JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pemerintah Pusat (Jakarta) dan Pemerintah Daerah agar segera melakukan evaluasi Otsus Papua secara konprehensif, dan mendengarkan apa yang diinginkan masyarakat Papua.
“Perlu dievaluasikan dulu Otsus yang sudah berjalan itu secara konprehensif, lalu kita berbicara tentang Otsus jilid II. Untuk kelanjutannya itu apakah direvisi pasal-pasal di dalam undang-undang itu dan disesuaikan dengan dinamika saat ini atau dinaikan statusnya,” kata Beatus Tambaip, dosen FISIP Uncen Jayapura ketika ditemui suarapapua.com di ruang kerjanya, Rabu (8/7/2020).
Kata Tambaip, apa yang disampaikannya cukup beralasan, dimana lahirnya Otsus Papua adalah sebagai solusi ketika terjadi konflik di tanah Papua.
Dimana jelas bahwa awal lahirnya Otsus menunjukkan semua pihak di Papua tidak siap, artinya masyarakat Papua tidak siap dengan Otsus. Pemerintah Pusat juga tidak siap dengan Otsus itu.
“Jadi Otsus itu lahir karena satu pihak panik karena aspirasi yang begitu kuat sehingga dicari jalan tengah dan Otsus itu sebagai jalan tengah, makanya sejak awal sampai sekarang Otsus itu bermasalah terus,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa yang ada saat ini adalah Jakarta hanya memberikan dana Otsus yang besar, namun tidak dilakukan pengawasan.
“Yang dilihat itu seolah-olah hanya uang saja yang datang untuk pembangunan, dan kesejahteraan orang asli Papua. Jadi orang harus menerima itu sehingga uang itu sebagai gula-gula untuk semua orang isap itu dan tenang.”
“Jakarta hanya berikan uang lalu tidak dilakukan kontrol, sehingga elit-elit politik lokal memanfaatkannya. Makanya rakyat kecil tidak merasakan manfaat dari Otsus itu,” tuturnya.
Ia juga mengatakan bahwa lemahnya Otsus disebabkan karena UU 32 Tahun 2004 tentang Otonomi daerah, sekarang UU 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah itu masih kuat di Papua.
“Di Papua itu pemerintah gunakan peraturan pemerintah daerah, bukan UU Otsusnya. Makanya Otsus itu menjadi lemah dan tidak berdaya, sehingga semua kewengan itu masih dikendalikan oleh pusat. Lalu Papua hanya diberikan uang yang besar sehingga Otsus itu betul-betul tidak berdaya.”
Oleh sebab itu ia minta agar Jakarta melakukan evaluasi secara terbuka mengenai Otsus itu.
Ia juga mengkritisi cara-cara yang selama ini dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dengan mengangkat sejumlah orang di jalan-jalan yang akhirnya mengklaim diri sebagai tokoh Papua untuk berbicara Otsus.
“Tetapi lebih baik semua kelompok duduk sama-sama lalu bicarakan hal ini, biarpun mereka tolak. Lalu kita godok keluar itu karena ada pilihan-pilihan kalau kita tolak kita pakai ini, kalau ini yang dimasukan konsekuensinya seperti ini, kalau kita terima seperti ini nantinya. Jadi jangan mengklaim diri lalu bicara Otsus, tapi kita perlu lihat karena di Papua ada sekitar 250 suku, sehingga perlu undang mereka untuk dibicarakan bersama-sama,” pungkasnya.
Serupa disampaikan mahasiswa, pemuda dan masyarakat Pegunungan Bintang yang dengan tegas menolak rencana dilanjutkannya Otonomi Khusus Papua jilid dua.
“Kami tolak Otsus jilid II. Kami rakyat Papua siap untuk referendum, sebab hadirnya Otsus bukan untuk membangun diri dan Papua, tetapi tidak ada dampak,” kata Frans Waisi, Kamis (9/7/2020).
Pewarta: Yanuarius Weya
Editor: Elisa Sekenyap