Pandangan Bias Gender dalam Gereja Katolik di Papua

0
2271

Oleh: Ley Hay)*
Penulis adalah Ketua Komisariat Pemuda Katolik Cabang Tambrauw

Pengantar

Gereja Katolik mendukung dan juga terus mengupayakan adanya kesetaraan antara laki laki dan perempuan, walaupun dalam hal tugas terdapat pembeda seperti kaum klerus tertahbis dan biarawati. Seorang biarawati tidak bisa mempersembahkan misa kudus karena tidak menerima rahmat tahbisan, berbeda  dengan mereka para  kaum klerus tertahbis seperti  pastor.  Namun,  lebih  penting daripada itu adalah persoalan realitas tentang kondisi dan keadaan atau pun kebijakan dalam gereja katolik oleh pimpinan gereja di Keuskupan ataupun Pimpinan Ordo dengan melihat adanya kasus amoral yang terjadi oleh kaumnya terhadap harkat dan martabat perempuan.

Katolik di Papua dipandang berat sebelah kepada para klerus atas perilaku moralnya terhadap perempuan di Papua  sehingga  menyebabkan kemerosotan moral dan ini merupakan satu indikator penting yang harus diperhatikan. Namun sayang tidak banyak pimpinan keuskupan atau pun pimpinan ordo yang menganggap ini adalah hal serius, justru mendiamkan dan seperti menganggap hal tersebut adalah wajar terjadi. Persoalan kepada perempuan mendapatkan perlindungan perilaku atas nama agama oleh klerus katolik adalah tindakan yang tidak dibenarkan apalagi menganggap bahwa hal itu adalah sesuatu yang tabu jika dibahas, dicegah dan bahkan dilawan padahal pada dasarnya manusia adalah setara, menjadi klerus adalah profesi, bukan berarti apapun yang dilakukannya melanggar harus didiamkan, dibiarkan bahkan dilindungi, seolah olah kita sedang buta dan tuli

Perempuan ketika mendapatkan perlakuan tidak adil oleh klerus katolik kadang dijadikan penyebab persoalan dan distigma buruk. ini merupakan bagian yang tidak terlepas terhadap perempuan  dan perempuan dipandang sebagai akibat runtuhnya moral para klerus. Tidak sedikit orang yang melihat kebenaran persoalan tetapi lebih memandang klerus sebagai tangan kanan Tuhan di bumi yang berlebel khusus, padahal ajaran Katolik tidak mengajarkan amoral terhadap perempuan

ads

Tinjauan Feminis dan Moralitas 

1. Teologi Feminis

Perempuan dan laki laki adalah sama sama Makhluk ciptaan Allah yang menurut citra Allah sendiri (Imago dei) oleh karena itu tidak ada jenis kelamin spesial di bumi ini, yang harus dimengerti adalah soal saling menghargai dan menjunjung rasa kemanusiaan. Anne E. Patrick memberikan pengertian terhadap feminisme sebagai komitmen untuk memperbarui masyarakat agar memiliki kesetaraan penuh antara laki laki dan perempuan dan juga saling menghormati sehingga perlu dilakukan pembaharuan pola pikir dan membenarkan tata sosial yang tidak adil.

Sebelum ada gejolak tentang kesetaraan gender, perempuan jarang mendapatkan porsi yang setara dengan laki laki, misalnya dengan upah rendah seorang perempuan yang dipekerjakan lebih dari batasan waktu, demikian pada hak berpolitik, bahkan ketika perempuan yang hamil diluar nikah dilarang mengikuti sakramen kudus sedangkan hal itu tidak berlaku kepada laki laki yang menghamili’nya. Pada keadaan yang disebut androsentris maka Perempuan mulai memahami dirinya dan berupaya untuk memperjuangkan hak nya sebagai perempuan serta penghormatan atas dirinya. unsur berpengaruh dalam androsentris adalah Budaya Patriarki dimana kontrol laki laki terhadap perempuan atas pekerjaannya, statusnya, bahkan seksualitasnya.

