EditorialEDITORIAL: Natal Ternoda Politik Praktis

EDITORIAL: Natal Ternoda Politik Praktis

BEBERAPA hari lagi hari raya keagamaan umat Kristiani —Natal— akan dirayakan. Khusus di Indonesia, perayaan Natal tahun ini memang tidak seperti biasanya. Kali ini terpaksa harus diwarnai dengan hiruk-pikuk politik karena bersamaan ada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Jadwal program dan tahapan yang diatur Komisi Pemilihan Umum (KPU), seperti enggan memperhitungkan pentingnya solidaritas antar umat beragama.

Pertanyaannya, mengapa tahapan terutama kampanye politik harus di bulan Desember yang nota bene sudah masuk masa suci umat Kristiani menyambut hari kelahiran Yesus Kristus?.

Jika kita flashback, memang bukan baru kali ini saja. Jauh sebelumnya pernah terjadi juga. Bagi yang masih memiliki nurani, Natal dan Paskah merupakan hari suci umat Kristen Protestan dan Katolik yang sejatinya amat penting untuk sesama lain hargai.

Sayangnya, ini mungkin tidak berlaku di negara kita. Boleh jadi karena agama minoritas pemeluknya.

Tetapi, kalau mau jujur, umat Nasrani di manapun —dari Sabang sampai Merauke— merasa kecewa hari rayanya harus dinodai dengan berbagai aktivitas politik.

Warna politik terlalu menyolok di bulan suci umat Nasrani.

Mau bagaimana lagi, umat Tuhan sepertinya dipaksa harus menerima kenyataan dengan aslinya politik praktis di negara ini.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Suasana politik praktis yang sedang bergulir hari-hari belakangan ini agaknya menjadi alat penguji iman umat Kristiani di Indonesia. Termasuk di Tanah Papua. Ia akan menantang anak Tuhan memilih salah satunya: politik atau Natal?.

Kita diperhadapkan dalam suasana demikian bertepatan dengan momentum Natal sebagai hari raya besar umat Kristiani di seluruh dunia. Lantas, apakah umat atau rakyat dengan sadar akan bertahan menghadapi politik praktis ataukah makin terjerumus lebih dalam hingga lupa kebiasaan umat Tuhan?. Kesimpulannya berpulang ke orang Papua itu sendiri dalam memahami momentum politik praktis dan atau momentum perayaan Natal yang tiap tahun selalu ditunggu-tunggu segenap umat Tuhan.

Hampir setiap saat hangat memperbincangkan topik politik praktis lima tahunan, sementara momentum perayaan Natal seperti disepelekan oleh karena bersamaan waktu pelaksanaannya.

Terbukti juga karena berbagai jenis alat peraga kampanye (APK) seperti baliho calon legislatif (Caleg) maupun  calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) sudah tertancap di hampir semua titik strategis. Baik di tepi jalan utama, sepanjang jalan raya, dekat pasar atau terminal, dan lain-lain.

Bukan ucapan Natal. Ini orang pasang baliho kampanye politik.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Di mana-mana nuansa politik praktis sangat terasa. Tentu saja dengan tujuan politik pula. Berbagai jenis APK dipampang di hampir semua tempat strategis untuk mempengaruhi konstituen. Satu kebijakan yang secara tidak langsung memangkas pola pikir sehat umat terutama para pemburu kursi politik yang setelah mimpinya terwujud akan nyaman dengan prestise, kekuasaan dan kertas berharga.

Kita sepakat bahwa momentum Natal adalah hari besar umat Kristiani. Jika demikian, sebaiknya sadarilah kaum minoritas yang sedang terpinggirkan oleh politik kekuasaan di atas tanah airmu.

Orang Papua mayoritas beragama Kristen Protestan dan Katolik, sejatinya sudah paham dan bedakan mana yang lebih penting: Apakah utamakan momentum politik praktis ataukah momentum Natal?.

Sedikit lebih jauh, anak Tuhan sepertinya sedang tidak sadar dengan sinetron yang tengah diputar di momentum Natal ini.

Bisa jadi juga momentum politik praktis dan momentum Natal bagi umat Kristiani di Tanah Papua hendak mengukur seberapa jauh kesadaran dan iman anak Tuhan di negeri kaya raya ini.

Meski ada unsur pemaksaan politik praktis di bulan istimewa yang secara tersirat melemahkan keyakinan, kepercayaan dan iman orang Nasrani di Tanah Papua, sebetulnya hal ini memberi satu pelajaran penting untuk menyadari pentingnya menyambut Sang Bayi Natal dalam diri kita, dalam keluarga, dan dalam komunitas basis Gerejawi.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Namun, sayangnya, kebiasaan kesadaran dan kebiasaan hidup kokoh sebelumnya kian terkikis perlahan-lahan oleh skenario busuk dengan praktik halus maupun kasar yang sedang dimainkan dari ibu kota negara.

Kondisi ini juga tidak terlepas dari penerapan kuasa penindasan dan penjajahan secara tersistematis, terstruktur dan masif selama puluhan tahun semenjak berlangsungnya proses aneksasi ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi.

Orang Papua yang merasa termarginalkan mesti memahaminya dari dua konteks: apa pentingnya politik praktis bagi OAP?. Dan, apa pentingnya perayaan Natal bagi umat Kristiani?. Sebab di momentum Natal, kita sedang diperhadapkan dalam agenda politik lima tahunan dan secara tidak langsung kita diuji melalui praktik penjajahan demi memberangus tradisi umat Kristiani merayakan sukacita Natal.

Jelas, kedua momentum itu sangat berlawanan. Hanya, dengan akal sehat, harus perlu memilahkan mana yang menjadi paling penting dan utama dalam kehidupan kaum terjajah oleh praktik kolonialisme, militerisme, dan kapitalisme.

Selamat bersiap diri songsong Natal dalam warna-warni politik praktis. ***

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.