ArtikelAdakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Oleh: Marselino W Pigai*
*) Aktivis kemanusiaan, aktivis sosial, dan mantan koordinator Amnesty Internasional chapter Universitas Papua (Unipa) periode 2021-2023

Tahun baru ini dihadapkan dengan fenomena politik praktis yang sangat ramai di seluruh Nusantara. Kampanye-kampanye sudah digencarkan sejak sebelum debat presiden dimulai akhir tahun 2023. Kampanye pemilihan legislatif dan DPD RI baru selesai 10 Februari 2024. Situasi aktivitas perekonomian yang digeluti rakyat tak duduk diam disamping ramainya isu-isu politik di Indonesia

Seperti di Nabire, tampak ada kebersamaan fenomena ekonomi rakyat Papua dan tampilan-tampilan calon legislatif (Caleg) dan calon presiden (Capres) bergantung tegak di depan mata publik.

Fenomena politik lebih menguasai ekonomi rakyat Papua yang ditonjolkan. Tentu bukan hal baru wajah ini tampil di Papua. Selama ini politik sudah menyebar dan ikut memaksakan kegiatan ekonomi rakyat terlibat aktif. Masyarakat menjadi media penyaluran pengaruh politik. Memang suasana politik bisa menjadi peluang usaha. Tak sedikit pedagang non Papua yang berskala kecil turut hadir seperti di Pantai Nabire dan Wokimanor, Taman Gizi Oyehe. Tetapi di pasar-pasar tradisional, mama-mama pasar orang asli Papua juga berkegiatan ekonomi sebagai penjual.

Dalam satu kesempatan, saya datang ke terminal mobil jurusan Nabire ke pegunungan (Dogiyai, Deiyai dan Paniai) di depan pasar Karang Tumaritis, Nabire. Seorang lelaki bocah duduk di belakang tumpukan petatas dan sayuran kol yang sedang dijual. Sementara sang ibu sedang tidur di samping bocah itu. Mereka membangun atap untuk tadah panas dengan sebuah payung yang hanya bisa menutupi tubuh dan sebagian komoditas jualan.

Situasi serupa saya temukan di samping mereka yang tak jauh, kira-kira mendapati 25 meter jarak diantara mereka. Seorang bocah berpegang payung dan sedang menjual hasil kebun berupa petatas dan sayuran. Sedangkan ibunya tampak sedang membaringkan tubuhnya yang lelah.

Mama-mama pasar selain sebagai pasar, sepertinya mereka jadikan rumah huni di siang hari. Mereka bukan pedagang pasar yang hidup dan tinggal di Nabire. Mereka datang dari jauh di pegunungan. Selain habiskan waktu dan tenaganya, menghirup udara yang bercampur debu dan sekitar 50 meter jarak dari mereka adalah tumpukan sampah tak sedap baunya. Hujan dan angin tiada henti menghampiri mereka. Selain soal kesehatan, anak-anak tinggalkan kesempatan emas untuk memperoleh pendidikan yang bisa mengubah nasib pribadi dan komunitas suku bangsa di Tanah Papua.

Mereka memahami Nabire sebagai sentral pasaran komoditas lokal, hasil-hasil kebun. Maka, ada biaya-biaya yang harus ditanggung mama-mama pasar. Biaya transportasi per kepala sekitar Rp200.000-Rp300.000 dan biaya barang komoditi disesuaikan dengan jumlah banyaknya. Selain itu, mereka juga mengeluarkan biaya konsumsi selama berjualan di Nabire. Perhitungan pengeluaran kotor bisa mencapai Rp100.000 per hari dengan kalkulasi biaya makan minum tiga kali per hari sekitar Rp20.000. Sekali makan minum per orang, transportasi antar rumah ke pasar pulang balik bisa sampai Rp30.000.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Dibalik mama-mama pasar yang sedang berjualan di pasar, ada sosok-sosok yang berdiri tegak, bertangan genggam dan punya ekspresi yang merayu. Mereka adalah sosok yang sedang berlomba-lomba merebut kursi parlemen, dewan perwakilan daerah dan presiden yang tampil di spanduk-spanduk berukuran kecil sampai besar. Di depan gambarnya bertulisan “siap menjadi pelayan dan pemimpin rakyat”. Bahkan mereka menyinggung akan melindungi, berpihak dan mendorong kesejahteran rakyat. Bahasa semacam itu mereka bukan orang-orang pertama yang wacanakan. Biasanya tak jauh narasi-narasi lama yang diterbitkan calon-calon sebelumnya pada suasana politik.

