‘Otonomi Khusus’, Neraka Bagi Orang Asli Papua 

0
2171

Oleh: Silfester Awetobi Bobi)*
Penulis pada alumnus mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua dan STFT “Widya Sasana” Malang-Jawa Timur. Staf di SKP Keuskupan Timika Papua.

Di dalam tulisan ini saya menguraikan dan membahas tentang: otsus neraka bagi orang Papua. Adapun metode yang digunakan yaitu kepustakaan dan pengalaman langsung. Yang kemudian dikumpulkan, dikelompokkan dan dikelolah serta dikerjakannya berdasarkan buku-buku, artikel ilmiah, media dan dari pengalaman serta hasil dialog langsung bersama masyarakat kecil di Papua terkait otonomi khusus. Dari studi yang saya kerjakan diperoleh temuan bahwa otsus sungguh-sungguh membakar dan menghanguskan manusia Papua. Temuan ini mengkritik tindakan rasisme dan pembunuhan kemanusiaan secara tersembunyi maupun yang nampak dari otonomi khusus atau otsus tersebut. Otsus yang sungguh-sungguh tidak membangun dan tidak menyejahterakan orang Papua sejak diberikan otsus sebagai gula-gula damai dari Indonesia kepada banggsa Papua yang meminta kemerdekaan tersebut.

Keywords: Otsus, Neraka, Orang Papua

Otsus

Otsus berasal dari kata otonomi dan khusus. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namosAutos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, hukum, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan khusus adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah dalam suatu daerah.

ads

Otonomi khusus merupakan suatu kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah tertentu agar dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak dan aspirasi masyarakat setempat. Kewenangan yang diberikan kepada daerah tertentu ini supaya orang menata dan mengelolah daerah tersebut dari berbagai segi berdasarkan aspirasi masyarakat. Intinya otonomi khusus diberikan kepada daerah tertentu yang mau memisahkan dirinya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai suatu pendekatan damai dari pemerintah.  Namun realitas menyatakan bahwa masyarakat yang mestinya didamaikan dan disejahterakan itu mengalami berbagai masalah oleh bangsa Indonesia.

Otonomi khusus bagi provinsi  Papua sudah berjalan sejak tahun 2001 yang lalu dan kini pun sedang berjalan. Tujuan dari diadakannya Otsus tersebut adalah mereka mau mensejahterakan masyarakat Papua dalam berbagai aspek kehidupan dan mengatasi berbagai masalah yang sedang terjadi di bumi cenderawasih ini. Itu berarti dapat dikatakan bahwa otonomi khusus bagi provinsi Papua adalah sebuah solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami oleh rakyat Papua. Benarkah demikian, dengan berlipat ganda dari otsus ke otsus plus lalu otsus jili II dan seterusnya? Bagaimana realitas kehadiran otsus, otsus plus, otsus jilid II bagi orang Papua? Di bawa ini adalah uraian realitas otsus di tanah Papua secara detail.

Orang Papua

Manusia Papua adalah manusia berakal budi, berhati nurani yang memiliki kehendak, karakter dengan kekhasan rambut keriting, kulit hitam terdiri dari 275 suku, bahasa, adat istiadat. Mereka sangat berbeda dengan orang Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan palau-pulau lain seperti Maluku, NTT dan lainnya. Ini adalah soal identitas bukan rasnya, rambutnya hampir mirip dan lainnya tetapi bahwa mereka benar-benar berbeda sampai akhir hayat. Untuk itu orang Papua memiliki sejarah, budaya, bahasa, suku, adat istiadat dan lainnya sangat berbeda sebagai bentuk identitas dirinya.

