EDITORIAL: Otsus Tra Epen!

0
1270

DISKURSUS tentang Otonomi Khusus (Otsus) gagal diimplementasikan di Tanah Papua, sejatinya bukanlah sebuah isapan jempol belaka. Sejak diberlakukan 21 November 2001 hingga kini tahun 2020 —menjelang 19 tahun— banyak fakta membuktikan diskursus ini. Semua bisa dijadikan landasan kegelisahan dan sakit hati pemilik negeri emas ini terhadap kebijakan pemerintah Indonesia meredam aspirasi Papua Merdeka.

Dari awal sudah tidak sedikit suara mengemuka menyambut kehadirannya, dengan satu suara: menolak Otsus. Tetapi akhirnya diberlakukan juga walau ditentang dengan berbagai pandangan mengingat situasi daerah ketika itu.

Pada intinya semua bernada sama, bahwa ini gula-gula politik dari pemerintah Indonesia atas berbagai persoalan terutama kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lebih-lebih karena menguatnya tuntutan “lepas” menjadi satu negara berdaulat di dunia. Ini setelah diadakan Kongres Rakyat Papua (KPR) II tahun 2000 yang dikomandani Presidium Dewan Papua (PDP). Ada tiga keputusan kolektif rakyat Papua. Pertama, pelurusan sejarah Papua dalam NKRI; kedua, rakyat Papua meminta dialog segitiga; ketiga, menuntut kemerdekaan Papua.

Gelombang aspirasi kemerdekaan dijawab dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Ini tawaran politik Jakarta kala itu, yang diyakini mampu meredam tuntutan kemerdekaan Papua.

Tetapi, apa realitanya setelah diberlakukan? Itu soal besar yang hingga hari ini terus menerus diperdebatkan.

ads

Ambiguitas pemerintah selama masa pemberlakuan UU Otsus bagi Provinsi Papua —termasuk Provinsi Papua Barat— kerapkali digelegarkan masyarakat akar rumput di pelosok hingga perkotaan. Tetapi, suaranya sangat sulit didengar. Apalagi ruang ekspresi sudah ditutup rapat pasukan bersenjata. Rintihan tiap hari bak angin lalu.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Masyarakat lapisan bawah memang wajar merintih akibat belum merasakan hasil Otsus. Tidak berlebihan bila dikatakan Otsus gagal diimplementasikan sesuai tujuan awal. Otsus tidak menyentuh sasaran. Wujudnya tidak terlihat. Lalu, selama ini dana Otsus dikemanakan? Inilah persoalannya. Kalau tanya sama rakyat Papua, mungkin jawabannya seperti ini: “Kitong tra tau karena selama sekian tahun ini para pejabat yang biasa nikmati Otsus.”

Tentu perlu data akurat untuk membuktikannya. Perlu pula investigasi lebih lanjut di tujuh wilayah adat: Mamta, Laapago, Meepago, Anim Ha, Saireri, Doberay, dan Bomberay.

Setelah selama ini faktanya sudah begitu, apakah masih harus paksakan Otsus terus dilanjutkan meski pada akhirnya nanti tidak memberi manfaat bagi orang asli Papua? Jawabannya ada di rakyat Papua. Jadi, lebih baik tanya saja sama OAP!.

Hanya sebagai catatan, niat baik pemerintah bagi Papua sejatinya tidak dirasakan manfaatnya bagi warga masyarakat pada umumnya di Tanah Papua.

Otsus tidak salah. Yang salah adalah manusia-manusia serakah yang menjadikan Otsus sebagai ladang hidup. Hidup nyaman dan makmur dengan dana-dana Otsus di atas isak tangis dan derita rakyat Papua.

Bila sudah demikian, masihkah harus lanjutkan Otsus jilid kedua? Tanya saja sama rakyat Papua!. Sudah pasti akan dikasih jawaban. Dan, jawaban mereka pasti, tidak bertele-tele, tidak berstandar ganda. Jika minta lanjutkan, ya lanjutkan. Kalau tidak, ya tidak usah sudah to!. Paksa-paksa untuk apa? Lagian sampai detik ini rakyat Papua mau menentukan nasib sendiri. Cuma satu dua oknum saja yang menghendaki Otsus dilanjutkan, dan itu tidak atas nama segenap OAP.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Mereka yang paksa ini yang patut dipertanyakan. Karena jangan sampai dorang sudah khawatirkan nasib hidupnya setelah “barang” satu itu tra dilanjutkan. Belum waktu, tetapi su pusing akan kemana manusia-manusia serakah itu bersandar untuk melanjutkan sisa nafasnya?

