Senin 2014-09-08 13:18:30
"Wahai rakyat bangsa Papua Barat, marilah kita bersatu, bergandeng tangan, maju bersama untuk meraih kedaulatan dan kemerdekaan politik kita yang telah dirampas oleh penjajah." (Dr. Jhon Otto Ondawame).
Oleh: Maasaizu Elias Ramos*
Â
Kutipan diatas adalah kalimat-kalimat yang selalu disampaikan oleh Dr. Jhon Otto Ondawame. Jika ditelisik, perjalanan perjuangan kita masih jauh, jalan yang telah dan akan kita lalui penuh dengan tantangan dan resiko, bahkan sampai taruhan nyawa.
Â
Jalan itu seolah mendaki gunung Nemangkawi yang penuh dengan tebing-tebing tebal dan terjal, menahan dingin salju Puncak Cartenz, dan seperti kita mendayung perahu di tengah ombak yang ganas di lautan utara Papua.
Â
Karena itu, mari kita bekerja sama, konsisten, pantang menyerah, percaya diri dan bergerak bersama, tanpa membedakan asal suku, daerah, warna kulit, tua muda, keyakinan, laki-laki atau perempuan.
Â
Kebersamaan itu kita pegang, kita rawat dan mempraktikannya agar kita bersama sama-sama capai di puncak, perahu kita tidak diterjang ombak dan bersama-sama berlabuh di pelabuhan impian kita dengan selamat walau pukulan ombak begitu keras.
Â
“Bersatu dan berjuang keras, pasti Papua Merdekaâ€. Demikian makna yang terkandung dalam pesan boikot Pemilu 2014 yang disampaikan oleh Dr. Jhon Ondowame bersama beberapa tokoh Papua lainnya melalui media sosial (youtube) sebelum pemilu.
Â
Pesan akhir yang Abadi dari Sang Pejuang
Â
Rakyat Papua Barat, sidang perkabungan dan para pembaca dimana pun berada, pesan amat penting yang disampaikan di atas adalah pesan terakhir dari seorang pejuang.
Â
Pesan terakhir karena dia (Dr. Jhon Ondowame) meninggal dunia beberapa waktu lalu, Kamis (4/9/2014), karena serangan jantung di Rumah Sakit Umum Port Vila Vanuatu, Pasifik Selatan.
Â
Bagi penulis, pesan itu adalah pesan akhir dan abadi; pesan terakhir karena dia telah tiada di dunia nyata sekarang; dia pergi untuk selamanya, dia dipanggil oleh sang pengada, penciptanya.
Â
Dan pesannya abadi, karena pesan itu akan ada bersama kita kini dan selanjutnya, kata-katanya akan menjadi pendorong, pemberi semangat dalam derap langkah kita kedepan.
Â
Selain itu, dia juga menjadi guru bagi kita, kita belajar darinya tentang sikap kesetiaan, rela berkorban, konsistensi dan kerja keras pada apa yang diperjuangkannya selama hidupnya.
Â
Dia telah tiada secara badania, tetapi semangatnya, gagasanya akan tetap hidup bersama kita. Supaya kita tetap ingat dan menjadikan sumber pijakan akan pesannya dalam tugas selanjutnya, maka saya akan pengutip kembali pesannya, “Tak ada Pantai, tak ada gunung, tak ada pulau, tak ada tanah besar. Tak ada Kristen, tak ada muslim, tak ada Budha-Hindu, tak ada hitam, tak ada sawo matang, tak ada keriting, tak ada berombak, kita semua satu bangsa, bangsa Papua, satu Papua, satu perjuangan menuju kebebasan.â€
Â
Kepergian sang diplomat ulung: Bangsa Papua berduka
Â
Hari ini kita masih berduka atas kepergian sang diplomat, Dr Jhon Otto Ondowame, beberapa waktu lalu di rumah sakit umum Vanuatu, tempat pengasingannya.
Â
Kita kehilangan seorang pejuang yang tangguh dan berani. Dia juga adalah seorang diplomat ulung yang pernah Papua miliki; Selama hidupnya dia berbakti untuk kemerdekaan Papua.
Â
Sejak dia meninggalkan Tanah Papua tahun 1978, dan berdiplomasi sampai akhir hayatnya. Selama berada di Swedia, Australia, Papua Nugini dan Vanuatu, dia bersama rekan-rekan seperjuangannya tidak tinggal diam; mereka berjuang tanpa kenal lelah melobi dan mempublikasikan drama penderitaan rakyatnya di Papua Barat kepada semua pihak.
Â
Selama menetap di Australia, beliau ditunjuk menjadi juru bicara organisasi Papua Merdeka dan kemudian beberapa kali diberi ruang oleh Negara Nauru dan Vanuatu untuk berbicara tentang penindasan di Papua Barat dalam di forum PBB.
Â
Keputusan di Persimpangan Jalan Tauboria: Antara Freeport dan Perjuangan
Â
Pada tahun 1976, dia (Dr Jhon Otto Ondowame) baru menyelesaikan pendidikan di Universitas Cenderawasih. Pasca lulusnya, dia duduk di muara jalan Tauboria, merenung di tempat mana akan mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang baru dapatkan dari kampus.
Â
Salah seorang dari beberapa anak Amungme, selain Thom Beanal yang menyenyam pendidikan di perguruan tinggi kala itu, memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan pekerjaan di PT. Freeport Indonesia yang beroperasi di ulayatnya.
Â
Pengetahuan yang dimilikinya sebagai modal untuk melamar pekerjaan, jalan itu terbuka baginya. Tetapi dia menolak bekerja bersama pencuri, dia menolak aksi perampasan tanah miliknya.
Â
Dia lebih memilih jalan pembebasan, bersedia untuk memikul salib penderitaan, memilih menjadi pelopor untuk melepaskan rakyat yang tersalib di Kayu Salib Penguasa.
Â
Keputusan akan jalan kebebasan itu, didorong oleh realitas sosial politik saat itu. Dimana saat itu, rakyat hidup di bawah kekejaman pemerintah Indonesia, jeritan dan tangisan menjadi nyanyian malam, duka menjadi teman hidup seharian, bunyi tembakan senjata M 16 menjadi musik pengantar tidur.
Â
Realitas itu, tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci, yang dia dengar dan baca saat mengikuti misa pagi di Kapela (rumah ibadah) Asrama Tauboria maupun Asrama Kejora di Kokonau Mimika Barat dan atau di tempat lainnya. (Bersambung).
Â
*Penulis adalah aktivis hak asasi manusia, tinggal di Jayapura, Papua