ArsipIndonesia Sebagai Negara Demokrasi dan Realita di Papua

Indonesia Sebagai Negara Demokrasi dan Realita di Papua

Kamis 2012-04-26 10:34:15

Namun hal ini selalu menjadi masalah di banyak negara di dunia, termasuk negara Indonesia sendiri.

Demokrasi dalam formatnya dikatakan negara berkedaulatan rakyat karena kekuatan tertinggi terletak ditangan rakyat, maka negara demokrasi selain menghargai mayoritas, juga dalam pelaksanaan kekuasaannya dapat dipertanggungjawabkan serta responsif terhadap aspirasi rakyat.

Demokrasi di suatu negara tidak dapat diukur hanya dari pemilihan kepemimpinan yang berlangsung secara demokratis, tetapi juga dari berbagai aspek, baik dari aspek social, budaya, ekonomi, politik, hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Karena dalam alam demokrasi, negara memiliki kriteria seperti keterlibatan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembuatan suatu keputusan, persamaan di depan hukum, pendapatan secara adil, kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan beragama dan hak untuk protes.

Kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum menurut konstitusi UUD 1945 pasal 28 bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, pasca amandemen kedua telah diatur dalam pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya.

Realita Demokrasi di Papua

Namun pada kenyataannya, beberapa daerah di Indonesia seperti Papua ruang demokrasi masih tertutup, dan hampit tidak ditemukan prakteknya.

Kekuasaan masih dibawah kendali militer, kebebasan pers belum terjamin, wartawan masih terancam dan dibawah tekanan, wartawan asing maupun lembaga swadaya selalu saja diusir.

Stigmasasi dengan sebutan separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus memojokkan masyarakat untuk berekspresi, KUHP makar dan penghasutan terhadap negara menjadi perangkap bagi wagra masyarakat ketika bersuara.

Padahal, kebebasan menyampaikan pendapat dalam konstitusi maupun UU Negara sudah menjamin untuk rakyat berbicara, tetapi kenyataannya justru mereka yang bersuara menjadi terancam karena dicap dengan berbagai label dan istigma, bahkan mereka diteror, ditangkap, disiksa, dipenjarahkan, diculik dan dibunuh.

Kita boleh mengatakan pemerintah telah gagal dalam implementasi Otonomi Khusus di Papua, tetapi di sisi lain pemerintah justru berhasil menutupi ruang demokrasi di Papua, melalui berbagai aturan dan mekanisme yang telah ditetapkan maupun melalui berbagai stigmasasi yang diberikan kepada rakyat Papua.

Banyak aktivis pro demokrasi yang ditangkap dan dipenjarakan saat melakukan aksi demonstrasi, untuk protes segala kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat, merupakan tindakan yang melanggar dan merusak demokrasi itu sendiri. Karena dalam konstitusi dan UU negara sudah  menjamin kebebasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Selain itu, tindakan pembubaran paksa oleh aparat keamanan terhadap aksi masa, dengan alasan belum memiliki surat ijin dan lain sebagainya, adalah suatu tindakan yang tidak terpuji di era demokrasi seperti sekarang ini.

Hal ini bisa dibenarkan apa bila aksi tersebut telah melanggar hukum dengan mengganggu aktivitas umum atau melakukan tindakan anarkis.

Papua sebagai daerah konflik rentan sekali, untuk konflik bisa pecah dimana saja dan kapan saja, pada waktu-waktu tertentu. Apa lagi rakyat tidak diberikan ruang untuk berbicara atau menyampaikan pendapat.

Marthen Goo, salah satu aktivis pemuda menyatakan ruang demokrasi di Papua sengaja ditutupi melalui berbagai cara, selain melalui aturan dan mekanisme yang ditetapkan, juga melalui berbagai label dan stigmasasi seperti separatis, OPM, GPK  dan lainnya.

Semua itu diciptakan agar masyarakat internasional tidak mengetahui kondisi Papua yang sebenarnya. Padahal, rakyat Papua terancam di negerinya sendiri, selain dengan segala kebijakan negara, juga karena tidak memiliki ruang atau kebebasan bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Belum lagi menolak suatu kebijakan pemerintah yang bertolak belakang dengan keinginan rakyat Papua pasti saja di stigmakan sebagai separatis, OPM, GPK, lalu ditangkap dengan alasan makar atau penghasut negara.

