Surat dari Italia untuk Masyarakat di Tanah Papua

Virus Corona, cegahlah sebelum Papua menjadi seperti Italia!

0
3671

Surat dari Pater Martin Selitubub, Pr di Italia

Pace mace, kakak adik, salam dari Italia.

Kata corona, memang terdengar indah sebagaimana nama orang. Bahkan kata ini tidak terlalu asing dalam bahasa Italia, negara dimana saya sedang belajar saat ini. Tetapi sebenarnya adalah virus mematikan yang sedang ramai diperbincangkan saat ini. Saya pun pada awalnya meyakini bahwa virus ini adalah influenza biasa, yang bisa diatasi dengan istirahat yang cukup, minum obat tertentu, lalu akan sembuh dengan sendirinya. Inilah kesalahan awal dari orang awam seperti saya, yang tidak mengerti bahwa virus ini sangat baru, dan pergerakannya tidak bisa bisa diprediksi. Kesalahan yang kami buat ini membuat seluruh kota, bahkan satu negara yang maju seperti Italia, kewalahan menangani penyebaran virus.

Saya mau bagi sedikit ceritera tentang bagaimana pentingnya pemahaman dasar dan strategi yang tepat untuk mengurangi penyebaran virus corona.

Pada tanggal 27 Februari 2020, ketika penyebaran virus corona di Italia baru mencapai 650 orang tertular, 45 orang sembuh, dan 17 kasus kematian. Salah satu pimpinan partai yang sedang berkuasa di Italia saat ini, tampil di media nasional seperti biasanya, dan tetap mendorong masyarakat  “untuk jangan mengubah kebiasaan kita.” Saya dan beberapa teman pun mengerti bahwa kalimat ini berarti bahwa kami semua tidak perlu takut panik dan tetap beraktifitas seperti biasa. Kami masih beraktifitas seperti biasanya: ke kampus, perpustakaan, ke pasar, naik kendaraan umum, merayakan ekaristi di susteran, dan bersalam-salaman seperti biasanya. Tidak ada yang perlu ditakutkan menurut saya. Keyakinan saya bahwa Italia tidak perlu takut  karena kami tinggal di sebuah negara besar dengan fasilitas kesehatan yang memadai, kategori negara makmur, dan 60 juta turis setiap tahun, apalagi ada Vatikan yang menjadi pusat kekatolikan di sini. Pasti aman, kan?

ads

10 hari kemudian, ketika jumlah korban sudah mencapai 5.883 infeksi dan 233 orang meninggal, bos partai yang berkuasa, Nicola Zingaretti, memasang video baru, kali ini dia memberi tahu Italia bahwa ia juga positif terkena virus corona. Pemerintah Italia pun menyadari pentingnya situasi ini, lalu mereka berbegas mengunci wilayah-wilayah di utara Italia yang paling parah. Pihak medis pun dibuat kalang kabut karena mereka menangani ratusan pasien dan jenazah bertumpuk disana. Penyebaran pun makin menggila, bahkan bisa memakan korban bisa mencapai 400 orang perhari.

Menurut situs resmi departemen kesehatan italia, www.salute.gov.it, dalam tiga hari terakhir ini jumlah pasien meningkat menembusi angka 600 orang per hari. Sayangnya, kebanyakan korban adalah orang berusia lanjut atau mereka yang memiliki riwayat kesehatan yang buruk. Kami pun memilih tinggal di dalam rumah untuk membantu mengurangi penyebaran virus.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pada tanggal 9 Maret 2020, Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, memerintahkan agar negara ini ditutup untuk umum. Hanya ini jalan terakhir yang bisa dibuat untuk mengurangi penyebaran virus. Orang dapat keluar rumah dengan surat jalan khusus, karena hal mendesak saja. Bantuan dari China dan negara lain pun didatangkan. Saya pun mendengar isu bahwa mereka kecewa karena Italia masih memperbolehkan orang di taman dan di jalan raya. Maka aturan pun diperketat dengan menutup taman, melarang kegiatan di luar ruangan termasuk berjalan atau olahraga jauh dari rumah. Semua toko ditutup, kecuali apotik dan toko makanan. Siapapun yang melanggar aturan pemerintah ini akan dikenakan denda lebih dari tiga juta rupiah.

