ArsipLarangan Makan Pinang di Deiyai, Ini Komentar Tokoh Masyarakat Adat Papua

Larangan Makan Pinang di Deiyai, Ini Komentar Tokoh Masyarakat Adat Papua

Selasa 2014-10-14 14:35:00

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Organisasi Gerakan Peduli Anti Narkoba Tawuran dan Anarkis (Gepenta), berencana merazia penjualan pinang, dan melarang konsumsi pinang di tengah masyarakat Papua, di kabupaten Deiyai, Papua.

Seperti dilansir tabloidjubi.com, edisi 09 Oktober 2014, Ketua Gepenta Kabupaten Deiyai, Keni Ikomou, mengatakan, organisasi yang ia pimpin akan menjalankan tugas pokok dan fungsi utama, yakni melarang menjual dan makan pinang. 

 

Ia mengatakan, prioritas Gepenta adalah meminimalisir penjualan pinang oleh para pedagang asli maupun pedagang non-Papua.

 

“Konsumsi pinang bukan adat suku Mee, jadi kalau ada yang ketahuan menjual pinang, maka seluruh pinang akan diambil petugas, termasuk tidak boleh ada yang makan," tegas Ikomou.

 

Wacana tersebut mendapat tanggapan dari Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Biak, Gerald Kafiar. Menurutnya, kebijakan ini sangat berlebihan, dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) warga Deiyai.

 

Dikatakan, kebijakan tersebut tidak menghargai budaya masyarakat Papua yang tinggal dan bekerja di Deiyai, sebab masyarakat suku Mee juga selama ini makan dan mengkonsumsi pinang sejak dahulu kala.

 

Kafiar mengatakan, pelarangan menjual dan makan pinang di Deiyai merupakan kebijakan yang melanggar hak-hak suku-suku di pesisir pantai, karena banyak yang tersebar di Deiyai.

 

“Soal makan pinang itu budaya orang Papua dalam hal ini suku-suku di daerah pante (pantai-red). Selama ini mereka menanam pinang untuk cemilang (kakes) bagi tamu yang berkunjung ke rumah dan juga sebagai tumbuhan yang bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga." 

 

Jadi, kata dia, jika masyarakat Suku Mee tidak melihat hal ini, maka secara langsung mengikis salah satu Budaya Papua, khususnya budaya di daerah pantai.

 

“Karena sebagian besar orang pantai itu makan pinang dan menggunakan pinang sebagai cemilang kekerabatan keluarga,” tuturnya.

 

Sementara itu, Sekertaris Umum DAP Pusat, Willem Rumaseb, mengatakan, pelarangan mengkonsumsi dan makan pinang harus melihat alasannya secara jelas.

 

“Jadi kalau dengan alasan kesehatan, ya tidak masalah. Dan kami pun tidak mungkin bantah wacana itu salah. Tetapi, makan pinang adalah budaya sebagian masyarakat di tanah Papua ini,” katanya, kepada suarapapua.com, Selasa (14/10/2014), di Sekretariat DAP, Expo, Jayapura, Papua. .

 

“Kalau larangan makan pinang itu tidak bisa dilakukan di bagian pesisir, karena pinang itu budaya masyarakat pesisir dari nenek moyang hingga hari ini." 

 

"Pinang itu punya banyak makna tersendiri. Tetapi, larangan itu dilakukan di bagian gunung, mungkin bisa. Karena memang di bagian gunung biasa tidak ada,” jelasnya.

 

Lanjut Willem, dalam kehidupan masyarakat adat Biak, makan pinang merupakan sebuah tradisi dan budaya, sebab pinang bisa digunakan juga dalam berbagai kegiatan supranatural.

 

"Makan pinang juga bagi kami adalah alat persahabatan, jadi tidak bisa larang orang untuk makan," tegasnya.

 

Selain itu, dikatakan, bagi kebanyakan masyarakat di tanah Papua, termasuk masyarakat wilayah Mee-Pago, pinang juga dipandang sebagai alat persahabatan, juga bisa digunakan dalam penyelesaian suatu masalah.

 

Editor: Oktovianus Pogau

 

ARNOLD BELAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.