ArsipIni Petisi Masyarakat Adat Papua Tolak Program Investasi Ala Jokowi

Ini Petisi Masyarakat Adat Papua Tolak Program Investasi Ala Jokowi

Senin 2016-01-25 08:35:44

JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Program “Investasi Ciptakan Lapangan Kerja Tahap III” yang diresmikan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Jumat (22/1/2016) di Wonogiri, Jawa Tengah, mendapat penolakan tegas dari Masyarakat Adat Papua.

Sikap penolakan tersebut dibuktikan dalam surat terbuka yang ditandatangani para aktivis Papua dari berbagai organisasi Masyarakat Sipil dan Masyarakat Adat Papua.

Surat terbuka itu juga ditindaklanjuti dengan membuat petisi online di change.org.

Yudi Eko, salah satu yang menandatangani petisi online itu, menulis, “Saya peduli, terlalu banyak sumber daya alam tanah papua yang dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan. Nabire sudah kotor, gersang, kualitas air tanah menurun, satwa punah, limbah, jelas mempengaruhi kelayakan hidup masyarakat dan ketersediaan sumber-sumber makanan di alam.”

Sekretaris Masyarakat Suku Besar Yerisiam Kabupaten Nabire, Robertino Hanebora mengatakan, kebijakan Presiden Joko Widodo meresmikan program ‘Investasi Ciptakan Lapangan Kerja Tahap III’ hanya memperpanjang penderitaan masyarakat adat Papua.

“Apalagi PT. Nabire Baru juga ditetapkan sebagai salah satu perusahaan yang ikut terlibat dalam program tersebut. Padahal, PT Nabire Baru lagi bermasalah, karena selama ini tidak punya dasar hukum tetapi terus beroperasi dan menguras kekayaan alam di tanah adat milik masyarakat suku besar Yerisiam,” ujar Hanebora kepada suarapapua.com, Senin (25/1/2016).

Jokowi dalam kebijakannya menetapkan 10 pabrik dan perusahaan swasta yang terlibat dalam program tersebut. Tiga diantaranya beroperasi di Tanah Papua.

Selain PT. Nabire Baru di Kampung Wami, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, dua perusahaan lainnya adalah PT. Bio Inti Agrindo di Merauke, dan PT. ANJ Agri Papua di Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat).

Dikabarkan, PT Nabire Baru dengan modal Rp806 Miliar, akan menyerap tenaga kerja sebanyak 11.727 orang. PT. ANJ Agri Papua akan menyerap 1.200 orang tenaga kerja dengan modal Rp 836 Miliar, dan PT. Bio Inti Agrindo siap menyerap 2.000 orang tenaga kerja dan modalnya Rp 279 Miliar.

Tiga perusahaan yang berinvestasi di bidang perkebunan Kelapa Sawit dalam skala besar itu konon bermasalah karena selama ini melakukan perampasan tanah adat, perusakan lingkungan hidup, peminggiran masyarakat adat dan pelanggaran HAM lantaran melibatkan pasukan militer sebagai pelindung kawasan investasinya.

“Kami masyarakat adat Papua dan aktivis organisasi masyarakat sipil sangat resah dan marah atas program Tuan Presiden, karena program ini tidak seperti mimpi kami mengenai kesejahteraan dan pembangunan di tanah Papua. Keputusan atas program ini sudah pasti bukan berdasarkan hasil musyawarah ataupun dialog dengan masyarakat Papua,” demikian ditulis dalam surat terbuka itu.

Menurut para aktivis Papua, sejak awal kehadiran dan keberadaan tiga perusahaan itu terlibat bersengketa dengan masyarakat adat setempat.

Hal ini karena pihak investor menggunakan praktik-praktik kotor manipulasi dan intimidasi, terlibat dalam kejahatan kehutanan, melakukan pembakaran lahan, menggusur dusun sumber pangan masyarakat, membongkar hutan tempat sakral, serta menghancurkan ritus budaya kehidupan orang Papua.