Perspektif feminis selain oleh Anne E. Patrick dan kawan kawannya dibelahan bumi Eropa, dikembangkan dan diperjuangkan oleh Jaquelyn Grant dan kawan kawan’nya di Africa sehingga mereka dikenal sebagai pendiri teologi  wanita  kulit  hitam. Menyadari  bahwa  kaum  perempuan berkulit  hitam bukan saja mengalami diskriminasi oleh budaya patriarki tetapi juga oleh perempuan berkulit putih dari kalangan hispanik. Selain itu di Asia seperti di Fillipina terdapat lembaga yang secara khusus mengembangkan studi dan pelatihan teologi feminis/ Woman Studies (St. Scholastica) yang di motori oleh Mary John Mananzan, sedangkan di Indonesia, tulisan tulisan Marianne Katoppo seperti Compassionate and Free : An Asian Woman’s Theology dan sederet novel berjudul Saman dan Larung oleh Ayu Utami telah sangat menghantarkan pemikiran masyarakat Indonesia untuk terus sadar dan berjuang demi kesetaraan gender.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pemikiran feminis di atas bukan saja diperjuangkan di belahan bumi Eropa, Afrika atau Amerika namun telah sampai hingga ke Papua, menyadari diri sebagai perempuan adalah suatu keharusan yang perlu dan terus diperjuangkan tanpa batas karena keadaan pemikiran dan perlakuan laki laki yang tidak adil terhadap perempuan bukan saja didalam rumah tangga, tetapi terjadi pada posisi dan status yang berlainan seperti di kantor, di jalan, dalam kebudayaan dan agama sekalipun. Oleh karena itu, meninjau dari perspektif feminis terhadap banyak kasus oleh laki laki, perempuan harus berani dan tidak membiarkan diri dalam genggaman laki laki. Oleh karena itu Pembahasan tentang Bias gender oleh Klerus Katolik di Papua, merupakan hal yang menarik karena disitulah perempuan harus berjuang terhadap bentuk bentuk ketidakadilan oleh kekuasaan atas nama agama. Perempuan tidak bisa tinggal diam dan menerima semua perlakuan tidak adil karena menjadi seorang klerus bukan berarti posisi dan statusnya harus  melebihi apapun.

2. Teologi Moral

Dalam bahasa latin kata moral didefenisikan sebagai adat kebiasaan (Mos) sehingga merupakan bagian dari Teologi Praktis yang membicarakan tentang  kebiasaan manusia yang tampak dalam tindakan yakni berpikir dan beriman dalam takaran baik dan benar, juga  memiliki  nilai dan norma. Teologi Moral menjelaskan kaitan antara manusia yang berpikir dan beriman, salah satu cara yang digunakan adalah merefleksikan diri atas tindakannya. Kitab suci adalah jiwa dari Teologi Moral karena merupakan ukuran kebaikan dan kebenaran, selain itu Tradisi dan Ajaran gereja serta akal budi sebagai bua h pikiran manusia yang baik dan selalu merefleksikan apa yang dilakukan nya.

Bagian dari Teologi Moral adalah Moral Fundamental yang menjadi dasar dan melekat pada diri manusia seperti tindakan manusia, norma moral, hukum moral, hati nurani, pertobatan, dan keutamaan. Keutamaan religi seperti hidup doa dan kaul. Keutamaan teologial seperti iman, harapan dan kasih, sedangkan Moral Spesial adalah hal yang berkaitan dengan Moral seksualitas dan Moral Sosial, dalam tugas Teologi moral ditinjau sebagai membela nilai nilai yang terkandung didalam norma hidup manusia

Oleh karena itu, ketika para klerus katolik di Papua dalam keadaan mengabaikan nilai moralitas sebagaimana dimaksud di atas, maka perlu dipertanyakan?. Moralitas dalam kehidupan klerus dipandang hal yang utama oleh masyarakat di luar biara, menjadi klerus berarti sebagai pelayan Tuhan, maka harus mengutamakan nilai nilai keutamaan, apalagi tentang moral spesial yang berkaitan dengan moral seksualitas karena ketika seorang klerus berkaul, disana terdapat tiga hal penting yaitu Kemurnian, Ketaatan dan Kemiskinan.

