ArsipJakarta Masih Berbohong: Tanggapan Atas Komentar Wamenlu Soal Papua

Jakarta Masih Berbohong: Tanggapan Atas Komentar Wamenlu Soal Papua

Selasa 2015-09-15 09:55:24

KTT Pacific Islands Forum (PIF) yang berlangsung dari tanggal 7-11 September 2015 di Port Moresby, Papua New Guinea, telah berakhir. Pelanggaran HAM di Papua telah dibahas dalam pertemuan para pemimpin negara kepulauan di Pasifik ini.

Oleh: Naftali Edoway*

Pertemuan itu telah menghasilkan komunike bersama, dimana masalah pelanggaran HAM di Papua akan ada misi pencari fakta yang diutus ke Tanah Papua Barat.

Menanggapi hasil komunike soal Papua itu, Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, A.M. Fachir, menyampaikan beberapa hal: (1) Berbagai tuduhan pelanggaran HAM di Papua sangat tidak berdasar. Hal itu merefleksikan pemahaman yang salah terhadap fakta yang sesungguhnya.

(2) Sebagai negara demokratis, Indonesia sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM. Indonesia memiliki mekanisme HAM nasional yang berfungsi dengan baik yang belum tentu dimiliki oleh sebagian Negara PIF.

(3) Pembangunan selama ini di Papua berlangsung sangat baik. Bahkan jauh lebih maju dari sebagian negara kepulauan di Pasifik[1].

***

Membaca pernyataan Wamenlu di media massa yang seperti itu, muncul hasrat untuk menanggapinya. Bagi saya, semua pernyataan Wamenlu ini adalah bohong. Sekali lagi negara berbohong tentang fakta yang sebenarnya di Papua.

Kebohongan pertama, ketika Wamenlu menyatakan bahwa pelanggaran HAM di Papua adalah tuduhan dan sangat tidak berdasar. Maka, orang Papua menjawab, itu bukan tuduhan, tetapi fakta dan berdasar. Jika pelanggaran HAM di Papua adalah tuduhan dan tidak berdasar, mengapa masih ada saja kasus penembakan dan pembunuhan yang dilakukan oleh negara?

Beberapa kasus terakhir, yakni: tanggal 8 Desember 2014, aparat menembak mati 4 orang pelajar di Enarotali-Paniai, penembakan dan pembunuhan terhadap aktivis di Yahukimo (20/3/2015), penembakan terhadap Yoseni Agapa di Ugapuga-Dogiyai (26/6/2015), kasus Tolikara yang menewaskan Endi Wanimbo (15) dan melukai 11 orang (17/7/2015), penembakan oleh anggota TNI di Timika yang menewaskan Yulianus Okoare (23) dan Emanuel Mairimau (23) serta melukai beberapa warga Kamoro.

Kebohongan kedua, saat Wamenlu menyatakan Indonesia negara demokrasi dan sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM serta memiliki mekanisme HAM nasional yang berfungsi dengan baik yang belum tentu dimiliki oleh sebagian Negara PIF. Jawaban orang Papua adalah tidak ada demokrasi di Papua. Jika Indonesia negara demokrasi, mengapa masih ada saja kekerasan dan pembunuhan oleh dan atas nama negara? Mengapa kebebasan berekspresi sangat dibatasi bahkan dilarang?

Misalnya, Aksi Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR) mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dalam pertemuan Pasific Island Forum (PIF) di Port Moresby, Papua New Guinea, dibubarkan oleh aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura[2]. Mengapa kasus Theys Eluay, Biak berdarah, Abepura berdarah, Miyei berdarah, Wamena berdarah, dll masih menggantung?

Jika supremasi hukum dijunjung tinggi, ada penghormatan terhadap HAM dan mekanismenya berfungsi baik, mengapa dokumen publik PBB bernomor A/HRC/26/29, tertanggal 14 April 2014 berjudul: “Laporan Pelapor Khusus tentang Hak untuk Berkumpul secara Damai dan Hak untuk Berserikat, Maina Kiai” mencatat bahwa HAM di Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di dunia. Itu artinya Wamenlu asal bunyi (asbun) di media[3].

Kebohongan ketiga, pembangunan berjalan sangat baik, bahkan jauh lebih maju dari sebagian negara Kepulauan Pasifik. Orang Papua bertanya, apa ukuran keberhasilannya? Sampai hari ini sebagian besar orang asli Papua masih hidup dalam kemiskinan karena pembangunan yang tidak memberdayakan. Masih banyak orang Papua yang terpinggirkan karena pembangunan yang bias pendatang. Apakah banyak mall dan ruko yang dibangun di Papua milik orang Papua? Apakah peminggiran dan kemiskinan adalah sebuah kemajuan?

Ada juga contoh pembohongan yang lain. Pada tanggal 30 April dan 1 Mei 2014, Komite Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) PBB di Jenewa menilai tingkat pelaksanaan hak-hak Ekosob ini di Indonesia. Proses ini meninjau akses kesehatan dan pendidikan, masalah perampasan tanah dan hak-hak minoritas serta masyarakat adat. Dalam proses peninjauan ini Komite menunjukkan perhatian khusus kepada situasi di Papua.

Ketika Bambang Darmono, Kepala UP4B, ditanya soal kemiskinan yang tinggi di Papua, ia menjelaskan bahwa penambahan sejumlah kabupaten telah mengurangi jumlah kemiskinan. Namun ia tidak menjelaskan jumlah masuknya migran ke Papua yang membuat orang Papua terus berada di tingkat kemiskinan yang tinggi dan minim akses pendidikan dan kesehatan[4].

Ketika negara-negara Kepulauan Pasifik menyoal HAM di Papua, sebagai negara berdaulat pasti memiliki sejumlah bukti. Sebab, sangat tidak mungkin sebuah negara bicara tanpa bukti dalam sebuah forum internasional, karena itu menyangkut nama baik negaranya.

Akhirnya, rupanya bohong telah membudaya dalam kehidupan politik di Indonesia. Kita bisa merujuk pada catatan, Jennie S Bev, barangkali benar bahwa Indonesia adalah tanah para pembohong, kriminal dan penipu [5].

Pembohongan pasti akan terbongkar, kebenaran tidak bisa dibohongi. Salam kejujuran….

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik, tinggal di Jayapura, Papua.

___________
[1] http://news.liputan6.com/read/2315404/ri-tolak-kedatangan-tim-pencari-fakta-asing-ke-papua

[2] http://suarapapua.com//read/2015/09/11/2809/aparat-masuk-kampus-bubarkan-aksi-gempar

[3] http://suarapapua.com/2014/05/lagi-indonesia-masuk-dalam-catatan-buruk-ham-di-dunia
[4] http://tabloidjubi.com/2014/05/02/pbb-pertanyakan-ham-dan-perampasan-tanah-di-papua-pada-delegasi-indonesia
[5] http://thejakartapost.com/news/2013/01/15/indonesia-the-land-liars-criminals-and-frauds.html

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.