Tanah PapuaDomberaiGerakan Perlawanan Suku Malamoi Mencari Keadilan atas SDA dan Identitas Budaya

Gerakan Perlawanan Suku Malamoi Mencari Keadilan atas SDA dan Identitas Budaya

Suku Moi percaya bahwa nenek moyangnya keluar dari Gunung Maladofok dan dunia ini dimulai dari gunung itu. Hampir semua suku di wilayah kepala burung berasal dari satu nenek moyang Kelinplasa (disebut sebagai menara Babel) di daerah Maladofok.

Oleh: Max Binur*)

 

Pengantar

Nama Sorong diambil dari nama perusahaan Belanda yang pada masa penjajahan mengelola dan mengeksploitasi minyak di wilayah kepala burung tanah Papua, yaitu Seismic Ondersub Oil Niew Guinea atau disingkat SORONG.

Secara umum Kepala Burung tanah Papua terbagi menjadi dua wilayah ekosistem utama yaitu, wilayah kepulauan yang disebut Kepulauan Raja Ampat dan Pulau-pulau kecil lainnya di pesisir Selatan dan Utara, serta wilayah daratan atau tanah besar yang terdiri dari daratan rendah, perbukitan, lereng, pegunungan dan puncak gunung. Di bagian utara terdapat sebuah gunung yang tingginya 3000 m² di atas permukaan laut, yaitu puncak Gunung Tambrau. Sementara di bagian Selatan umumnya didominasi daerah datar dan berawa (hutan bakau). Jenis tanahnya pun bervariasi, mulai dari organosol, aluvial, lotosal, podsolik merah kuning dan podsolik coklat kelabu.

Wilayah kepala burung Tanah Papua, awalnya hanya satu Kabupaten yaitu Kabupaten Sorong. Saat ini telah dimekarkan menjadi beberapa wilayah administratif, antara lain: Kotamadya Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw. Perkembangan terakhir saat ini direncanakan lagi untuk ada pemekaran wilayah baru yaitu “Kabupaten Malamoi” di wilayah Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat pun sedang gencar untuk mempersiapkan pemekaran menjadi satu wilayah administratif baru. Dua wilayah rencana pemekaran baru yang disebutkan terakhir ini masih menjadi wacana serta telah dan sedang dilakukan usaha-usaha (lobi politik) kearah pemekaran 2 wilayah tersebut oleh kelompok-kelompok kepentingan yang tersingkir dari jabatan birokrasi, legislatif pasca pemilu baik di kotamadya dan kabupaten Sorong.

 

Sekilas Sejarah Suku Malamoi (Moi)

Wilayah kepala burung provinsi Papua Barat didiami oleh salah satu suku yaitu suku Moi. Moi berasal dari kata Malamoi yaitu dua suku kata: Mala yang berarti Burung atau Tanah Luas, dan Moi yang berarti Halus, Lembut. Kata ini lahir pada saat orang Moi mulai bicara tentang adat. Menurut sejarah yang diceritakan oleh para orang tua adat, peradaban orang Moi berawal dari dua kekuatan: Tambrau dan Maladofok.

Myte orang Moi menyebut Maladofok sebagai kekuatan perempuan, dan Tambrau sebagai kekuatan laki-laki. Teges Maladum adalah wilayah dimana orang-orang Moi pertama tinggal, kemudian berkembang dan mulai melakukan migrasi ke Manokwari, Teminabuan, Ayamaru, dan Kepulauan Raja Ampat.

Suku Moi percaya bahwa nenek moyangnya keluar dari Gunung Maladofok dan dunia ini dimulai dari gunung itu. Hampir semua suku di wilayah kepala burung berasal dari satu nenek moyang Kelinplasa (disebut sebagai menara Babel) di daerah Maladofok. Mereka kemudian terpencar karena menara yang sedang dibangun roboh oleh air bah dan semua orang naik untuk mencari perlindungan di gunung. Karena Waktu itu Tuhan menghukum dengan bahasa yang lain”, demikian menurut seorang tua adat. Orang-orang yang hanyut ke tempat lain kemudian hidup terpisah-pisah dan sekarang menjadi suku-suku baru: suku Ayamaru dengan marga-marga Salossa, Kambuaya, Sevaniwi, Bless, Sraun, Duwith, Bleskadith, Kondologit, Konjol, Kamesok, Salambau dan Momot.

