Masyarakat Minta Presiden Jokowi Hentikan Operasi Militer di Nduga

0
1958
Warga masyarakat Nduga dan keluarga korban penembakan Elias dan Seru Karunggu ketika gelar aksi protes di Keneyam Nduga, Senin (27/7/2020). (Disediakan untuk SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Sebanyak dua ratus lima puluh tujuh (257) warga sipil Nduga telah meninggal dunia, pasca operasi militer sejak 2 Desember 2018 hingga 18 Juli 2020. Hal itu terjadi akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Hal itu terungkap dalam pernyataan sikap masyarakat Nduga dalam aksi protes terhadap Pemerintah Nduga yang dilaksanakan di Keneyam, Senin (27/7/2020) dengan bentuk penyerahan peti mati sebagai dampak dari penembakan dua warga sipil atas nama Elias Karunggu dan Seru Karunggu pada 18 Juli 2020.

Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

Selain penembakan pasca operasi militer di Nduga, terjadi juga pemerkosaan dan ribuan warga sipil mengungsi besar-besaran ke hutan meninggalkan rumah dan kampung halamannya selama 1 tahun 7 bulan (2 Desember 2018 – 18 Juli 2020).

Aksi protes warga Nduga dan keluarga korban penembakan Elias dan Seru Karunggu di Keneyam, Nduga, Senin (27/7/2020). (Disediakan untuk SP)

Untuk itu, atas nama kemanusiaan dan solidaritas seluruh komponen masyarakat Nduga menyampaikan 6 tuntutan kepada Presiden Republik Indonesia, Ir. Haji Joko Widodo bahwa:

  1. Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggungjawab mengadili oknum pelaku penembakan Elias Karunggu, Selu Karunggu dan Hendrik Lokbere di Keneyam Nduga.
  2. Kami seluruh elemen masyarakaty suku Nduga dengan tegas menolak Otonomi Khusus jilid dua.
  3. Kami minta Presiden Republik Indonesia hentikan Operasi Militer di Wilayah Nduga, Papua.
  4. Mengutuk tegas oknum pelaku penembakan warga dipil di Nduga, dalam hal ini aparat keamanan dari Satgas Yonif 330 agar segera bertanggungjawab.
  5. Kami mendesak dan meminta intervensi kemanusiaan dari Dewan HAM PBB, Dewan Gereja Dunia, Lembaga HAM sedunia serta LSM internasional.
  6. Harus ada tim investigasi untuk olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), dalam hal ini pemerintah daerah, aparat keamanan, Komnas HAM, LSM dan lembaga independen lainnya.
Baca Juga:  Soal Pembentukan Koops Habema, Usman: Pemerintah Perlu Konsisten Pada Ucapan dan Pilihan Kebijakan

`

ads

Pewarta: Elisa Sekenyap

Artikel sebelumnyaWawancara Imajiner dengan Ketua MRP dan Ketua DPR Papua tentang Pokja Otsus
Artikel berikutnyaBEM USTJ Minta MRP Undang Seluruh Masyarakat untuk Evaluasi Otsus