Pelestarian Kemandirian Pangan Warisan Leluhur Bangsa Papua di Tengah Pandemi Covid-19

0
2129

Oleh: Sonny Wanimbo, S. IP)*

Pandemik Covid-19 telah menjadi momok bagi kehidupan manusia di tahun 2020 ini. Virus mematikan ini telah menyerang setidaknya lebih dari 2 juta penduduk dunia hingga saat ini, dengan kematian yang melebihi angka 200 ribu nyawa. Virus ini secara khusus menyerang saluran pernapasan manusia dan dapat ditularkan dari manusia ke manusia, atau melalui media lain yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Tidak heran jika begitu cepatnya Virus ini menyebar.

Hampir semua pemerintahan dunia memberhentikan berbagai aktifitas publik, melarang interaksi antar manusia di ruang publik agar mata rantai Virus ini bisa terhenti. Ternyata dampak yang ditimbulkan tidak sedikit. Saya menyebutnya sebagai masalah pengiring Covid-19, yang muncul dan turut menjadi momok.

Ketakutan akan dampak kesehatan hingga ketakutan pada kematian membuat hampir semua orang terjebak dalam rasa takut itu sendiri, kecemasan, dan kepanikan. Semua berpikir bagaimana menyelamatkan diri dan keluarganya dari ancaman Virus ini. Inilah masalah pengiring yang saya maksudkan. Semua orang berlomba memborong masker, sabun cuci tangan, sarung tangan, hand sanitizer, vitamin, hingga bahan makanan dan minuman, dari berbagai pusat perbelanjaan hingga kios-kios kecil. Dari apotik hingga langsung ke pabriknya.

Dampak terhadap terhambatnya alur distribusi juga pada akhirnya menyebabkan kelangkaan. Tidak kalah penting juga akibat pembatasan aktifitas publik berupa anjuran bahkan perintah bekerja dari rumah telah menjadi masalah bagi kalangan menengah ke bawah yang bekerja sebagai pedagang, sopir, ojek, pekerja serabutan, semua mereka yang pendapatannya harian bahkan berdasarkan jam bekerja. Karena hilangnya pendapatan. Sehingga kelangkaan kebutuhan alat kesehatan, dan bahan makanan tidak dapat terhindarkan. Permohonan bantuan dan pemberian bantuan sosial menjadi satu-satunya harapan dan jalan keluar.

ads

Meskipun begitu di tengah kondisi yang serba mengkhwatirkan ini, masih ada harapan bagi bangsa Papua. Saya katakan ini sebagai harapan karena kita hidup di atas tanah yang dianugerahi oleh Tuhan layaknya tanah terjanji yang dijanjikan Allah pada bangsa Israel. Tanah yang subur, air mengalir deras tanpa ada cerita kekeringan, semua tumbuh subur, rerumputan hijau, berbagai jenis binatang hidup bebas, hadiah tak terhingga dari Dia Yang Maha Esa. 21 % luas Indonesia adalah tanah Papua. Dengan jumlah penduduk hanya 4,3 juta jiwa, tanah ini seolah menjadi “pelindung” yang luas bagi semua manusianya diatasnya. Ribuan tahun tanah ini menjadi idola yang diperebutkan berbagai bangsa, selama ribuan tahun pula bangsa asli di atas tanah ini hidup dalam kemandirian memenuhi kebutuhan hidupnya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Bangsa Papua telah mengelola tanah ini untuk kelangsungan hidupnya puluhan generasi. Dengan cara membagi tanah ini atas nama suku dan marganya, termasuk didalamnya pembagian atas pengelolaan hutan bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Mulai dari memanfaatkan kayu pepohonan dan rumput untuk membangun tempat tinggal, berburu hewan di hutan, mencari ikan di sungai, serta meramu sagu untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Kondisi alam dan faktor sejarah perebutan oleh berbagai bangsa asing telah membentuk karakter bangsa Papua menjadi kuat, bermental pejuang, dengan fisik yang kuat dan kekar.

Cobaan pandemik ini hanyalah cobaan kesekian bagi bangsa Papua, saya yakin bahwa kita mampu melewatinya dengan semangat persaudaraan dan semua manfaat kehidupan yang disediakan oleh tanah Papua.

Buktinya, ketika pandemik Virus Covid 19 merebak di Asia Tenggara hingga ke Indonesia, masyarakat Papua serentak mendesak pemerintah daerahnya untuk menutup akses ke Papua.

