung,” tegas Maria.

Menyikapi berbagai kasus tindak kejahatan seksual tersebut, PPHA menyerukan sekaligus mendesak semua pihak agar:

1. Semua stakeholder yang berkaitan isu perempuan dan anak wajib memberikan edukasi tentang bentuk-bentuk kejahatan terhadap perempuan dan anak terlebih khusus berkaitan dengan kekerasan seksual.

Baca Juga:  Polda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

2. Meminta semua elemen masyarakat agar harus bersatu dan menyatakan perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak khususnya kekerasan seksual.

3. Semua masyarakat harus sadar dan aktif melakukan kampanye anti kekerasan seksual menggunakan semua media yang ada.

4. Meminta kepolisian untuk memproses semua pelaku kejahatan seksual sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di negara Indonesia.

Untuk diketahui, kasus rudapaksa yang terjadi di Nabire, provinsi Papua Tengah, Rabu (3/5/2023), merupakan kasus rudapaksa terbaru di Tanah Papua. Dalam kasus tersebut, anak perempuan berumur tiga tahun ditemukan tak bernyawa di tengah hutan bakau Rawaudo, kampung Air Mandidi, distrik Teluk Kimi. Pelaku berinisial FM (29) langsung diamankan beberapa saat setelah kejadian tragis itu.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Rencana Pemindahan Makam Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay, Melanggar Hukum Pidana dan...

0
Tindakan memindahkan makam Bapak Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay adalah tindakan penyalahgunaan kewenangan dan jelas-jelas akan berdampak pada terjadinya dugaan tindak pidana serta pelanggaran hak masyarakat adat serta HAM yang melindungi status Ondofolo sebagai simbol pemerintahan adat masyarakat adat Buyaka Sentani.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.