PolhukamDemokrasiPolda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

Polda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Rencana penyampaian aspirasi rakyat melalui aksi demonstrasi damai di kabupaten Nabire, ibu kota provinsi Papua Tengah, Jumat (5/4/2024), yang akhirnya gagal lantaran dihalau aparat keamanan hingga diwarnai kericuhan, perlu dievaluasi kembali.

Dua anggota DPR Papua yang dihubungi terpisah mengungkapkan hal itu setelah mendapat informasi bahwa rakyat Papua Tengah yang difasilitasi Front Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia Papua (FRPHAMP) tak berhasil sampaikan aspirasi karena keburu dihadang dan dibubarkan.

Rencana aksi demonstrasi damai itu dalam rangka menyikapi kasus penyiksaan oleh sejumlah anggota TNI Batalyon Infanteri Raider 300/Braja Wijaya Kodam III/Siliwangi terhadap warga sipil di kabupaten Puncak, Papua Tengah, beberapa waktu lalu yang videonya viral di media sosial.

John NR Gobai, anggota DPR Papua, mengatakan, rakyat dapat menyampaikan aspirasinya sejauh tetap mematuhi aturan, minimal menjaga situasi tetap aman agar tidak mengganggu kenyamanan warga beraktivitas, dengan dikawal aparat kepolisian hingga aksi massa berakhir.

“Ada aturan, ada kebijakan, artinya ada aturan Undang-undang tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan Perkapolri. Namun perlu ada kebijakan setelah mempertimbangkan massa dan psikologi massa. Artinya, kalau polisi lihat massa banyak, tentu bila dilarang potensi gesekan tinggi, sehingga kalau dari pagi massa di Nabire diberi ruang untuk mereka berorasi, pasti tidak makan korban begini,” tuturnya kepada suarapapua.com, Sabtu (6/4/2024) sore.

Baca Juga:  PAHAM Papua Desak Komnas HAM dan Pangdam XVII Investigasi Video Penganiayaan Warga Sipil Papua

Hal itu menurut John telah disinggung saat bertemu Kapolda Papua, Irjen Pol Mathius D Fakhiri di Mapolda Papua, Jumat (5/4/2024) kemarin.

“Dalam pertemuan dengan Kapolda Papua, saya minta agar cara penanganan massa yang menurut saya kurang bijak perlu dievaluasi. Termasuk evaluasi Kapolres Nabire juga.”

Kata John, aksi demonstrasi biasanya rakyat berkesempatan bicara. Dalam setiap orasi hanya bicara-bicara saja, dan bicara tidak merusak apa-apa, juga tidak merugikan siapapun.

“Demo itu hanya orasi atau bicara dari kelompok pendemo. Bicara-bicara saja itu tidak merusak apa-apa dan siapa-siapa. Ketika dilarang itulah yang menjadi masalah. Saya harap kedepan perlu diberikan ruang. Lebih bagus tetapkan satu lapangan atau tempat sebagai ruang publik, tempat demo di Nabire. Kan ada Taman Gizi, itu bisa jadi ruang publik, dijadikan untuk tempat demo, berdoa atau KKR. Sehingga kedepan polisi dengan mudah berkoordinasi, aksi demo ditujukan kepada siapa, kepolisian bisa berkoordinasi,” tutur Gobai.

Baca Juga:  Soal Pembentukan Koops Habema, Usman: Pemerintah Perlu Konsisten Pada Ucapan dan Pilihan Kebijakan

Terpisah, Laurenzus Kadepa, anggota DPR Papua, menyatakan, penanganan massa aksi di Nabire mesti humanis.

“Penanganan demonstrasi atau unjuk rasa di Nabire oleh kepolisian mesti lebih humanis, tidak dengan cara kekerasan,” ujar Kadepa, Minggu (7/4/2024).

Massa aksi demonstrasi terkait penyiksaan warga Papua di kabupaten Puncak itu berencana mendatangi kantor gubernur Papua Tengah untuk menyampaikan aspirasi. Masalahnya, kata Kadepa, belum bicara, massa aksi langsung dibubarkan dengan cara represif.

“Aksi unjuk rasa gagal karena massa aksi di beberapa titik kumpul dibubarkan polisi. Dalam pembubaran itu, polisi melepaskan tembakan gas air mata dan beberapa orang demonstran terluka akibat terkena peluru karet dan pukulan. Fakta ini sangat disayangkan. Mestinya polisi bisa lebih humanis dalam menangani demonstran. Tidak bertindak represif,” tegasnya.

Kadepa mencermati aksi demonstrasi di Papua berbeda dengan aksi yang dilakukan di luar Papua atau di provinsi lain di Indonesia.

“Saya berharap, dalam bertindak atau menangani aksi demo di Papua, kepolisian tidak bertindak represif. Mesti membangun komunikasi yang baik dengan pihak demonstran, pihak pemerintah daerah setempat.”

Khusus di Nabire sebagai pusat pemerintah provinsi Papua Tengah, Laurenz berharap, letakan fondasi yang baik dengan cara humanis untuk tidak menerapkan tindakan represif mengarah pada pembungkaman ruang demokrasi.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

“Saya meminta kedepan harus ada koordinasi yang baik antara pemerintah provinsi Papua Tengah, Majelis Rakyat Papua Tengah, pemerintah kabupaten Nabire, dan aparat kepolisian dalam penanganan aksi massa. Jangan mematikan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintah di segala bidang,” kata Kadepa.

Laurenz menyatakan, sejumlah orang peserta aksi demo yang masih ditahan di Mapolres Nabire dibebaskan.

Begitupun dengan wartawan tak perlu dihalangi apalagi sampai sita alat kerja jurnalistik hingga terjadi pengeroyokan.

“Patut disesalkan dengan terjadinya tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap empat wartawan di Nabire,” tandas Kadepa.

John juga meminta kepada Dewan Pers agar memberikan perhatian terhadap kasus kekerasan yang dialami wartawan di Nabire saat meliput aksi demonstrasi.

“Bila perlu tempuh upaya hukum agar ada efek jera kepada para pelaku dan wartawan yang sedang menjalankan tugasnya di lapangan tidak lagi mengalami kejadian sama.”

Agar tindakan berlebihan tidak dipublikasikan, Gobai berpendapat, jalankan saja tugas kawal massa aksi hingga semuanya berjalan aman terkendali. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

DKPP Periksa Dua Komisioner KPU Yahukimo Atas Dugaan Pelanggaran KEPP

0
“Aksi ini untuk mendukung sidang DKPP atas pengaduan Gerats Nepsan selaku peserta seleksi anggota KPU Yahukimo yang haknya dirugikan oleh Timsel pada tahun 2023. Dari semua tahapan pemilihan komisioner KPU hingga kinerjanya kami menilai tidak netral, sehingga kami yang peduli dengan demokrasi melakukan aksi di sini. Kami berharap ada putusan yang adil agar Pilkada besok diselenggarakan oleh komisioner yang netral,” kata Senat Worone Busub, koordinator lapangan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.