ArsipRuang Ekspresi OAP di Jakarta Dibungkam

Ruang Ekspresi OAP di Jakarta Dibungkam

Rabu 2015-12-22 13:18:01

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pembubaran paksa aksi massa yang kerapkali berakhir penangkapan dan penganiayaan sudah hal biasa di Jayapura dan daerah lain di Tanah Papua. Di Jakarta juga tak beda.

Selama ini aksi massa yang dilakukan orang Papua bersama para aktivis dan simpatisan di Jakarta, biasanya mulus. Jarang ada penghadangan, apalagi pembubaran paksa.

Situasi mulai berubah sejak beberapa saat lalu, pihak Polda Metro Jaya sudah tak mengijinkan aksi mahasiswa dan masyarakat Papua. Dua kali aksi damai dibubarkan, bahkan massa dipukul dan ditangkap. (Baca: Polda Metro Jaya Kembali Tangkap Puluhan Mahasiswa Papua).

PapuaItuKita menilai ada pembungkaman ruang ekspresi orang Papua di Jakarta.

Ini terlihat pada aksi damai dalam rangka memperingati Hari Trikora 19 Desember 2015. Di depan Istana Negara Indonesia, Sabtu (19/12/2015) lalu, puluhan mahasiswa Papua adakan unjuk rasa guna memprotes peristiwa Trikora 54 tahun lalu.

Aksi berlangsung damai. Tetapi, aparat kepolisian, seperti halnya juga terjadi pada pelarangan aksi 1 Desember 2015 lalu, mulai mengepung mahasiswa dan melarang ekspresi dan pendapat yang dilontarkan sepanjang aksi berlangsung, terkait penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan.

Saat itu, tepat jam 09.48 WIB, 23 orang mahasiswa Papua ditahan kepolisian.

“Tak ada demokrasi yang berhasil tanpa jaminan kebebasan berkumpul dan berekspresi,” ujar Zely Ariane dari PapuaItuKita, sebagaimana ditulis dalam press release.

Aksi damai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) diadakan untuk memprotes peristiwa Trikora 54 tahun lalu sebagai tonggak intervensi militer Indonesia di wilayah Papua yang pada saat itu belum tergabung ke Indonesia.

Bagi orang Papua, Trikora 19 Desember 1961 adalah awal penjajahan Indonesia masuk ke Tanah Papua. Ia bentuk kerakusan negara melalui Soekarno pertama kali mengeluarkan pernyataan pencaplokan untuk menguasai kekayaan di Tanah Papua. Trikora juga awal pelanggaran terhadap kemanusiaan dan hak orang Papua.

Zely menegaskan, teriakan merdeka sejatinya tak melanggar hukum apapun, apalagi dilakukan dalam damai, dan merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999.

Selain itu, teriakan kemerdekaan tak akan pernah muncul jika masalah kemiskinan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM di Papua diselesaikan oleh negara.

“Hanya negara penjajah yang anti dan takut dengan teriakan kemerdekaan,” tulisnya.

PapuaItuKita melihat respon aparat keamanan yang terus saja mengekang ruang ekspresi kemerdekaan orang-orang Papua sebagai tindakan yang berlebihan. Itu bukti negara tak pernah belajar untuk melakukan perubahan pendekatan terkait aspirasi masyarakat Papua selama 46 tahun ada di bawah NKRI.

Karena itu, PapuaItuKita mendesak negara segera menghentikan pendekatan represif berupa pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi rakyat Papua.

Kedua, pemerintah tidak lagi paranoid dengan tuntutan kemerdekaan, namun justru menjadikannya modal untuk duduk bersama dengan masyarakat Papua, melakukan dialog guna mencapai penyelesain bersama masalah Papua secara demokratis, menyeluruh dan sesuai prinsip-prinsip HAM.

Penangkapan terhadap 23 orang itu terjadi sebelum lakukan orasi dan aksi damai. Pasukan Brimob dan kepolisian dari Polda Metro Jaya mengepung barisan massa aksi AMP.

Aksi damai dibubarkan, bahkan puluhan demonstran ditangkap dan diangkut ke markas Polda Metro Jaya. Tak jelas alasannya.

Menurut kepolisian, tak ada surat pemberitahuan dan adanya muatan Papua Merdeka, sehingga tak berikan ijin untuk aksi demonstrasi.

Alasan itu disampaikan saat LBH Jakarta dan PapuaItuKita mengadvokasi kasus penangkapan di Polda Metro Jaya. 23 orang akhirnya dibebaskan pada Pukul 17.30 WIB.

AMP mengklaim, alasan tersebut tak masuk akal karena surat pemberitahuan sudah dimasukan sejak beberapa hari sebelumnya.

Diwartakan berbagai media beberapa saat setelah dibubarkan, aksi dilakukan puluhan orang dan dikawal ketat pasukan keamanan. Saat itu aparat yang bertugas tiga kali lipat dari jumlah massa aksi.

MARY

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.