Kemurnian merupakan bagian dari moralitas spesial. Murni atau kemurnian sering dimengertikan sebagai tidak menikah namun bukan saja itu, kemurnian berarti Tidak melakukan hubungan seks, tidak melakukan pornografi, homoseksualitas, apalagi melecehkan perempuan hingga kekerasan seksual.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dalam hal moral,  tidak sedikit perempuan di Papua yang pernah mendapatkan perlakuan amoral oleh para klerus, ada sebagian yang menyadari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai lelaki yang menghargai perempuan, namun ada juga yang mempertahankan prinsipnya dengan alasan Imamat, padahal perilaku tidak menghargai perempuan adalah tindakan yang sama nilainya dengan Tidak menghargai Tuhan yang dipertahankannya. Persoalan amoral oleh klerus terhadap perempuan sering berakhir dengan denda adat, tetapi ada juga pimpinan gereja/biarawan yang melarikan/ memindahkan tugas kepada klerus yang bermasalah ke kota terjauh dengan mempertimbangkan nama baik sehingga persoalan selesai begitu saja.

Betapa sangat disayangkan, perlakuan tidak adil terhadap perempuan seperti hal sepeleh, padahal gereja Katolik oleh Paus Fransiskus sangat melarang kepada para klerus yang melakukan skandal seks, jika pimpinan biara/gereja di Papua membiarkan bahkan melindungi hal itu berarti mereka adalah orang orang yang turut melakukan amoral, turut melecehkan perempuan dan ikut membunuh nilai nilai keutamaan dalam kaul kemurnian. Lalu apa artinya sebuah kaul? 

Pandangan Bias Gender

Istilah bias gender diartikan sebagai pemihakan terhadap suatu pihak tertentu secara tidak adil. Misalnya keberpihakan terhadap gender tertentu, peran dan posisi yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Hal semacam ini biasanya muncul dalam bentuk adanya kecenderungan orientasi laki-laki mempertahankan diskriminasi yang tidak adil, dan mendorong pada sikap merendahkan peran dan keberadaan perempuan dalam masyarakat. Sedangkan dalam gereja Katolik di papua, beberapa ordo misionaris (Biarawan) tersebar meluas, tetapi satu satunya yang menjadi pribumi di Indonesia bahkan Papua dikenal dengan sebutan diosesan/projo. Biarawan/Misionaris di Papua antara lain seperti Ordo  Fratrum Minorum, OFM (Fransiskan), ordo Serikat Jesuit (SJ) dan ordo Santo Agustinus, OSA (Agustinian). Penyebaran OFM di Papua seperti di Keuskupan Jayapura, Jesuit di Keuskupan Timika di daerah Nabire dan OSA di Keuskupan Manokwari Sorong dan sebagian wilayah Keuskupan Jayapura (Keroom).

Berkaitan dengan masalah bias gender tentu berdampingan dengan keberpihakan pimpinan gereja dan ordo terhadap kasus amoral para klerus yang banyak merugikan perempuan di Papua. Keberpihakan dengan mempertimbangkan posisi klerus sebagai laki laki dan statusnya sebagai pemimpin umat membuat mereka dibela dan membela diri, dilindungi dan saling melindungi, dan turut mempengaruhi sudut pandang masyarakat bahwa perempuanlah penyebab sehingga perempuan harus disalahkan, di denda, dipaksa mengalah dan bahkan tidak bisa menerima komuni karena hamil diluar nikah, padahal yang menghamili tetap berjubah dan tetap di Biara dengan alasan Imamat. Padahal hanya  karena egois dan rasa ingin diakui sehingga mereka lupa untuk menghargai oranglain dan juga lupa merendahkan diri sebagai wujud cinta kasih.