Identitas merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat atau keadaan khusus seseorang yang menunjuk sebagai jati diri. Jati diri menggambarkan tentang identitas sebagai makhluk hidup. Identitas juga sebagai kesejatian orang Papua bukan mencari-cari sesuatu yang tidak ada, yang hampir mirip, tetapi yang sudah ada (being), bukan juga yang tidak, tetapi yang ada. Ada pada orang Papua sejak ia diciptakan oleh Allah. Orang Papua adalah orang-orang yang tinggal dan hidup di tanah Papua yang memiliki sejarah, memiliki leluhur, memiliki alam, memiliki jati diri sebagai manusia sejati, memiliki ciri-ciri khas yang jelas dan semua yang ada pada pribadi orang Papua bukan yang di luar dari dirinya. Identitas sebagai kesejatian orang Papua adalah relasi yang baik, harmonis dengan dirinya, dengan sesamanya, dengan alamnya, dengan leluhurnya dan dengan Pencipta yang ada dalam kepercayaan-kepercayaan orang asli Papua bukan Pencipta yang diajarkan oleh agama luar yang datang ke Papua (Alua, 2004:24-34). Karena Pencipta bagi orang Papua itu sudah ada dan hidup, makan dan minum bersama-sama dengan mereka dalam setiap budaya orang Papua, sehingga mereka merindukan dan mengharapkan pribadi Pencipta itu yaitu Sang Penyelamat untuk membawa ke luar dari segala kekerasan dan pelanggaran HAM, rasisme, kemiskinan, diskriminasi dan lainnya bagi orang Papua.

Bukti Otsus Neraka Bagi Orang Papua

  1. Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Papua
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kekerasan dan pelanggaran HAM adalah masalah utama dan terutama, fundamental dari negara Indonesia terhadap orang-orang Papua sampai detik ini. Kita menjumpai dimana-mana kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi.

Pertama, kekerasan-kekerasan kemanusiaan sebelum kekerasan kemanusiaan di Paniai.

Kedua, kekerasan kemanusia di Paniai. Kisah tragis pembunuhan kemanusiaan manusia Mee yang dilakukan oleh para militer tersebut. Masyarakat setempat dikejar-kejar, ditangkap, dianiaya, disiksa, diadili hingga pembunuhan dengan senjata. Kisah pembunuhan ini terjadi pada bulan suci bagi orang kristiani seluruh dunia tepatnya tanggal 8 Desember 2014, TNI POLRI menewaskan empat masyarakat setempat yakni Yulianus Yeimo, Apinus Gobai, Simon Degei, Alpius You (SKPKC, Cepos, Jayapura, 26 Desember 2014, hal. 6).

Ketiga, kekerasan kemanusiaan di Dogiyai, tindakan militerisme pengejaran, penangkapan, penganiayaan, penyiksaan hingga pembunuhan dilakukan pada tanggal 13 April 2011. Pada saat itu mereka membunuh Domin Auwe dan Alwisius Waine dan yang kena luka tembakan atas nama Matias Iyai, Albertus Pigome, serta berbagai rumah dan segala isinya dibakar habis.

Keempat, kekerasan kemanusiaan di Tolikara, tindakan kekerasan TNI POLRI yang menewaskan dua masyarakat setempat yakni Arianto Kogoya dan Jumdi wanimbo pada tanggal 23 Juli 2015.

Keenam, kekerasan kemanusiaan di Timika, tindakan penembakan dari TNI POLRI terhadap masyarakat sipil pada tanggal 28 Agustus 2015 yang menewaskan Yulianus Okoare dan Imanuel Marimau (SKP Keuskupan Timika).

Ketujuh, berbagai masalah kemanusiaan yang tak henti-hentinya terjadi di seluruh pelosok Papua dari berbagai segi yang berakibat pada kekerasan kemanusiaan yang tersembunyi maupun yang kelihatan dari militer Indonesia.

Kedelapan, salah satu masalah yang sangat besar di bangsa Indonesia secara khusus di Papua adalah semua kekerasan kemanusiaan yang diuraikan di atas maupun yang lainnya sampai saat ini tidak pernah mengakui siapa pelaku pembunuh kemanusiaan, sehingga masalah demi masalah selalu diciptakan di mana-mana untuk menutupi kekerasan kemanusiaan ini.

  1. Rasisme

Rasisme terhadap orang Papua juga merupakan persoalan paling utama dan terutama yang dilakukan oleh bangsa Indonesia setiap saat dengan berbagai cara.

Pertama, sebelum pengucapan rasisme dari para sporter Arema, Semarang, Jepara, Balikpapan.

Kedua, para sporter Aremania, Semarang, Balikpapan mengucapkan dan membuat logo serta melempar kulit pisang ke arah sporter orang Papua sebagai tanda monyet (jubi.co.id.cdn.ampproject.org, 16 Mei 2013 dan Koran Tempo edisi 22 Desember 2007).