Hal ini karena masyarakat di atas tanah ini percaya bahwa mereka mampu hidup mandiri terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari semua yang terkandung di atas dan di bawah permukaan tanah ini. Kekhawatiran pasti ada bahwa telah berpuluh tahun kita hidup dari ketergantungan akan semua alat pemenuhan kebutuhan yang dihasilkan oleh industri kapitalis yang tidak ada di atas tanah ini.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Namun apakah semua sejarah masa lalu kita akan kemandirian pangan tidak ada artinya?. Hutan diatas tanah ini telah melahirkan ratusan generasi hingga kini. Catatan sejarah yang tertulis oleh HW Bachtiar (1993), menjelaskan tentang interaksi bangsa Papua dengan bangsa lain (masa kerajaan Sriwijaya dan kekaisaran di Tiongkok) sejak abad 14, hingga masa kolonialisme oleh bangsa Eropa, semua itu karena mereka datang ke Papua untuk mencari alat pemenuhan kebutuhan mereka. Bahkan setelah integrasi pun, transmigrasi ke Papua tidak putus-putusnya dari masyarakat wilayah lain. Semua itu bukti bahwa tanah ini adalah tanah pemberi kehidupan bagi manusia diatasnya.

Maka, di tengah pandemik Covid-19 ini saya sekedar ingin berbagi harapan bagi semua saudara setanah airku Papua, bahwa kita akan tetap hidup meski cobaan ini sangat mengerikan. Semua yang ada di atas tanah Papua menjadi pelindungnya, rasa persaudaraan hingga semua kekayaan alamnya.

Alam Papua masih menyediakan semua yang kita butuhkan untuk terus hidup. Kembali ke hutan dan kebunmu, ke pantai dan sungai untuk hidup dan melestarikan tradisi leluhur karena itulah kita dan itulah cara kita hidup. Pepohanannya menyediakan kayu untuk membangun rumah, tanahnya masih subur untuk ditanami sayuran, dan buah-buahan. Ikan-ikan masih bisa di jala dari sungai dan laut yang bersih. Hewan masih bisa diburu atau diternakkan. Pohon sagu masih tumbuh dengan bebasnya.

Sari sagu (Mahuze) yang sejak dahulu diolah menjadi Sagu Sep, Kumobo, Kaka, Siu dan Wanggilamo mengandung semua kebutuhan fisik kita. Mulai dari karbohidrat, protein, kalsium, kalori, serta zat besi. Semua itu dapat menjadi solusi di tengah krisis ekonomi global akan kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya yang sekarang sudah menghantui akibat penyebaran Covid-19.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dampak dari pandemik ini saya harapkan menjadi pengingat bagi kita untuk melestarikan kembali tradisi leluhur. Para orangtua bisa mengajarkan pada anak-anaknya yang berlibur dari sekolahnya tentang cara bertani, melaut, menjala ikan, beternak, menganyam, mengolah kayu dan rotan, berburu, dan mengolah sagu menjadi makanan yang bergizi.

Kelangkaan pangan akibat larangan aktifitas publik dapat diatasi dengan kembali mengkonsumsi makanan lokal Papua seperti singkong, ubi jalar, keladi, yang disediakan dari kebun masyarakat di pegunungan. Masyarakat di pesisir menyediakan sagu yang telah diramu. Semua itu adalah makanan khas lokal kita, yang dari berbagai hasil penelitian membuktikan jauh lebih bermanfaat bagi tubuh manusia dibandingkan dengan mengkonsumsi beras atau nasi. Beternak babi atau hewan lain, serta penangkaran ikan bisa menjadi solusi pemenuhan gizi hewani.

Di sisi lain juga menjadi upaya bersama untuk saling membantu sesama bangsa Papua dalam menyediakan pangan yang berbasis pada kearifan lokal yang diwariskan leluhur kita. Sehingga tidak terjebak dalam kelaparan.

Semua itu adalah sebagai bukti bakti bangsa Papua kepada sang Maha Kuasa yang menghadiahkan seluruh cintanya di atas tanah ini. Tetap kita harus membatasi interaksi (social distancing) dengan orang lain agar Virus Covid 19 tidak menjangkiti Bapa, Mama, Pace, Mace, Adek semua, percayalah pelarangan ini tidak akan mengurangi rasa persaudaraan kita selama kita masih menerapkan cara hidup dalam pemenuhan kebutuhan pangan yang diwariskan leluhur kita.

Bukti kemandirian pangan bangsa Papua karena kita bukan bangsa pengemis yang hanya menanti bantuan dari pemerintah, atau bantuan dari para kapitalis. Kemandirian pangan yang telah diajarkan dan diwariskan oleh leluhur bangsa Papua harus dilestarikan, itulah alat pemersatu kita sesungguhnya sebagai bangsa Papua.

)* Penulis adalah Anggota DPRD Kabupaten Tolikara dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Artikel sebelumnyaPM Baru Vanuatu Telah Menunjuk Kabinetnya
Artikel berikutnyaPara Korban Topan Vanuatu Mendapat Bantuan Dari Pemerintah Selandia Baru