Persoalan amoral oleh klerus terhadap perempuan di Papua tentu menstigma buruk perempuan sedemikian rupa. Misalnya dengan  sebuah ilustrasi penghinaan terhadap mama mama Papua oleh Pastor Agam saat berkhotbah di misa malam natal dengan mengatakan bahwa “dia melihat pemandangan susu berlompat lompat”. Ini merupakan penghinaan yang dirasakan oleh semua mama mama papua. Selain itu beberapa kasus amoral oleh klerus yang menghamili perempuan atau pun melakukan tindakan pelecehan terhadap perempuan namun didiamkan dengan perlakuan dimutasikan tugas oleh pimpinan gereja atau ordo terkait.  Semua kejadian ini, tentu tetap tidak berubah apa pun terhadap para klerus itu. Mereka tetap mendapatkan untung tinggal di Biaranya, sedangkan perempuan yang menjadi korban disalahkan, dikucilkan, sakit akibat kekerasan, terbeban psikologi. Bahkan tidak menerima komuni karena merasa bersalah atas perilakunya sedangkan klerus yang bermasalah itu tetap berjubah hanya karena menjaga nama baik ordo dan panggilan imamatnya. Tanpa disadari perbuatan tersebut sama halnya dengan tidak menghargai panggilan imamatnya sebagaimana harus menjadi teladan bukan bersikap belagu dan tetap membela diri atas alasan hidup membiara, regula biara, kaul/janji, atau pun mempertahankan Imamat. Ini berarti para klerus tersebut sedang menganggap rendah perempuan, sepertinya perempuan  tidak  pantas  mendapatkan suatu kesetaraan. Perempuan harus menjadi makhluk kelas dua dan tidak mendapatkan kesetaraan dan rasa hormat atas dasar Imago Dei (citra Allah). Padahal dalam ikrar janji, kaul kemurnian merupakan satu satunya kaul penting yang menjadi landasan menjadi seorang Imam namun dengan mengabaikan kaul kemurnian maka seharusnya kaul bukan lagi janji sakral ketika telah mencabuli perempuan, melakukan seks, melakukan tindakan pelecehan seksual (secara verbal/non verbal) dan bahkan melakukan kekerasan terhadap perempuan. Ketidakbenaran ini tidak boleh terus dipupuk oleh klerus Katolik di Papua, jika demikian persoalan bias gender karena amoral oleh para klerus tetap berkembang dan menjadi hal yang menyenangkan didalam biara.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Penutup

Dalam tujuh sakramen, tidak ada sakramen yang di istimewakan, semua setara sehingga sakramen Imamat bukan berarti satu satunya dan tertinggi diantara sakramen lainnya. Apalagi seorang klerus yang tengah melakukan kejahatan moral terhadap perempuan, patut dipertanyakan dengan tegas karena telah melanggar ikrar kaul yang diucapkan.

Selain itu, Gereja Katolik mengenal tiga kaul yaitu Ketaatan, Kemurnian/Selibat, dan Kemiskinan. Sehingga ini menjadi fondasi moral mendasar bagi kaum klerus. Misalnya dengan melakukan pelecehan seksual berarti telah melanggar kaul kemurnian oleh karena itu Keutamaan merupakan bagian dari Teologi Moral Mendasar sehingga menjadi pertanyaan jika kaum klerus menyepelekan hal utama dari hidup religius’nya dan betapa amat disayangkan jika dalam gereja Katolik ‘mereka’lah orang orang yang turut menghancurkan nilai moral dan menjadi perampok iman yang dimiliki umat didalam gereja itu sendiri.

Beberapa kasus amoral dalam gereja Katolik harus ditutup rapat dan mendapatkan perlindungan dari pimpinan gereja atau pun ordo tanpa menyadari bahwa hal itu telah meleburkan nilai nilai kesetaraan dan rasa hormat terhadap perempuan. Masih pentingkah nilai Moralitas dalam gereja Katolik di Papua?

Oleh karena itu, praktik bias gender terhadap perempuan oleh klerus di Papua harus ditentang karena pada hakekatnya manusia; laki laki dan perempuan adalah citra Allah, selain itu hukum gereja Katolik  pada  Kanon 208  menjelaskan bahwa “Diantara semua orang beriman kristiani, ada kesamaan sejati dalam Martabat Manusia”. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bisakah klerus-klerus itu merendahkan diri dan bukan menjadi penipu terhadap perempuan atas nama agama? (*)

Referensi

Banawiratma, J.B. 1999. Teologi Kontekstual Liberatif. Yogyakarta : PT. Kanisius

Chang, William. 2015. Moral Spesial. Yogyakarta : PT. Kanisius

Nadeak, Largus. 2015. Teologi Moral Fundamental. Medan : Bina Media Perintis

Niwa, Asnath, (ed). 2013. Perempuan dan Kekerasan. Yogyakarta : Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia

Artikel sebelumnyaFOTO: Demo Mahasiswa USTJ di Halaman Kampus
Artikel berikutnyaJDP: Biarkan Masyarakat 7 Wilayah Adat Putuskan Penting Tidaknya Otsus Lagi