Pada hari ini, 23 Maret 2020, Pemerintah Italia melaporkan bahwa wabah epidemi virus Corona telah menyerang 63.927 penduduk Italia. Dari jumlah tersebut, 7.432 dinyatakan sembuh. Jumlah kematian hari ini adalah 602, sehingga total kematian mencapai 6.077 jiwa.

Kenyataan ini memposisikan Italia melampaui Cina, sebagai negara dengan jumlah kematian tertinggi dan menjadi pusat pandemi corona tertinggi di dunia. Kami pun terkejut. Aturan di rumah pun diperketat, misalnya harus mengambil jarak dengan orang lain, 4 orang di satu meja makan, atau 1 orang per bangku di gereja, dan tidak ada aktifitas kantor dan persekolahan karena dikerjakan dari rumah masing-masing.

Menyikapi hal ini, Vatikan sebagai salah satu negara sendiri di Italia, memutuskan untuk menghentikan semua aktifitas di negaranya, yang berdampak pada kegiatan di Gereja di masa prapaskah dan menjelang paskah. Tidak ada upacara yang diikuti oleh banyak orang, termasuk perayaan ekaristi. Juga tidak ada doa di masjid di kota Roma. Saya pun tidak ke susteran lagi untuk merayakan ekaristi di sana karena saya sadar bahwa ada para suster tua di susteran itu, dan saya takut jika saya secara tidak langsung menghantarkan virus itu kesana.

Belajar dari pengalaman kami disini, saya berdoa semoga virus ini tidak sampai masuk ke Papua. Walaupun kenyataanya sudah ada di Papua. Sedihnya, ketika ketika melihat kenyataan di Papua bahwa fasilitas kesehatan kita sangat terbatas, jika dibandingkan di kota-kota lainnya di Indonesia. Lebih menyedihkan lagi kalau melihat kampung-kampung di pedalaman yang hanya bermodalkan satu perawat jika ada, ada sedikit obat-obatan untuk menyambung kehidupan ini, dan sarana informasi dan transportasi yang terbatas. Apa mau dikata, memang pembangunan yang belum merata bisa berdampak pada realitas kesehatan atau pendidikan masyarakatnya.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Apa yang bisa kita lakukan?

Tentu saja banyak hal yang sudah dilakukan oleh Pemerintah maupun lembaga lainnya, khususnya di Papua dan Papua Barat, untuk mencegah penularan virus ini. Akan tetapi SOSIALISASI tentu saja TIDAK CUKUP. Dalam suasana ini, harus dibarengi dengan sistem kontrol yang tegas dari pemerintah dan pihak-pihak terkait.

Kita sebagai warga masyarakat pun harus terbuka dan wajib melaksanakan anjuran kesehatan yang sifatnya mendesak seperti saat ini. Sekalipun pada kenyataannya kasus penyebaran virus corona di Indonesia belum termasuk kategori darurat layaknya beberapa negara Eropa, atau seperti yang sedang kami alami di Italia. Slogan Italia, “io resto a casa”,  yang artinya “saya tinggal di rumah”, adalah untuk mengajak semua warganya, termasuk saya, untuk tetap tinggal di rumah agar memutuskan rantai penyebaran virus corona tersebut.

Artinya, sederhana:

Jadi, misalnya kalau kaka sehat, lalu jalan-jalan ke luar, bisa secara tidak sadar kaka bawa virus masuk ke rumah. Kaka mungkin masih muda dan perkasa, jadi mungkin kuat dan bisa selamat! … Mungkin!!! Tapi, coba kaka bayangkan kalau virus itu singgah di orang lain: tete, nene, bapa, mama, ade…. atau kaka sendiri. Jadi, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, seperti:

