ArsipYunus Wonda: Aksi Polisi Yakinkan Dunia Internasional Soal Buruknya Situasi HAM di...

Yunus Wonda: Aksi Polisi Yakinkan Dunia Internasional Soal Buruknya Situasi HAM di Papua

Jumat 2015-10-09 13:56:34

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Yunus Wonda, mengecam tindakan aparat kepolisian yang melarang dan membubarkan aksi demo damai yang digelar Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Papua, untuk demo ke kantor DPRP, Kamis (8/10/2015) siang kemarin.

“Kami DPRP menilai Polisi sebenarnya tidak perlu melarang massa aksi yang mau berdemo ke kantor DPRP, karena kantor itu adalah milik rakyat, saya kira Polisi gagal dalam peristiwa kemarin,” kata Wonda, saat menghubungi suarapapua.com, Jumat sore, via telepon seluler.

 

Menurut Wonda, saat Polisi menutup ruang demokrasi di Tanah Papua, justru semakin meyakinkan dunia internasional tentang buruknya situasi HAM di Tanah Papua.

 

“Selama ini dunia internasional tahu situasi HAM di Papua buruk, semakin ditutupnya ruang demokrasi di Tanah Papua, sebenarnya kita telah membenarkan laporan dan pernyatan itu,” kata Wonda.

 

Menurut Wonda, aparat kepolisian perlu ingat, sebab masalah Papua bukan masalah lokal, namun telah menjadi masalah internasional yang terus mendapatkan sorotan tiap waktu.

 

“Harusnya Polisi buka ruang demokrasi kemarin dengan cara memberikan kesempatan massa aksi menyampaikan sikap ke DPRP, kalau tidak bisa kan bisa ijinkan mereka berorasi saja lalu membubarkan diri,” ujarnya.

 

“Kantor DPRP adalah tempat mereka sampaikan aspirasi, karena itu setiap aksi unjuk rasa tidak boleh dihambat, apalagi aksi bersifat damai,” katanya.

 

Wonda juga mengecam dalil yang selalu dipakai Polisi untuk tidak mengijinkan aksi demo, padahal Indonesia adalah Negara hukum, karena itu ruang untuk menyampaikan pendapat seharusnya dibuka.

 

“Sudah saatnya ruang demokrasi di Papua dibuka, Polisi harus hentikan dalil yang dipakai selama ini untuk tidak mengijinkan dan bahkan membubarkan aksi demo damai.”

 

“Sampai kapan kita mau tutup bobrok yang ada di Tanah Papua? Biarkan rakyat menyampaikan aspirasi, apalagi ini tentang pelanggaran HAM di Paniai dengan menewaskan empat siswa SMA,” kata Wonda.

 

Wonda juga pesimis kasus Paniai Berdarah dapat dituntaskan, sebab peristiwa terjadi siang hari, dan banyak masyarakat melihat pelaku penembakan, namun masih terus membantah, dengan alasan membutuhkan hasil otopsi keempat jenazah.

 

“Dari awal saya sudah bilang, kasus ini tidak akan terungkap, karena ada pihak yang terus mendesak otopsi keempat jenazah yang sudah lama dikubur, padahal kasus terjadi siang hari, dan banyak yang lihat pelaku penembakan tersebut,” katanya.

 

Sementara itu, Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, John NR Gobay menegaskan, tindakan aparat kepolisian yang melarang, dan membubarkan aksi massa dengan paksa sudah melanggar aturan yang dibuat oleh Negara sendiri.

 

“Peraturan Kapolri saja ada SOP, bahwa Polisi harus berdialog dengan massa sebelum membubarkan, atau dibubarkan ketika mengganggu keamanan dan ketertibatan, tetapi kan kemarin sama sekali tidak ada toh, kami aksi dengan aman tanpa mengganggu siapapun,” tegas Gobay, saat memberikan keterangan pers di Kantor KontraS Papua, Padang Bulan, Jayapura, Papua.

 

Menurut Gobay, tindakan yang dilakukan Polisi seperti debt collectors yang datang menagih hutan dengan cara kekerasan dan premanisme, seperti menghadapi konsumen yang jahat dan teroris.

 

“Jadi, kami bisa katakan kemarin Polisi datang membubarkan aksi kami seperti sekumpulan preman atau teroris yang akan buat kekacauan atau kerusuhan di Abepura. Kami heran dengan tindakan kepolisian yang sangat tidak berperikemanusiaan,” tegas John.

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.