Senin 2013-04-08 09:34:15
Oleh: Naftali Edoway*
ÂÂ
Beberapa waktu terakhir ini kita disuguhi berita kematian manusia di Kabupaten Tambrauw akibat busung lapar yang menimpa wilayah tersebut. Misteri kematian ini terungkap dalam laporan yang disampaikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya.
Dalam laporan itu disampaikan bahwa Sejak November 2012 ada sekitar 553 warga menderita sakit gizi buruk. Dan 95 orang lainnya telah meninggal dunia[1]. Lalu kita bertanya, dimanakah pemerintah?
ÂÂ
Banyak pemekaran kabupaten/kota di Tanah Papua dilakukan dengan dalih mempersingkat dan mempermudah rentang kendali pemerintahan, membuka keterisolasian daerah dan mensejahterakan rakyat. Namun dalam realitanya pemekaran itu justru menambah beban penderitaan rakyat dari berbagai sisi kehidupan.
Ada banyak kasus yang terjadi di Papua, misalnya meninggalnya 173 orang lantaran Wabah Kolera di Kabupaten Dogiyai antara April hingga Juni 2008. Kasus Kelaparan di Yahukimo yang menewaskan 90-an orang dalam tahun 2009. Matinya 47 orang warga sipil dan ratusan orang yang menderita luka-luka akibat konflik Pilkada di kabupaten Puncak Papua sejak Agustus 2011 dan kasus kematian akibat busung lapar di Tambrauw ini.
Semua kasus itu sesungguhnya mengajarkan kita bahwa pemekaran bukanlah jaminan bagi kesejahteraan dan keberlanjutan hidup manusia Papua di atas Tanahnya. Apalagi jika pemekaran itu dilakukan di atas dasar ego dan kepentingan, bukan dengan suara nurani rakyat.
Dalam tahun 2005, Foker LSM Papua pun melaporkan bahwa keadaan gizi masyarakat di Papua mengalami keterpurukan. Angka kematian ibu dan anak di Papua sangat tinggi, bahkan diperkirakan sebanyak 578 ibu di Papua meninggal setiap tahunnya, sementara angka kematian balita yakni 64/1000 kelahiran hidup. Rupanya Otsus bukannya menjawab masalah tapi menambah masalah.
Anehnya, ada realita hidup seperti itu di tanah Papua, tapi pemerintah tak punya inisiatif untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan terjadinya kasus yang sama. Pengalaman di masa lalu tidak pernah dijadikan guru yang baik dalam membangun rakyatnya? Atau mungkin mereka sama sekali buta dengan peristiwa-peristiwa diatas? Atau tahu tapi apatis?
Adalah kebiasaan pejabat NKRI, yakni menghabiskan trilyunan uang hanya untuk belanja birokrasi, bahkan anggaran belanja publik pun selalu tersedot kesana. Akibatnya pelayanan ke publik tidak berjalan semestinya. Itu jugakah yang terjadi di Tambrauw sehingga masih ada saja rakyat yang mati di atas trilyunan dana pembangunan? Entalah!
Menanggapi pemberitaan oleh berbagai media, bupati Tambrauw, Gabriel Asem sempat mengakui bahwa memang ada kasus kurang gizi dan kematian warga sejak 2012 berjumlah 15 orang[2]. Namun itu sudah ditangani. Sementara itu, Gubernur Papua Barat, Abraham Octovianus Atururi pun mengakui bahwa ada 4 warga yang meninggal akibat busung lapar itu[3].
Anehnya, pengakuan dari kedua pejabat daerah atas jumlah kematian warga itu berbeda. Mungkin ini petunjuk bahwa koordinasi diantara mereka tidak berjalan atau barangkali hanya untuk menutup dosa struktural yang mereka perbuat. Hal lainnya bahwa peristiwa itu sudah terjadi sejak tahun 2012 lalu, namun dibiarkan hingga kasusnya terbuka ke permukaan baru diambil tindakan.
Terlepas dari itu, yang terpenting adalah ada manusia yang mati (entah berapa pun itu) lantaran tidak adanya perhatian dari pemerintah. Manusia yang seharus hidup justru dimatikan karena hak asasi mereka dirampas dengan pelayanan yang tak menyentuh persoalan. Mereka bahkan mati di bawah konstitusi negara (UUD1945) yang mengkampayekan jaminan hidup bagi tiap warga negaranya namun diabaikan. Itu artinya bahwa negara tidak pernah serius mengurus orang Papua.
Tidak adanya perhatian yang serius dari pemerintah terhadap rakyat Papua yang kemudian menuai kematian dalam jumlah yang banyak ini, menunjukan bahwa pertama, ada pembiaran yang dilakukan negara/pemerintah. Ini terlihat dengan sikap pemerintah yang tidak dengan cepat mengatasi masalah walaupun sudah ada indikasi awalnya. Kedua, pembangunan di Papua bias pengusaha dan pemerintah. Akibatnya banyak rakyat yang mati dalam lumbung Otsus, APBD, APBN, dll. Ketiga, Otsus memang telah gagal dan terus menunju kegagalan. Keempat, UP4B yang dipaksakan hadir di Tanah Papua pun tak menjawab masalah.
Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah guna menjawab kompleksnya permasalahan di Papua? barangkali dialog adalah salah satu solusi. Namun kita bertanya lagi, apakah Jakarta mau dialog dengan orang Papua? sementara Jakarta masih mencurigai ide dialog yang dikemukakan rakyat Papua. Meskipun demikian, apa pun solusinya, permasalahan di tanah Papua yang bagaikan benang kusut ini harus diurai sampai tuntas demi kemanusiaan.
*Penulis pemerhati masalah sosial di tanah Papua