Demikian dalam sejarah suku Moi yang menganggap tidak terpisah dengan suku Ayamaru dan Tehit (Teminabuan Sorong Selatan) maupun suku Maya di Raja Ampat. Sedangkan yang tetap tinggal di tanah asal kemudian menjadi satu suku besar Moi yang kemudian terbagi dalam 10 sub suku dan 100 marga, dengan sejarah tanah, sistem pembagian wilayah, dan bahasa yang satu. Dalam perkembangannya 10 sub suku ini masing-masing berdiri sendiri dan menganggap mereka adalah suku tersendiri dan tidak ada hubungan sejarah apapun dengan sub suku lain.

Ada banyak rahasia adat yang tidak boleh diketahui orang luar, bahkan oleh orang Moi yang dianggap tidak pantas mengetahuinya. Mereka menyebut rahasia adat dan tempat-tempat keramat itu sebagai “Hal-hal yang tidak boleh diketahui perempuan”. Karena itu, kelompok masyarakat suku Moi dibagi dalam 4 struktur yang telah ada sejak jaman batu, yaitu:

Sistem Adat Suku Malamoi (Moi)

1. Tokohtokoh adat, yang terdiri dari para Nedla meliputi: Neliging (orang yang berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook (orang kaya), ne foos (orang suci). Serta pejabat-pejabat adat: Unsmas, Tukan, Finise (pimpinan pelaksana rumah adat, terdiri dari marga Ulimpa dan Do), Tulukma, Untlan (guru yang mengajar di Kambik), dan Kmaben. Kelompok ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku dan panglima perang yang berwenang melakukan sidang-sidang dan acara adat.

Baca Juga:  Pleno Rekapitulasi Hasil Pemilu di PBD Resmi Dimulai

2. Alumni Pendidikan Adat (Wilifi)

Adalah kelompok dalam struktur adat yang terdiri dari anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di Kambik (Rumah adat tempat pendidikan adat) dan telah diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina untuk menjadi pemimpin seperti kelompok pertama. Mereka yang diajarkan rumah adat ini belajar tentang filosofi kepemimpinan dan seluk-beluk adat-istiadat suku Moi secara lengkap.

3. Kelompok Laki-laki (Nedla)

Yang dikategorikan sebagai Nelagi (perempuan): kelompok ini terdiri dari anak laki-laki, pemuda dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan adat di Kambik, sehingga dalam struktur adat Moi dikategorikan sebagai Nelagi.

4. Kelompok Nelagi Murni

Adalah kelompok yang terdiri dari para perempuan Moi. Kelompok ini juga memiliki pemimpin dan tokoh perempuan, dimana mereka diajarkan berbagai ilmu pengetahuan secara adat yang disebut Fulus (ilmu-ilmu khusus yang dapat dikuasai dan berkaitan dengan masalah perempuan).

Dari 4 struktur kepemimpinan berdasarkan pendidikan adat di atas, suku Moi percaya bahwa mereka telah menemukan banyak hal yang telah dipakai dunia baru sekarang ini dan mereka tidak merasa kaget dengan perkembangan yang ada. Karena pendidikan adat yang diperoleh di rumah adat, segala hal yang menyangkut suku moi diatur. Misalnya:

  1. Sistem Perkawinan
  2. Sistem Pembagian Harta
  3. Sistem Adat dalam mengatur perempuan Moi
  4. Sistem adat dalam hak ulayat tanah
  5. Sistem Pembayaran adat bagi yang meninggal
  6. Sistem Pendidikan
  7. Sistem bercocok tanam
  8. Sistem Pengobatan
  9. Sistem Marga dengan daerah-daerah keramat
  10. dsb

 