Sekali lagi, paket Otsus pertama kali dikirim Jakarta ke Papua karena kala itu Papua lagi menghangat dengan aspirasi kemerdekaan. Sekarang, segelintir orang desak lanjutkan Otsus karena perjuangan Papua Merdeka sudah mendunia. Apakah wacana jilid kedua yang akhir-akhir ini ramai menghiasi media massa maupun media sosial, bakal menghalau kian mendunianya kampanye Free West Papua?

Persoalan Papua mendapat perhatian serius dari negara-negara di dunia justru di era Otsus. Alasannya jelas. Tumpukan persoalan selama bertahun-tahun yang diharapkan dapat dijawab pemerintah, malah sebaliknya. Belum maksimalnya pemenuhan hak-hak masyarakat Papua sebagai warga negara Indonesia, ditambah dengan meningkatnya kasus pelanggaran HAM plus kasus rasisme yang menimpa orang Papua dan sempat heboh hingga membuka mata dunia bahkan ketua Komisi HAM PBB bersuara, sepertinya sulit dikendalikan. Citra negara Indonesia sudah pasti dipertaruhkan di muka internasional.

Kenyataan selama Indonesia merdeka dan 57 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2020) pascaintegrasi maupun 20 tahun setelah implementasi Otsus, Indonesia tidak pernah ada political will sedikitpun untuk menyelesaikan akar masalah Papua. Dua dari empat hal substantif akar masalah Papua yang kemudian diperkuat dengan kajian dari LIPI dalam Road Map Papua, antara lain penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM oleh aparat pemerintah atas nama negara, dan pelurusan sejarah integrasi Papua ke NKRI, masih belum dilakukan hingga kini.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Otsus dilanjutkan artinya mau lanjutkan pelanggaran HAM di Tanah Papua dengan berdalih pemerintah sedang meminimalir kesenjangan pembangunan daerah, tetapi tetap enggan mengakui kesalahan masa lalu karena dianggap sudah final. Ya, boleh juga. Boleh bagi rezim kolonial-militeristik untuk mempertahankan negeri emas ini demi kejayaan negara terbelakang di dunia. Itu fakta!.

Belakangan semakin gencar dengan niat revisi UU Nomor 21 tahun 2001 yang dirubah dalam UU nomor 35 tahun 2008, kabarnya sudah masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Draftnya bahkan disiapkan Jakarta menurut versi dan kemauan politiknya yang harus dituntaskan tahun ini.

Pemaksaan negara memang sangat terlihat dalam seluruh proses yang tengah dipimpin Presiden Joko Widodo dibawah kendali Mendagri Tito Karnavian bersama pasukannya. Ini artinya sudah makin jelas apa kepentingan dari perjuangan ekstra keras mensahkan Otsus jilid kedua, tentu saja tidak lain adalah kepentingan uang dan upaya mempertahankan hegemoni politik pemerintah Indonesia di Tanah Papua.

Selama 20 tahun implementasi Otsus, apakah negara sudah akui hak-hak dasar OAP dan eksistensi identitas kulturalnya? Apakah OAP sudah tidak lagi ditempatkan sebagai warga negara kelas dua? Omong kosong!.

Pesimisme masih bergelayut dalam sanubari OAP. Lanjutkan Otsus juga sama saja. Tidak akan ada perubahan yang signifikan. Mungkin nanti sama seperti yang sudah berlalu: banyak akal bulus hingga menelan banyak jiwa sambil terus mengeruk kekayaan alam hingga tiada tersisa atas nama pembangunan dan nasionalisme Merah Putih di Tanah Papua. ***

Artikel sebelumnyaVIDEO: Ini Alasan Egianus Kogeya Angkat Senjata dan Lawan Indonesia
Artikel berikutnyaJakarta Kasih Sinyal Kuat untuk Perpanjang Otsus Papua 20 Tahun Lagi