Selain mama-mama pasar yang datang dari daerah pedalaman, ada pula dari berbagai pedesaan. Setiap pagi sekira Pukul 05.30 sampai 07.00 WIT, mama-mama pasar dari Yaro, Wanggar datang ke pasar Karang Tumaritis membawa hasil kebun menggunakan taksi jurusan, lebih dari tiga angkutan. Juga, ada mama-mama pasar dari Lagari, Makimi, Samabusa, dan Kimi, yang biasanya berpusat di pasar Oyehe. Sementara dari lingkaran kota lazimnya dipusatkan di beberapa titik pasar, seperti pasar sentral Kalibobo, dan pasar sore KPR.

Tak dipungkiri metode penguasaan pasar ini dipergunakan pedagang pasar yang ada di mana-mana seantero Papua. Selama kuliah di Universitas Papua, saya menyaksikan mama-mama pasar berjualan di pasar Wosi, pasar Sanggeng dan pasar Borobudur. Mereka datang dari pegunungan Arfak, pedesaan Prafi dan Pantura Manokwari Utara.

Bergeser ke Papua Tengah, ada potret-potret serupa yang mama-mama pasar tampilkan selama berjualan di pasar lokal di Dogiyai dan Deiyai. Mereka datang dari pelosok-pelosok kampung berjuang di titik keramaian untuk dapat memasarkan hasil kebunnya. Aktivitas itu terus berlangsung selama kegiatan politik praktis (Pemilu) berjalan.

Di Enarotali, pusat kota kabupaten Paniai, saya merasa terpukul menyaksikan aktivitas politik yang melibatkan masyarakat berkampanye dan memanfaatkan seluruh badan jalan, sementara di samping kiri dan kanan jalan raya mama-mama pasar biasa berjualan selama ini.

Tak pelak, komoditas lokal yang dijual mama-mama mendapatkan tamparan debu bahkan sampai berhamburan atau kerusakan. Mama-mama pasar yang berjualan sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, ikan, udang, kacang dan roti olahannya. Mereka juga datang melewati danau dari pelosok kampung-kampung empat penjuru mata angin, seperti Paniai Barat, Paniai Selatan, dan Paniai Utara, bahkan sekalipun bagian timur harus dengan transportasi.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Tantangan Dominasi Pendatang

Mama-mama pasar orang asli Papua berkegiatan ekonomi tidak bebas dari pesaingan. Persaingannya tidak begitu hadir dari kesadaran pelaku pasar pedagang orang asli Papua secara alamiah. Tetapi situasi persaingan ketat yang dihadirkan pedagang non asli Papua yang semakin waktu semakin menumpuk dan menguasai karena kelonggaran kebijakan pemerintah dan memiliki pengetahuan yang minim menguasai pasar.

Fenomena ini dibenarkan guru-guru Yegeka yang memberikan penjelasan dengan mantap berdasarkan pengamatan dalam satu kesempatan diskusi assessment program Owaadaa pada pertengahan November 2023 lalu. Diskusi terfokus itu digarap Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) Papua.

Problem akses ekonomi pedagang pasar orang asli Papua semakin sukar diwujudkan. Saluran-saluran yang bisa menyediakan layanan dan keberpihakan belum tercapai maksimal, bahkan hampir tidak ada. Pasar-pasar tradisional, disampingnya aktivitas pasar yang dilakukan mama-mama Papua, tidak terhindarkan kemudahan akses masuknya pedagang pasar non Papua. Akses masuk mereka bukan menghadirkan keseimbangan antara pedagang pasar asli Papua, tetapi mendominasi. Fenomena ini terlihat dari aktivitas ekonomi yang tercipta ruang-ruang pasaran lokal Papua seperti sudah sedang berjalan di Obano dan Enarotali atau Madi, Moanemani, pasar Karang Tumaritis, Jayapura, Manokwari, Sorong, Timika, Merauke, dan lainnya.

Mama-mama pasar banyak menghadapi tantangan dalam mengendalikan akses pasar lokal. Tamparan keras sudah pasti dirasakan. Mereka terlempar dan menjadi pelaku ekonomi kelas dua. Terlihat dari mama-mama pasar yang tidak pernah ada punya prospek pasar yang berkembang, ada punya pikiran-pikiran baru yang bisa progres dari satu segmen pasar ke segmen pasar lainnya. Atau ada upaya komodifikasi produk lokal menjadi kemasan-kemasan tertentu yang laris di pasaran. Akibatnya, penguasaan pasar, pendatang di nomor urut pertama.