1. Sistem Pendidikan Adat

Suku Moi percaya bahwa segala sesuatu yang ada sekarang, misalnya bahan peledak, obat-obatan, merekayasa hujan, menyembuhkan orang sakit, membunuh orang dengan kekuatan magis secara massal, sampai menghilangkan diri dan menghilangkan orang lain, telah ada dan sudah dibuat oleh masyarakat suku Moi sejak dulu. Mereka telah belajar dan mengajarkan secara turun temurun semua unsur di atas dalam sekolah adat yang disebut Kambik. Masa pendidikan bervariasi, menurut jenis ilmu yang dipelajari, mulai dari 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 12 bulan, 16 bulan dan 24 bulan. Pendidikan adat ini bersifat tertutup dan rahasia dan hanya boleh diikuti oleh Nedla (laki-laki). Perempuan tidak diperbolehkan ikut karena dikawatirkan jika perempuan ikut dalam proses pendidikan di sekolah adat ini, maka kelak jika ia menikah ia akan menceritakan tentang rahasia Kambik kepada suaminya yang berasal dari marga suku lain. Orang Moi percaya bahwa Nedla benar-benar menjadi laki-laki apabila telah mengikuti pendidikan di sekolah adat, karena dalam sekolah adat semua kekuatan Moi akan diturunkan oleh para guru adat. Setiap Nedla yang tidak mengikuti pendidikan, maka dalam struktur adat-istiadat ia disebut sebagai “Masih perempuan atau masih telanjang”. Biarpun seseorang pintar, tetapi jika belum melewati struktur sekolah adat ini, maka ia disebut masih bodoh atau telanjang atau perempuan.

Tahun 1960-an ke atas, rumah pendidikan Kambik oleh pemerintah dan aparat keamanan dianggap sebagai kelompok/organisasi yang menentang pemerintah, sehingga dilarang penyelenggaraannya. Saat ini, jika diketahui ada sekolah adat Kambik yang dibangun dan dibuka untuk menerima siswa, maka pemerintah dan aparat keamanan akan membongkar sekolah adat tersebut karena dianggap sebagai tempat “pendidikan gerakan Papua merdeka”.

Pada tahun 1970-an pendidikan adat di Kambik tidak diselenggarakan lagi karena dilarang oleh pemerintah, aparat keamaan dan gereja karena dianggap sebagai tempat separatis dan kafir. Suku Moi, terutama para tua-tua adat lulusan sekolah adat, berharap suatu saat sistem pendidikan adat ini dapat dibuka kembali. Saat ini hanya tinggal alumni-alumni Kambik yang masih tersisah yang di kampung dan diangkat sebagai tokoh adat yang dihormati dan ditakuti karena memiliki kekuatan gaib.

2. Sistem Adat dalam Hak Ulayat Tanah

Suku Moi percaya bahwa tanah adalah perempuan (Mama/Ibu). Berbicara tentang tanah berarti berbicara tentang perempuan. Tanah adalah ibu sehingga menjual tanah sama artinya dengan menjual ibu mereka. Tanah dianggap sebagai sumber kehidupan, bagai ibu yang menyusui anaknya. Seiring dengan perkembangan jaman falsafah itu kini mulai luntur pada diri orang Moi. Jual beli tanah semakin banyak terjadi, meski demikian jual beli tanah bukanlah hal yang mudah. Sistem adat mengharuskan suku Moi yang ingin menjual tanah harus memanggil Muwe (saudara-saudara perempuan) jika tidak ingin terkena kutukan. Sebaliknya, jika seorang perempuan ingin menjual tanah warisannya maka ia harus memanggil para saudara lelaki, jika tidak ingin dimasuki roh. Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan masing-masing orang terikat oleh tali kekerabatan yang tidak bisa dilanggar begitu saja.

Baca Juga:  KPU dan Bawaslu PBD Akan Tindaklanjuti Aspirasi 12 Parpol

Mengenai hak ulayat atas tanah adat itu telah diatur dalam lembaga adat. Hukum adat ini dipakai untuk membagi wilayah tanah adat kepada marga-marga yang ada di suku Moi. Batas-batas wilayah kepemilikan tanah marga ditandai dengan berbagai benda alam,  pohon kayu, sungai, batu, gunung dan sebagainya. Seluruh marga yang ada di suku Moi telah mengetahui batas tanah mereka, sehingga mereka tidak bisa sembarangan masuk ke dusun atau tanah marga lain. Setiap marga biasanya memiliki wilayah atau benda keramat masing-masing yang menjadi tanda tak terbantahkan atas kepemilikan tanah tersebut. Di antara beberapa marga yang ada, ada marga yang memiliki tanah besar (luas atau di beberapa wilayah), biasanya mereka ini adalah keturunan anak kepala suku pada masa lampau. Marga-marga yang memiliki tanah luas ini secara otomatis akan menempati kelas yang penting, berpengaruh, dan dihormati dalam lembaga adat (mereka disebut sebagai orang kaya).