Menurut pengakuan beberapa aktivis Papua, bila rakyat Papua mau menyampaikan pendapat atau melakukan aksi demonstrasi, maka tiga hari sebelumnya sudah menyampaikan surat ijin kepada pihak kepolisian agar dikonfirmasi balik untuk diijinkan atau tidaknya.

Padahal, dalam konstitusi pasal 10 UU No.9 Tahun 1998 ayat 1 sudah mengatur bahwa selambat-lambatnya 3×24 (tiga kali dua puluh empat jam) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh kepolisian setempat.

Menurut Elias Petege, salah satu aktivis di Jayapura, bahwa kondisi di Papua memang beda karena kekuasaan bukan ditangan rakyat tetapi ditangan kepolisian, sehingga ketka rakyat Papua mau menyampaikan pendapat atau demonstrasi, maka harus menunggu jawaban dari pihak kepolisian.

Bila kepolisian mengijinkan, maka bisa melakukan aksi demonstrasi, tetapi kalau tidak mengijinkan tentu tidak bisa melakukan demo, ujar Elias.

Kondisi ini sungguh amat berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Hanya cukup dengan sebuah surat pemberitahuan, yang disampaikan kepada pihak kepolisian untuk melakukan aksi demonstrasi.

Lebih aneh lagi, menurut Elias, sekalipun mekanisme penyampaian surat sesuai dan dapat ijin dari pihak kepolisian sekalipun, apa bila masa aksi sedikit, tentu konsekuensinya berat karena pasti aparat kepolisian menghadang dan membubarkan aksi masa tersebut.

Sehingga, suatu elemen merencanakan untuk melakukan aksi demonstrasi, maka terlebih dahulu harus melakukan mobilisasi masa agar polisi tidak bisa membubarkan karena banyaknya masa aksi.   

Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya kepolisian daerah Papua telah melanggar konstitusi dan UU yang ada di Negara ini. Karena telah menutupi kebebasan bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Segala aturan dan mekanisme tersebut sengaja diberlakukan oleh kepolisian daerah Papua bertujuan untuk memperhambat proses demokrasi di Papua.

Selain itu, dengan stigmasasi terhadap rakyat Papua sebagai separatis, OPM dan GPK merupakan bentuk lain yang biasa dipakai militer sejak zaman orde baru sampai saat ini, untuk menutupi ruang demokrasi di Papua.

Banyak Aktivis Mahasiswa, Pemuda, Tokoh Adat dan Tokoh Agama yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dapat stigma sebagai separatis, OPM dan GPK. Tujuannya tidak lain hanya untuk melemahkan perlawanan rakyat atas segala kejahatan dan kebijakan negara yang merugikan rakyat Papua.

Instrument-instrument seperti ini, selain menutupi ruang demokrasi di Papua juga memojokkan masyarakat Papua karena dengan stigmasasi seperti itu, pasti masyarakat Papua merasa terancam, apa lagi masih trauma dengan berbagai kekerasan militer pada masa lalu.

Kondisi ini telah menggerakan hati bagi tokoh-tokoh agama di Tanah Papua untuk mulai angkat bicara agar penyelesaian konflik melalui dialog segera dilakukan namun hal inipun ditanggapi oleh Pangdam Papua bahwa gereja di Papua adalah separatis, pernyataan ini dilansir di salah satu media terkemuka di Australia.

Dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa militer adalah dalang dari konflik selama ini di Papua. Karena mereka tidak menginginkan supaya Papua harus damai.     

Hal ini menandakan bahwa pada sisi lain kita bangga karena Indonesia menjadi negara demokrasi, tetapi di lain sisi kita juga telah merusak semangat demokrasi itu sendiri, sehingga ini tentu menjadi ancaman bagi keberlangsungan Indonesia kedepannya.

*Frans Tomoki adalah aktivis hak asasi manusia di Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.