STRATEGI penanganan yang keliru terhadap Tanah Papua —provinsi Papua dan Papua Barat— selalu diperlihatkan pemerintah Indonesia. Setidaknya selama puluhan tahun semenjak proses integrasi, hal nyaris sama seakan tidak berubah. Meskipun berniat menyenangkan rakyat, kesan yang kemudian muncul justru bertolak belakang.
Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang sarat masalah bahkan tanpa evaluasi kendati sorotan terus menderas selama lebih dua dekade, seperti tanpa ada masalah hingga harus dilanjutkan ke jilid kedua. Pemberlakuan tanpa mendengar suara rakyat, makin mempertegas tidak jelasnya negara menyelesaikan akar persoalan Papua.
Seakan hilang akal sehat untuk mendengar dan memperhitungkan suara-suara yang terus digemakan dari pulau emas ini. Pemerintah justru semaunya mengambil kebijakan lain. Kebijakan yang tidak dikehendaki rakyat itulah yang diterapkan meski kerap disambut dengan aksi penolakan.
Tragisnya lagi, berbagai kebijakan pemerintah pusat yang dianggap obat mujarab tidak mampu mengobati luka batin masyarakat Papua. Belakangan pemerintah mengambil kebijakan juga terkesan tumpang tindih yang pada gilirannya gagal direalisasikan. Tidak juga membuat senyum di wajah-wajah polos, justru borok kian mendalam.
Ketimpangan berkepanjangan yang semakin sulit mengurai akar persoalan di Tanah Papua. Kewajiban negara tidak dirasakan di tengah komunitas masyarakat. Sikap antipati kian subur berbuah kebencian akut.
Dari lembaran regulasi yang ada, kita mencatat sedikitnya empat kebijakan pemerintah pusat yang tumpang tindih buat Tanah Papua.
Pertama: Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Kedua: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Ketiga: Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemekaran Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Keempat: Rencana Pengangkatan CPNS Khusus Orang Asli Papua.
Kebijakan pertama belum efektif diberlakukan, muncul kebijakan kedua. Kebijakan kedua pun belum efektif diberlakukan, lahir lagi wacana ketiga hingga yang terakhir baru diumumkan Senin 10 Mei 2022.
Semua kebijakan tadi jelas tumpang tindih. Satu belum sepenuhnya dijalankan, muncul kebijakan baru. Ini tentu saja bisa membingungkan bagi pelaksana kebijakan sendiri, apalagi masyarakat sebagai objek dari kebijakan tersebut lebih dibingungkan.
Lantas, pertanyaannya, mengapa bisa ada kebijakan yang serba tumpang tindih?.
Entahlah apa pertimbangan urgensinya. Tetapi, kalau dicermati, kemungkinan besar karena pemerintah panik dan bingung lantaran diterpa arus besar isu politik dunia yang terancam terdepaknya Papua dalam peta wilayah politik.
Di dalam negeri soal isu Papua dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja, tetapi di luar negeri sudah tersebar luas menyentuh seluruh kawasan dunia hingga mendapat simpati beberapa dari 193 negara anggota PBB. Dukungan tersebut bukan tidak mungkin isu Papua akan tiba di meja PBB.
Dari sinilah Indonesia begitu kaget, terkejut dan tentu saja panik, kemudian keluarkan kebijakan bertubi-tubi pada objek yang sama, yaitu masyarakat Papua yang terkesan tumpang tindih.
Namanya kebijakan tumpang tindih tentu saja tidak akan efektif dilaksanakan hingga hasilnya pun tidak akan kena sasaran. Lebih banyak bersifat kamuflase seolah-olah menunjukkan itikad baik demi membangun Papua, tetapi sesungguhnya hanya sekadar pencitraan politik mengelabui penilaian buruk dunia luar.
Rakyat Papua tetap menjadi korban dari semua kebijakan yang diturunkan Jakarta, oleh karena kebijakan tersebut dilahirkan dalam keadaan yang terburu-buru akibat kepanikan tadi. Kecuali kebijakannya lahir dari kesadaran yang sungguh dengan kajian mendalam dan melalui evaluasi yang menyeluruh atas kebijakan masa lalu yang dianggap gagal.
Kita pasti setuju bahwa dengan berbagai kebijakan yang tumpang tindih itu, Papua tetap di jalur korban pembangunan. Hanya sekelompok elit yang memanfaatkan situasi ini, menari-nari di atas penderitaan rakyatnya. Rakyat dengan segala keterbatasan, terus saja diperalat demi memenuhi hasrat politik dan ekonomi kaum benalu tanpa sedikitpun merasa berdosa.
Fenomena memilukan itu semakin membudaya, bahkan mungkin bakal berlanjut, apalagi Otsus jilid dua sudah disahkan sekalipun tanpa dievaluasi, tanpa mendengar suara rakyat, dan secara otoriter meski cenderung melanggar konstitusi negara. ***