3. Sistem Pengobatan Tradisional

Sejak dulu suku Moi telah mengenal berbagai jenis pengobatan untuk menolong masyarakat yang tertimpa kesakitan. Mereka memakai tali rotan, kulit kayu, daun-daunan, abu panas, buah-buahan tertentu, dll. sebagai sarana penyembuhan. Selain itu, mereka juga memiliki sistem pengaturan kelahiran dengan baik dimana saat istri hamil 3 bulan, sang suami akan memisahkan diri ke kampung lain sampai si anak lahir dan berumur 4 tahun. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga kesehatan ibu. Saat ini sistem tersebut sudah tidak berlaku lagi karena, telah ada fasilitas kesehatan yang disiapkan oleh pemerintah.

4. Sistem Pembayaran Adat bagi yang meninggal

Setiap orang yang telah berkeluarga akan dikenai sistem pembayaran adat jika salah satu dari anggota keluarga meninggal dunia. Jika yang meninggal adalah istri, maka pihak suami diharuskan membayar secara adat. Pembayaran itu meliputi: ganti susu, mata, rambut, tulang belakang (dibayar dengan sebilah parang ), tengkorak (dibayar dengan gong), pinggang (dibayar dengan piring), darah (dibayar dengan nemala), dll. Jika suami meninggal, maka pihak perempuan (diwakili oleh saudara laki-laki bapak) harus membayar piring dan gong. Sedangkan jika anak yang meninggal maka pihak perempuan yang harus membayar karena dianggap istri tidak menjaga anak dengan baik sehingga sakit dan meninggal.

Saat ini para pemuda Moi menganggap bahwa beban mas kawin laki-laki Moi itu berat sekali, karena dilakukan tidak hanya sekali saat melamar, tapi terus menerus sampai akhir hidupnya.

5. Sistem Perkawinan

Suku Moi pada jaman dulu tidak mengenal kata pacaran, segala sesuatu yang menyangkut perjodohan diatur oleh orang tua. Perempuan hanya tinggal di rumah menunggu kedatangan orang tua pihak laki-laki yang akan datang memintanya dari orang tuanya. Namun sebelumnya ada beberapa syarat bagi keduanya; perempuan harus mampu: menokok sagu, berkebun, mengetahui berbagai ramuan obat, membuat iviok (tempat ramas sagu), membuat noken, memasak papeda, dan membuat sagu. Sedangkan laki-laki harus mampu: membuat rumah, berkebun, membuat perahu, berburu dan berharta.

Jika kedua pihak memenuhi syarat-syarat di atas, maka kedua orang tua akan mengikat dengan tanda penyerahan mas kawin (sebelum mengenal kain, mereka memakai mas kawin botol-botol kuno buatan jaman dulu). Sejak masuknya VOC, suku Moi mulai mengenal kain dan piring karena saat itu terjadi pertukaran barang atau barter secara besar-besaran dalam perdagangan. Sehingga saat itu orang Moi sudah memakai kain Teba dan kain kain putri air namanya Agmai yang khusus dibuat dari kulit kayu dan dimiliki oleh orang-orang tertentu. Namun kini kain-kain itu hampir tak ada lagi karena pemiliknya telah meninggal dunia. Disamping kain dan piring mas kawin yang diberikan juga berupa uang.

Setelah ada kesepakatan bersama, maka ditentukan waktu untuk membayarkan harta kedua muda-mudi yang harus dilalui dengan acara adat yang disebut “guling rokok sebagai tanda mas kawin laki-laki yang ada di bilik kudus (ruang khusus tempat taruh barang) akan dilihat oleh orang tua pihak perempuan. Jikalau lengkap sesuai dengan apa yang diminta, barulah si laki-laki dan perempuan bisa dipertemukan”. Sebelum mas kawin dibayarkan mereka belum bisa saling ketemu, karena pada jaman dulu laki-laki tidak bisa sembarang melihat perempuan. Sengaja mengintip perempuan dari jendela saja, laki-laki bisa didenda. Denda juga diterapkan untuk orang yang menyebut nama kemaluan dari orang lain. Jika seorang perempuan berjalan, maka laki-laki harus di belakang, tidak boleh mendahului.

Baca Juga:  Pertamina Pastikan Stok Avtur Tersedia Selama Arus Balik Lebaran 2024

Adat-istiadat itu dipegang teguh, bahkan membunuh bisa menjadi hukuman bagi yang melanggarnya. Tetapi kini semua aturan dan adat istiadat itu telah terurai sedikit demi sedikit dan tak ada sangsi apapun bagi pelanggarnya.

Contoh: sistem penyelesaian konflik tanah antar marga.

