Emisi Global dan Dampak Lingkungan BP LNG Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni

0
5473

MANOKWARI, SUARAPAPUA.com—“Masyarakat Teluk Bintuni merupakan masyarakat yang masih sangat menggantungkan keberlangsungan hidupnya dari hasil alam yang disediakan oleh Teluk Bintuni serta Hutan Mangrove-nya”

British Petroleum (BP) Berau, Ltd, perusahaan yang menjadi operator dari mega proyek Liquefied Natural Gas (LNG) Tangguh yang beroperasi di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.

Data yang di terima suarapapua.com mencatat perusahaan yang berasal dari London Inggris ini mendapat konsensi sebesar 14,4 triliun kaki kubik untuk dilakukan pengeboran.

Sejak perusahaan tersebut beroperasi hingga kini memberikan dampak pencemaran lingkungan bagi masyarakat.

Dampak ini menyertai konsesi menjadi permasalahan besar bagi lingkungan hidup dari aspek gangguan pada tanah, hingga terganggunya ekosistem sekitar di daerah yang terdampak langsung industri yang berdiri dan beroperasi sejak 2005 ini.

ads

Hasil analisis yang dikeluarkan Andrew Hickman dan Paul Barber serta diedit oleh Carolyn Marr pada April 2011, dan bisa diakses di https://www.downtoearth-indonesia.org menarik untuk dibaca sebagai renungan mengenai isu emisi global di Hari Lingkungan Hidup Dunia yang diperingati setiap tanggal 5 Juni.

Dari hasil analisis yang dikaji berdasarkan ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan) BP LNG Tangguh sebagai landasan dikeluarkan izin operasi oleh pemerintah ini, menyoroti beberapa hal. Terutama mengenai dampak lingkungan serta dampak sosial dan permasalahan Hak Asasi Manusia dengan beroperasinya BP LNG Tangguh di Negeri Sisar Matiti ini.

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

Kesimpulan yang ditonjolkan oleh BP pada AMDALnya sebagai Kebutuhan Diharuskan Berdirinya Proyek (The Need for The Project) merupakan proyeksi dari betapa asertifnya kajian yang dilakukan oleh BP LNG Tangguh sebagai pemegang konsesi.

Analisa positif dari kajian tersebut mengesampingkan efek negatif yang sangat berpotensi mereduksi kemanfaatan lingkungan dan alam di Teluk Bintuni sebagai daerah yang terdampak.

Potensi-potensi terjadinya deforestasi serta hilangnya dan rusaknya ekosistem  dan habitat di sekitar kilang yang dipaparkan pada ANDAL Bab 2.1.3  – Isu Utama Kerangka Acuan, perlu mendapatkan perhatian khusus serta adanya paparan serta kajian lain untuk menanggulangi ini.

Adanya deforestasi hingga hilangnya habitat liar di Teluk Bintuni, bisa mengganggu keseimbangan serta mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas. Hilangnya mata pencaharian serta sumber dari ketahanan pangan lokal merupakan salah satu akibat yang bisa terjadi jika kerusakan lingkungan akibat kilang ini terus beroperasi. Sampai di mana antisipasi serta solusi untuk permasalahan klasik dari beroperasinya industri ini?

Baca Juga:  Kotak Suara Dibuka di Pleno Tingkat Provinsi PBD, Berkas C1 Tak Ditemukan

Dampak atas kualitas air karena pembuangan limbah cair, kotoran serta buangan lain selama proses pengerukan dan eksploitasi oleh BP LNG Tangguh perlu mendapat kajian lain sebagai bahan pertimbangan kemanfaatan kilang di Teluk Bintuni. Terutama di Tanah Merah sebagai distrik yang terdampak langsung.

Terganggunya habitat laut akibat dari pembuangan limbah pada area konstruksi kilang serta pengerukannya, bisa mengganggu mata pencaharian sebagian besar masyarakat Teluk Bintuni yang melaut. Sampai di mana, kajian ini dipaparkan oleh BP LNG Tangguh pada Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)-nya?

Pada analisis Andrew dan Paul, AMDAL memperkirakan bahwa sejumlah 3 juta ton CO2 akan dihasilkan setiap tahun daripenghilangan CO2 dari gas alam. Ini, ditambah dengan emisi dari pembakaran bahan bakar untukmenggerakkan pabrik LNG, akan berjumlah total 4,67 (mtpa) juta ton per tahun [SEIA V.B.2.a].SEIA memperkirakan bahwa pembakaran gas oleh konsumen di negara-negara di mana LNG dariproyek Tangguh akan dijual, akan menghasilkan tambahan emisi sebanyak 20,9 mtpa CO2 [SEIALampiran 10, tabel A10.1].

Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

Hal ini yang kemudian menjadi perdebatan untuk diterbitkannya izin operasi BP LNG Tangguh. Klaim eksploitas gas harus dilakukan oleh mereka sebagai “Manfaat lingkungan global yang substansial” pangganti batu bara dan minyak merupakan logical fallacy yang masih bisa diperdebatkan.

Pada kenyataannya, hasil gas yang diperoleh dari kilang BP LNG Tangguh adalah klaim belaka. Hasil emisi gas yang dihasilkan dari produk mereka bukan sebagai subtitusi, namun sebagai penambahan emisi bahan bakar yang lain.

Bentuk kesimpulan berdasarkan premis yang sudah salah ini mencederai keinginan dunia yang ingin memangkas emisi global. Keengganan proyek Tangguh untuk membiayai teknologi penangkapan dan penyimpan karbon, menurut Paul dan Andrew merupakan alasan utama mengapa hal ini dilakukan. Prinsip ekonomi dasar yang mengesampingkan dampak lingkungan yang akan diderita oleh masyarakat sekitar pada jangka yang lebih panjang.

Pewarta : Charles Maniani

Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaThe Voice of Papua News Letter: Papuan Lives Matter
Artikel berikutnyaUpdet 12 Juni: 12 Orang Sembuh, 41 Kasus Baru, Total 1211 Orang Positif Covid-19