Jika tak ada kemajuan dan perubahan yang menunjukan demikian, maka narasi-narasi marjinalisasi akan terus hangat dan terus ditemui di mana saja. Marjinalisasi itu menurut saya, wujud dari adanya praktek penjajahan yang hadir di tengah kehidupan masyarakat yang menggeluti kegiatan ekonomi rakyat.

Keputusan Politik yang Diharapkan

Ada problem krusial yang tertangkap sebagai problem esensi dalam potretan ekonomi rakyat yang diperangi mama-mama pasar Papua. Ketiadaan keputusan-keputusan politik atau kebijakan-kebijakan yang hadir mengakomodir dan memprioritaskan. Meskipun kedudukan keputusan politik itulah yang direkomendasikan dan diperintahkan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 serta kelanjutannya dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2021 telah memberi peluang bagi eksistensi orang asli Papua di berbagai bidang otonomi khusus bagi Papua.

Ketiadaan payung hukum dan kebijakan khusus ini ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi.

Pertama, regulator yang berkewajiban memproduksi peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi) belum berkapasitas dan berkapabilitas bekerja secara sinergis dan lantang mendorong. Hampir di seluruh daerah tingkat provinsi dan kabupaten di Papua menyediakan kebijakan dan peraturan perlindungan dan pemberdayaan dan keberpihakan dalam urusan kegiatan ekonomi kerakyatan. Meskipun ada bangunan bantuan pemerintah seperti pasar-pasar umum, bangunan pondok jualan di pinggir jalan Marina di Manokwari, pengadaan tenda jualan di Paniai, dan pengadaan pangkalan jualan di jalanan Kalibobo dan Oyehe. Karena pasaran semacam itu disediakan, tetapi akses pasar dan dominasi penguasaan tetap saja berjalan di sampingnya, bahkan tetap menjadi nomor satu yang menguasai mama-mama pasar Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kedua, karena kebijakan dan peraturan yang belum diterbitkan, maka besar kemungkinan ada mosi tidak percaya yang terbangun terhadap pemerintah negara. Ataukah meskipun ada upaya-upaya dilakukan, tetapi ada tembok kekuasaan yang terus menyekang hadirnya kebijakan dan peraturan yang mendukung terciptanya?

Pertanyaan semacam ini logis dihadirkan di tengah keadaan ketidakhadiran negara melalui fasilitas peraturan dan kebijakan pemerintah yang menyediakan ruang ekspresi ekonomi rakyat yang diperuntukan buat mama-mama pasar Papua. Yang mendapatkan perlakuan seperti tak ada induk dari seekor ayam yang sedang mencari perlindungan.

Kekosongan tugas yang menyolok di mata itu harus menjadi tanggung jawab prioritas yang mesti diemban para calon pemimpin yang tengah bergulat merebut kursi parlemen. Dalam urusan dan keputusan-keputusan politik kedepan di masing-masing provinsi dan kabupaten diharapkan sudah bisa menyediakan instrumen kebijakan dan peraturan yang lebih mengutamakan dan menyelamatkan rakyat Papua yang berkutat dengan kegiatan ekonomi kerakyatan di Tanah Papua.

Harus ada intervensi pemerintah provinsi dan kabupaten bukan sebagai wasit antara pemain pasar komoditas. Tetapi pemerintah harus ada di tengah kaum tertindas dari dominasi praktek pedagang pasar. Ini bukan menciptakan diskriminasi kebijakan, tetapi lebih jauh dari untuk mendongkrak usaha mama-mama pasar Papua lemah secara pengetahuan penguasaan pasar. Kemudian meminimalisir resiko kerugian yang berdampak fatal terhadap kedaulatan hidup keluarga. Karena selama ini mereka justru menjadi tulang punggung kehidupan keluarga yang mendermakan wajahnya pemerintah negara.

Barangkali sebagai catatan penting diharusutamakan berkaitan dengan mendukung fasilitas transportasi, penyediaan mini market sebagai titik sentral pasaran yang dilengkapi dengan gudang komoditas, penyediaan bibit komoditas dengan melakukan pemetaan wilayah potensi komoditas unggulan, menyediakan balai-balai riset, dan pengembangan komoditas di masing-masing daerah: provinsi dan kabupaten. Itu semuanya diperkuat dan dikukuhkan dengan kebijakan dan peraturan daerah. Sekaligus disamping itu menyediakan perangkat kebijakan dan peraturan yang melindungi dari dominasi yang berpotensi meminggirkan mama-mama pasar Papua. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.