Berjuang Selamatkan Hutan Awyu, Masyarakat Adat Datangi PTUN Jakarta

0
1000
Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua mengajukan permohonan intervensi di PTUN Jakarta, 9 Mei 2023 (Ist)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu bersama Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua mengajukan permohonan sebagai tergugat intervensi dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

Perwakilan masyarakat adat suku Awyu dari kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (9/5/2023). Permohonan tersebut merupakan kelanjutan dari usaha perjuangan suku Awyu untuk membela hak dan kepentingan mereka dari gugatan kedua korporasi itu.

“Tujuan kami ikut serta dalam persidangan ini untuk menegaskan bahwa Papua bukanlah tanah kosong. Meski belum mendapatkan pengakuan dari negara, kami dari jauh-jauh datang ke Jakarta dan mendukung negara untuk melindungi hutan kami dari perusahaan yang ingin merusaknya. Gugatan kedua perusahaan itu akan berdampak kepada kehidupan suku Awyu. Maka, kami harus terlibat mempertahankan hak-hak kami,” ujar Hendrikus Franky Woro, salah satu pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, melalui keterangan tertulis ke suarapapua.com, Selasa (9/5/2023).

Hendrikus menyatakan telah mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura pada 13 Maret lalu. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), yang juga berlokasi di Boven Digoel, Papua Selatan.

Baca Juga:  Beredar Seruan dan Himbauan Lagi, ULMWP: Itu Hoax!

Kata Woro, perizinan untuk sejumlah perusahaan sawit itu sangat mengancam hutan adat dan ruang hidup mereka.

ads

“Kehidupan suku Awyu sangat tergantung pada tanah, hutan, sungai, rawa, dan hasil kekayaan alam lainnya. Itu semua menjadi sumber mata pencaharian, pangan, dan obat-obatan, serta identitas sosial budaya kami. Hutan adalah ‘rekening abadi’ bagi kami masyarakat adat,” ujarnya.

Tertera di situs informasi penelusuran perkara (SIPP) PTUN Jakarta, PT MJR mendaftarkan gugatan pada 10 Maret 2023. Gugatan teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT itu mempersoalkan Keputusan Menteri LHK nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang penertiban dan penataan pemegang pelepasan kawasan hutan atas nama PT Megakarya Jaya Raya di kabupaten Boven Digoel.

Sedangkan PT KCP mendaftarkan gugatannya 15 Maret 2023 dan teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT. Obyek gugatan dalam perkara ini yakni Keputusan Menteri LHK nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang penertiban dan penataan pemegang pelepasan kawasan hutan atas nama PT Kartika Cipta Pratama di kabupaten Boven Digoel, provinsi Papua.

Baca Juga:  PAHAM Papua Desak Komnas HAM dan Pangdam XVII Investigasi Video Penganiayaan Warga Sipil Papua
Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua mengajukan permohonan di PTUN Jakarta, 9 Mei 2023. (Ist)

Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua menyebutkan PT MJR dan PT KCP terletak berdampingan di provinsi Papua Selatan, terhubung ke Grup Hayel Saeed Anam. Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi tersebut, tetapi 65.415 hektare hutan hujan asli masih bisa diperjuangkan.

“Kedua perusahaan ini bagian dari skandal proyek Tanah Merah yang ditengarai memperoleh izin secara melawan hukum. Dalam perkembangannya, beberapa izin anak perusahaan dicabut oleh pemerintah provinsi akibat skandal pemalsuan izin,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim advokasi.

Senada, Tigor Gemdita Hutapea, juga anggota tim advokasi, menyatakan, gugatan kedua perusahaan ini sedikit memberikan informasi adanya tindak lanjut pencabutan izin konsesi kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri LHK nomor 1 tahun 2022. Tetapi tidak diketahui apakah tindak lanjut pencabutan itu telah memperhatikan hak dan kepentingan orang asli Papua sebagai masyarakat adat pemilik tanah atau hutan adat.

Kata Tigor, dengan keterlibatan masyarakat adat, pemerintah khususnya KLHK mestinya terbuka atas kelanjutan pencabutan konsesi pelepasan kawasan hutan dan memperhatikan kepemilikan masyarakat adat.

Baca Juga:  Polda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

“KLHK harus membuka akses informasi hingga melibatkan masyarakat adat dalam menentukan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, sesuai dengan pengetahuan lokal mereka. Tindakan pengabaian atas informasi dan partisipasi adalah bentuk pelanggaran hak,” tegas Hutapea.

Selain mengajukan permohonan intervensi, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua yang terdiri dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia, juga melakukan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Beraudiensi dengan Komnas HAM, mereka membagikan kisah yang dihadapinya selama ini. Selain pelanggaran hak masyarakat adat, juga berdampak pada kehidupan mereka yang nantinya akan memicu krisis iklim yang lebih besar.

Demi mempertahankan hutan adatnya dari kepungan sejumlah perusahaan sawit, perwakilan masyarakat adat suku Awyu akan ada di Jakarta selama beberapa hari dengan beberapa agenda. Termasuk rencana turun aksi damai di depan Istana Negara, Jln. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (11/5/2023).

Artikel sebelumnyaRudapaksa Meningkat, Febiana Koten: Papua Darurat Kekerasan Seksual
Artikel berikutnyaIn Memoriam Pastor Anton Tromp, Imam Belanda Terakhir di Papua