Hukum adat suku Moi yang paling keras adalah soal batas tanah adat. Jika ada pelanggaran batas wilayah bisa terjadi perang suku. Demikian juga antar marga, konflik besar bisa terjadi jika marga yang satu melakukan klaim terhadap tanah milik marga lain. Konflik antar marga biasanya diselesaikan dengan cara mengundang para orang tua adat yang paham tentang hukum adat dan sejarah tanah. Struktur kekerabatan dan sejarah pewarisan selalu digunakan sebagai cara untuk menelusuri siapa pemilik sah atas tanah. Namun jika para orang tua yang turun tetap tidak bisa menyelesaikan, karena masing-masing marga yang bertikai tetap mempertahankan keyakinannya, maka jalan terakhir adalah masing-masing diminta menunjukkan benda keramat sebagai bukti sah kepemilikan tanah yang tidak bisa ditawar lagi. Jalan akhir ini pada jaman dulu biasanya hanya diterapkan dalam konflik antar suku dan dilakukan untuk mencegah pertumpahan darah dan perang suku.

Contoh berikut ini adalah gambaran bagaimana antar marga menyelesaikan konfliknya:

Sengketa tanah antar marga Kalami dan Sapisa telah berlangsung hampir setahun lebih. Sebidang tanah di pesisir kampung Malaumkarta distrik Makbon, kabupaten Sorong yang selama ini dikelola oleh keluarga Sapisa, tiba-tiba diklaim oleh marga Kalami sebagai miliknya. Orang tua adat berkumpul untuk selesaikan masalah ini, karena konflik tidak bisa diselesaikan secara musyawarah oleh kedua marga. Bahkan kerabat Kalami seorang pengacara hukum telah mengajukan kasus ini ke pengadilan. Karena masing-masing tetap mempertahankan haknya maka para orang tua adat kemudian memutuskan mengambil jalan terakhir. Keluarga Sapisa diminta mengeluarkan benda keramat sebagai bukti kepemilikan yang sah.

Siang itu disepakati sebagai hari penentuan, keluarga Sapisa diwakili oleh Pendeta Paulus Sapisa, S.Th, memimpin pengambilan benda keramat dari dalam goa penyimpanan harta keluarga. Pengambilan ini tidaklah mudah, beberapa orang yang ikut serta waktu itu bercerita, “Kami seperti berputar-putar saja di satu tempat, sulit sekali menemukan goa itu”.

Pendeta Sapisa kemudian mulai mengucapkan doa adat dan mohon ijin pada nenek moyang untuk meminjam benda-benda keramat, bukan mengambil selamanya. Tak lama kemudian goa ditemukan, beberapa orang yang berbadan tegap masuk dalam goa dan mengambil beberapa barang dan membawanya ke tempat sidang adat.

“Saat itu kami semua terdiam dalam sunyi lalu benda-benda keramat itu dipikul masuk, saya lihat wajah pemuda yang memikulnya pucat pasi dan kaki gementar. Beberapa orang yang hadir termasuk saya sampai melompat ke pintu karena tidak bisa menahan perasaan aneh saat 4 buah batu pengasah parang diletakkan di dalam ruangan. Batu-batu itu bentuknya sederhana saja tapi telah kelihatan tua,” kenang seorang saksi yang ada di rumah tempat sidang adat berlangsung.

Beberapa saksi menyatakan, Pantai Malaumkarta mendadak gelap seperti malam hari. Hujan deras turun dan kilat besar menyambar-nyambar. Air laut seperti diaduk oleh sendok besar. Hujan kemudian reda dan saat langit terang kembali orang-orang menemukan banyak ayam peliharaan orang-orang di kampung seberang, beserta kandang-kandang, juga pohon-pohon yang tumbang, berserakan terapung di tepi pantai teluk Dore tengah laut. Tidak ada korban jiwa dalam badai yang berlangsung selama hampir 2 jam itu. Marga Kalami akhirnya menyerah dan mengakui kebenaran bahwa tanah itu milik marga Sapisa.

Banyak peristiwa ajaib terjadi, membuat orang Moi percaya pada penyelesaian adat dari pada hukum formal. Bagi mereka pengadilan versi pemerintah dengan mudah bisa dipermainkan dan dibeli oleh pihak yang memiliki uang, namun pembuktian adat adalah keputusan alam yang tidak bisa ditawar dengan apapun.

Penulis adalah pengasuh di Perkumpulan Belantara Papua – Sorong.

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.