Panas Tinggi

1
8590
Oleh: Mbagimendoga Uligi
Suhu tubuh nona 40 derajat celcius, tanda-tanda awal nona menderita cacat fisik, kata perawat itu sambil meninggalkan ruangan, mengigatkan orang tua tidak lama bahaya mengancam anak.

Sudah begitu bahaya, botol infus cairan Wida D5 tergatung. Air  tidak menetes mengalir masuk ke tubuh 2 jam lamanya.

Perawat datang pergi tanpa ada tindakan. Mereka berlalu lalang dan duduk di lorong ruangan dan ruang perawat.

Dua jam menanti perawat yang berkeliaran itu berkeliaran tanpa soal, tidak ada kontrol, melakukan tindakan yang dapat mengatasi panas tinggi. Perawat  terkesan biasa saja. Tidak peduli dengan  orang tua nona yang gelisah antara anak cacat atau tetap sehat.

“Anak panas. Cairan tidak jalan ini bagaimana,” orang tua gelisah. Gendong anak. Panas nona menyebar ke orang tua  berkeringat. Tangisan makin mengeras, nafasnya tidak teratur  tidak dipedulikan.

“Anak menangis tidak papa. Kompres saja,”ungkap perawat itu sambil berlalu. Sementara,  ayah anak bangunkan mamanya yang mengantuk berat. Bangun tapi stegah sadar. Tidak bisa mengatasi situasi.

ads

“Kam ni bergerak pelan, robot masih baik. Mari pegang anak,” pinta ayah sambil menyerahkan anak dan meningalkan ruang isolasi.

Ayah menelusuri lorong ruangan. Beberapa perawat kerumun satu pasien di ruang. Ayah terus menelusuri lorong menempati satu perawat di ruang para perawat.

“Permisi, saya punya nonan panas tingi. Suhunya 40 derajat. Infusnya tidak jalan tetapi tidak ada tindakan,”kata ayah.

“Anak siapa namanya?”tanya pa mantri.

“Anak.wimwenege,”pinta ayah menjelaskan kondisi nona. Wim itu pertentangan. Wenege, wanita pembawa kabar pertentangan.

“Bapa saya ini tugas di ruangan lain. Ada perawat yang menangani itu,”ujarnya sambil menuju ruangan rawat bersama ayah.

Ayah nona diam saja. Perawat itu pesan bawa nona ke ruangan tindakan. Mereka baringkan nona di meja tindakan.

Perawat itu menarik nona pu tangan penuh hati-hati.  Lihat-lihat sebentar, katanya, ada penyumbatan.

“Mari bawa spoid,”katanya. Para perawat magang dari Marthen Indei menyiapkan permintaan.

Perawat senior itu melepaskan sambungan selang. Ia memerintahkan perawat magang guyur cairan. Air mengalir membuang darah yang meyumbat.

Ia memasukan ujung spoid ke lubang selang yang masuk ke pori-pori kulit. Ia sedot sumbatan. Gumpalan-gumpalan darah keluar dari selang. Ia kembali menyambung selang cairan.

“Pasang botol paraseramol. Guyur saja,”pintanya ke perawat magang dan dokter muda atau mereka panggil coas.

Dokter coas pegang botol tanpa alat gantung. “Ade ko pegang bagus tidak pakai alat gantung ka,”pinta paman.

Dokter mudah senyum. Ia nampak cantik mengoda. Pa matri senyum balik.

“Ade pasang baik ya..”katanya sambil membungkus tangan nona yang terpasang selang.

Ia mengarahkan padangan. Perawat magang sudah menyodorkan alat gantung. Ia pasang dan gantung parasetamol.

“Guyur e…”pesan perawat ke dokter mudah. Dokter mudah menuruti. Dua menit saja cairan parasetamol habis.

“Ganti dengan botol cairan,”ujar perawat senior itu ke dokter muda dan perawat magang.

“Kita kembali ke ruangan,”ajak perawat senior .

Ayah gendong nona ke ruangan isolasi. Nona kembali terbaring lemas. Panasnya mulai berubah pelan-pelan. Perubahannya  dua jam saja. Panas kembali naik  ke 39.

“Kompres eee..”katanya. Kompres ke kompres tidak merubah situasi..Panas bergerak di level yang sama hingga pagi.

“Panas 39,”kata dokter muda. Ia kembali bersama dokter interensif. Dokter melakukan obsevasi lalu kembali.

Tidak lama kembali kembali dengan dokter anak. Ia periksa sebentar lalu memerintahkan kasih parasetamol oral.

“Kasih bedak calicil lagi e…”kata dokter lalu meninggalkan ruangan.

Panasnya belum berubah. Kompres ke kompres menembus dingin. Kain basa jadi panas.

“Bah bagaimana ini,”ujar ayah “kita pasrahkan saja. Takut anak jadi cacat,”.

Ketakutan mentelimuti namun harapan akan  perubahan tidak merubah wajah nona yang cantik, manis dan imut tetap terlintas dalam fakta yang menakutkan itu.

“Waktu ini akan berlalu, semuanya akan baik-baik saja, tetap berharap yang terbaik,”ungkap sang ibunda

Penulisa adalah seorang buruh di Kota Jayapura. 
Artikel sebelumnyaAloysius Giyai: Empat Kab/Kota di Papua Endemik Malaria
Artikel berikutnyaEnam Aktivis KNPB dan Seorang Anak Berusia Dua Tahun Ditangkap di Manokwari