  1. Cuci tangan sesering mungkin
  2. Hindari kontak fisik dan selalu jaga jarak satu meter dengan semua orang (siapapun)
  3. Hindari tempat ramai, dan tidak perlu saling berkunjung saat ini (virus ini halus, tidak kelihatan)
  4. Virus ini lebih suka, terutama pada orang lanjut usia dan mereka yang kekebalan tubuhnya rendah.
  5. Hindari menyentuh mulut, hidung dan mata dengan tangan Anda.
  6. Gunakan tisu sekali pakai untuk mulut dan hidung jika bersin atau batuk. Kalau tidak gunakan sapu tangan bersih setiap hari.
  7. Beri ventilasi pada kamar sebanyak mungkin jika Anda bersama orang lain. Perlu udara segar.
  8. Hindari jabat tangan, pelukan, dan penggunaan kacamata atau minum dari botol minuman yang sama secara bebas. Bersihkan permukaan benda dengan disinfektan (hp, pegangan tangga dan pintu, dll).
  9. Jangan menggunakan obat antivirus atau antibiotik, kecuali dengan resep dokter.
  10. Jika ragu, jangan pergi ke ruang gawat darurat: tapi pergilah ke puskesmas dan minta petunjuk disana. Jika terserang virus ini, tidak perlu mengoles badan dengan daun gatal sebagaimana yang sering saya lakukan. Ini juga bukan hasil karya suanggi. Sakit ini akan ditangani langsung oleh tim kesehatan di rumah sakit khusus.
Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pace mace, kakak adik,

Kalimat seperti  “jangan mengubah kebiasaan kita”, atau biarkan hidup kita berjalan seperti biasanya, tidak usah takut, cukup atasi dengan doa saja, tanah kami tanah terberkati jadi kami aman, kenapa harus sibuk, santai saja, ngapain panik, dan lain-lain, adalah KALIMAT YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB kepada Tuhan, diri kita sendiri, dan sesama. Dengan kalimat-kalimat seperti ini, kita mendukung penyebaran virus dan lebih parah lagi, kita bertindak seperti soft killer, yaitu membunuh orang lain secara halus: bisa jadi itu adalah anggota komunitas gereja kita, tokoh agama kita, ibu kita, anak kita, atau diri kita sendiri. Kalimat-kalimat diatas adalah bentuk dari kesombongan  (baca: kebodohan) manusia, dimana kita secara sadar ikut menyesatkan orang lain. Apalagi penyebaran virus ini belum bisa diprediksi, dan dapat menyerang balita hingga orang tua, pejabat, tokoh agama, bahkan mungkin saya juga setelah menulis informasi ini, karena kematian adalah urusan Tuhan.

Harapan saya sederhana. Jika virus ini masuk ke Papua, tempat dimana saya hidup dan bekerja, orang-orang yang saya kasihi sudah mempersiapkan diri dengan baik.

Jika virus ini masuk ke Papua, tim medis tidak dibayangi ketakutan karena memikirkan perlengkapan pelindung yang tidak memadai lagi.

Jika virus ini masuk ke Papua, pimpinan lembaga keagamaan tidak sibuk berbicara tentang keselamatan, tetapi memperjuangkan keselamatan bersama, dengan berbagai cara yang nyata.

Jika virus ini masuk ke Papua, sudah ada koordinasi, sosialisasi, dan kontrolisasi dari tingkat propinsi sampai ke pedalaman.

Mari buka mata, tidak perlu bergandengan tangan (karena virusnya menular), kita lawan penyebaran virus ini dengan CARA YANG TEPAT, dan selebihnya kita serahkan pada ALLAH YANG BERKUASA atas hidup kita. Semoga tidak ada salah satu suku atau kampung di Papua yang punah, hanya karena kita tidak berani mengubah kebiasaan kita. Salam dan jangan takut membuat perubahan segera sebelum terlambat seperti di Italia!.

)* Pater Martin Selitubub, Pr adalah imam projo dari Keuskupan Agats yang sedang mengenyam pendidikan di Italia

Artikel sebelumnyaMeepago Cegah Covid-19, Begini Aksi Hari Pertama di KM 100
Artikel berikutnyaMendagri Tidak Setuju Keputusan Bersama Forkompimda Papua