Warinussy: LP3BH Bukan Lembaga Berafiliasi Separatis!

0
2556

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “LP3BH Manokwari adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang berfokus pada gerakan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam arti luas, termasuk membangun demokrasi dan memberikan pendidikan politik serta berupaya senantiasa mewujudkan hadirnya sistem ketatapemerintahan yang baik (good governance) dan menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government).”

Demikian ditegaskan Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, saat menyampaikan sambutan pada perayaan hari ulang tahun ke-20 lembaga yang dipimpinnya, Rabu (12/10/2016) di Manokwari, Papua Barat.

Warinussy di kesempatan itu merasa perlu menjawab “pandangan miring” dari sebagian kalangan, terutama informasi intelijen yang menyesatkan yang selama ini berkembang di masyarakat. “Saya tegaskan bahwa LP3BH bukanlah lembaga yang berafiliasi separatis Papua Merdeka,” ujarnya.

Wainussy menyatakan, “LP3BH turut hadir untuk memperjuangkan perlindungan terhadap hak-hak kebebasan berekspresi (right to freedom expression) dan berpendapat (right to speak) bagi seluruh rakyat Papua.”

Baca juga: 20 Tahun LP3BH Manokwari Eksis di Tanah Papua

ads

Kata dia, hal ini ditekankan pada pandangan bahwa perbedaan pandangan politik antara pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua adalah hal yang seharusnya tidak dimusuhi dan tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, tetapi seharusnya dirangkul dan dicari jalan pemecahannya secara politik di dalam sebuah negara demokrasi seperti halnya Indonesia.

“LP3BH Manokwari telah terlibat dalam menangani perkara-perkara pidana politik yang oleh Pemerintah selalu disebut dengan istilah Makar di Tanah Papua, seperti perkara Wasior 2001, perkara Biak Berdarah 1998, Perkara Sorong (Lapangan Remu) 1998, Perkara Lapangan Zakeus Abepura 2012, Perkara Aimas 2013,” jelas Warinussy.

Baca Juga:  Polisi Seakan Membiarkan Pelaku Teror Pada Wartawan dan Pegiat HAM di Papua

Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada ini menilai semua perkara tersebut dilandasi oleh adanya perbedaan pandangan politik sahaja yang dipaksakan sebagai tindak pidana makar, kendatipun tuntutan hukumnya tidak terbukti dan tidak memenuhi syarat materil dalam konteks hukum pidana di pengadilan.

“Tetapi karena ada kepentingan politik negara, maka jaksa penuntut umum terdiam saja, ketika vonis majelis hakim menyatakan mereka para terdakwa yang adalah tokoh-tokoh Papua harus mendekam di balik jeruji dan memperpanjang daftar tahanan politik (political prisoner) yang hingga Agustus 2014 mencapai angka 74 orang di tahanan dan LP di seluruh Tanah Papua,” tuturnya.

Para tersangka yang kemudian menjadi terdakwa dan kemudian menjadi terpidana dalam perkara-perkara tindak pidana politik atau makar ini lebih banyak “menderita” secara hukum dan menjadi terlanggar hak asasinya adalah karena mereka terlanjur “dikorbankan” oleh bangunan opini yang sengaja diciptakan oknum aparat keamanan dengan memanfaatkan informasi-informasi intelijen yang menurut definisi Warinussy sebagai Pembela HAM adalah bersifat sesat dan diskriminatif belaka.

Ia menyebutkan contoh kasus, yaitu Isak Klaibin Dkk di Aimas 30 April 2013 dan dua jurnalis asal Perancis (Thomas Dandois dan Valentina Bouratt) yang “ditangkap” di Wamena hingga disidangkan perkaranya. Juga, kasus almarhum Daniel Yairus Ramar, Juli 2002, dianiaya secara keji dan tidak berperikemanusiaan serta melanggar hak asasi manusia hingga tewas secara mengenaskan oleh sejumlah aparat anggota Satresrim Polres Manokwari.

Baca Juga:  Polisi Diminta Tangkap Penyebar Ancaman Hoaks Jelang Peringatan 1 Desember

Berkenaan dengan itu, LP3BH bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil di Tanah Papua dan Indonesia mempersiapkan langkah hukum yakni melakukan Uji Materil (Judicial Review) terhadap pasal-pasal makar (pasal 106, 108 dan 110 KUH Pidana) ke Mahkamah Konstitusi.

Lanjut Yan, LP3BH juga senantiasa terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Papua dengan slogan “Melawan Lupa” terhadap setiap penyelesaian hukum terhadap indikasi pelanggaran HAM Berat dalam sejumlah kasus yang sudah lama dan pernah terjadi atas rakyat Papua, tetapi belum memperoleh penyelesaian secara hukum dan politik.

Misalnya kasus pelanggaran HAM Berat Wasior 2001, kasus pelanggaran HAM Berat Biak Berdarah 6 Mei 1998, Kasus Manokwari Berdarah 1999, Kasus Aimas Berdarah 30 April 2013, Kasus Lapangan Zakeus Abepura Oktober 2012, Kasus Kematian Pembela HAM Munir, Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965, Kasus Penculikan Aktivis Pro Demokrasi 1998 di Jakarta, Kasus Trisakti 1998, dan Kasus Pelanggaran HAM Berat Mei 1998.

Selain itu, Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat/Genosida di kawasan Pegunungan Tengah Papua 1977-1978, serta kasus dugaan Pelanggaran HAM Berat yang diduga menewaskan 100.000 orang asli Papua sejak tahun 1963-1976 selama operasi-operasi militer berlangsung di seluruh Tanah Papua.

Baca Juga:  Berita Menggembirakan, DPR RI Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat

Upaya “Melawan Lupa” dilakukan dengan menyampaikan secara periodik laporan tentang Situasi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua pertahun kepada Komisi HAM PBB dan Dewan HAM PBB yang berkedudukan di Jenewa-Swiss dan sejumlah organisasi HAM Internasional lainnya, seperti Amnesty International, TAPOL maupun sejumlah Negara di Dunia melalui Kantor-kantor Kedutaannya di Jakarta.

Pada aras tersebut, LP3BH juga sedang merilis sebuah buku dengan judul “Menggugat Keabsahan PEPERA 1969: Kasus Manokwari”.

Buku ini menurut Yan, diterbitkan untuk memberikan pelajaran bagi semua pihak tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 29 Juli 1969 maupun peristiwa pelanggaran HAM Berat yang diduga telah terjadi pada tanggal 28 Juli 1969 dan belum pernah terselesaikan secara hukum hingga kini.

LP3BH Manokwari saat ini sedang bekerjasama dengan BP Indonesia untuk menjalankan program pengembangan pendidikan hukum dan demokrasi serta ketatapemerintahan yang baik bagi masyarakat sipil di kawasan Teluk Bintuni dan Provinsi Papua Barat.

LP3BH juga mendapat dukungan dalam konteks kerjasama dengan TAPOL dari London, Kerajaan Inggris dalam menjalankan Program Penguatan dan Pembelaan bagi Para Pekerja HAM dan Advokat HAM di Tanah Papua.

Tak hanya itu, kata Warinussy, jauh sebelumnya LP3BH pernah membantu menyumbangkan gagasan dan tenaga ahli hukum dalam memboboti draft undang-undang pemerintahan otonomi khusus di Tanah Papua yang lazim disebut Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Plus pada draft ke 13 dan 14.

Pewarta: Mary Monireng

Artikel sebelumnyaPN Nabire Ukur Ulang Tanah Lapangan Terbang Enarotali
Artikel berikutnyaAntropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian 3)