“Kehadiran perusahaan juga telah menciptakan konflik, kriminalisasi penangkapan sewenang-wenang terhadap tuan tanah dengan berbagai tudingan dan stigma OPM yang merendahkan martabat orang Papua. Praktik kekerasan dialami masyarakat adat setempat dan berujung dengan pelanggaran HAM. Bahkan dua diantara perusahaan tersebut, PT. Nabire Baru di PTUN Jayapura dan PT. ANJ Agri Papua di PN Sorong, sedang dalam proses gugatan masyarakat.”

Ditulis dalam surat terbuka, “Dalam pengalaman hidup kami, kehadiran perusahaan terbukti belum sepenuhnya memberikan manfaat sosial dan ekonomi berarti untuk memajukan kualitas hidup Orang Asli Papua. Papua hanya dijadikan ladang pemerasan untuk investor dan pejabat pendukungnya, sedangkan masyarakat asli hanya menjadi penonton dan berkonflik menjadi korban kekerasan pelanggaran HAM. Karenanya, program tersebut akan melukai hati kami yang sedang menuntut perubahan dan keadilan.”

Kebijakan tersebut dinilai tak sesuai janji Presiden Jokowi. Visi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, yang kemudian dirumuskan dalam 9 agenda prioritas atau dikenal dengan sebutan Nawacita, justru bertolakbelakang.

“Kami berpandangan, program ini telah mengingkari janji-janji nawacita dan mengabaikan hak-hak konstitutional masyarakat adat Papua. Pemerintah gagal menghadirkan dan menciptakan rasa aman kepada masyarakat adat Papua, pemerintah justeru pro ataupun berpihak pada perusahaan swasta yang diduga melanggar hukum,” tulisnya.

Para Aktivis Papua juga menilai program ini bukti ketidakmampuan pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran dan melemahkan pembangunan desa. Program ini merontokkan mimpi membangun Indonesia berlandaskan pada sendi-sendi ekonomi rakyat yang berdaulat dan mandiri. Sangat jauh menyimpang dari pendekatan kesejahteraan yang dibayangkan orang Papua.

Karenanya, Presiden diminta untuk segera menghentikan program tersebut yang bertentangan dengan rasa keadilan, tidak sejalan dengan sendi-sendi perekonomian rakyat dan potensial memperkeruh konflik-konflik.

Ada empat tuntutan dalam surat terbuka itu.

Pertama: Memeriksa izin dan aktivitas perusahaan-perusahaan bisnis pemanfaatan hasil hutan, lahan, pertambangan dan laut, mengadili dan memberikan sangsi kepada perusahaan dan pihak-pihak yang nyata-nyata melanggar hak-hak dasar Orang Asli Papua dan melanggar peraturan perundang-undangan yang merugikan negara.

Kedua: Mereview berbagai perjanjian kerjasama pengamanan perusahaan dan menarik petugas pengamanan TNI dan Polri dari areal perusahaan.

Ketiga: Mengembangkan kebijakan program dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang adil dan berkelanjutan, menyelenggarakan dan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah dan pendidikan keahlian, memperbanyak tenaga pengajar, serta pusat-pusat pelayanan kesehatan dan tenaga medis yang berkwalitas di Tanah Papua.

Keempat: Lakukan dialog-dialog yang berkwalitas dan meluas melibatkan masyarakat adat Papua hingga tingkat akar rumput untuk mengembangkan setiap rencana pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Tanah Papua.

Surat Terbuka tertanggal 22 Januari 2016 itu ditandatangani oleh Robertino Hanebora (Suku Yerisiam, Nabire, Papua), Gunawan Inggeruhi (Tokoh Masyarakat, Nabire, Papua), Imanuel Monei (Korban PT. Nabire Baru, Nabire, Papua), Simon Soren (Korban PT. ANJ Agri Papua, Sorong, Papua), Max Binur (Perkumpulan Belantara Papua, Sorong, Papua) Y. L. Franky (Yayasan Pusaka, Jakarta), Pietsaw Amafnini (JASOIL, Manokwari, Papua Barat), Syamsul Alama Agus (Yayasan Satu Keadilan, Bogor), dan Zely Ariane (PapuaItuKita, Jakarta).

Informasi yang didapat suarapapua.com, surat terbuka itu telah diserahkan kepada Presiden RI melalui Sekretariat Negara di Jakarta, Senin siang tadi.

MARY

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.