Ketiga, kekerasan kemanusiaan rasisme di Malang dan Surabaya pada tanggal 28 Agustus 2019 terhadap mahasiswa Papua. Akibatnya kerusuhan terjadi di Manokwari, Jayapura, Wamena, Deiyai dan seluruh pelosok Papua. Dengan rasisme ini membunuh identitas manusia sebagai ciptaan Allah, bahkan kita menjumpai banyak orang Papua sampai sekarang ditahan, dipenjara, diteror, dikejar-kejar tanpa alasan yang jelas di atas tanah Papua.

Keempat, orang Indonesia mengatakan atau mengucapkan dan dalil dari rasis tidak pernah di hukum sebagai negara hukum, tetapi orang Papua sebagai korban rasis dituduh sebagai separitis, teroris dan lainnya, ini sebagai tindakan rasisme pemerintah Indonesia terhadap orang Papua, bahkan tidak pernah ada keadilan bagi orang Papua semenjak Papua dipaksa ke dalam NKRI sampai detik ini (kasus rasisme tahun 2019 di Malang-Surabaya).

Kelima, rasisme terhadap orang Papua pun terjadi di dalam setiap bidang seperti politik, budaya, agama, dan lainnya serta di dalam lembaga-lembaga dan perusahan serta di seluruh pelosok bidang kehidupan secara langsung maupun halus.

  1. Diskriminasi Orang Papua Di Tanah Sendiri

Diskriminasi merupakan suatu tindakan pengusiran kepada orang setempat atau orang pribumi dalam pembedaan perlakuan terhadap sesama ciptaan Allah, sesama warga negara berdasarkan warna kulit atau ras, golongan, suku, ekonomi, agama, budaya dan lainnya. Selain itu, diskriminasi merupakan suatu bentuk kekerasan kemanusiaan diciptakan dan dilakukan oleh penguasa kepada orang-orang setempat atas indentitasnya sebagai manusia, atas tanahnya, ekonominya, kekayaannya dan lainnya sehingga merugikan, menyingkirkan, menjauhkan yang sebenarnya diselamatkan dan dibebaskan seperti pada dasarnya hidup itu bebas (SDG no 2, 1985:44).

Diskriminasi inilah yang dialami oleh orang Papua secara pribadi maupun kelompok dalam realitas hidup masyarakat. Masyarakat Papua selalu dipinggirkan, dijauhkan dalam bidang agama, ekonomi, politik, budaya, sosial dan lainya karena yang mendominasi dalam semua bidang ini adalah orang-orang pendatang atau yang datang dari luar atau orang asing, sehingga orang Papua menjadi orang asing di atas tanahnya sendiri.

Pendiskriminasian terhadap orang Papua dilakukan dan diciptakan oleh para penguasa seperti pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, TNI/POLRI, lembaga-lembaga (seperti agama, sosial, politik, budaya dan ekonomi) dan organisasi-organisasi yang bersifat rasisme, sukuisme, budaisme, agamaisme dan isme-isme lainnya sehingga sangat terasa dalam kehidupan berlembaga, bermasyarakat, berkeluarga hingga pada setiap pribadi itu sendiri (Bdk. Dale & Djonga, 69-75). Secara pribadi maupun komunitas dari perasaannya maupun pemikirannya sudah lama menciptakan diskriminasi kepada orang Papua di atas hakekatnya, identitasnya, tanahnya sendiri dan lainnya di Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Maka jelaslah bahwa tujuan dari diskriminasi yang dilakukan oleh orang luar adalah merasa diri bahwa saya, kami yang datang dari luar atau orang asinglah yang lebih baik, hebat, keras, jago, pintar, bersih, dan lainnya demi mencari dan memperoleh keuntungan dan menyingkirkan, menjauhkan, menganiaya, mengejar-ngejar hingga pada pembunuhan indentitas orang Papua yang kaya akan alamnya, manusianya, leluhurnya sendiri ini. Pada hal kita tahu bahwa orang Papua adalah orang yang memiliki identitasnya tersendiri dan memiliki rasio, kehendak dan segala yang bernafas pada kemanusiaan orang Papua dari Allah.

  1. Kemiskinan

Kemiskinan berasal dari kata miskin yang artinya tidak memiliki harta, serba kekurangan, kurang penghasilan. Kemiskinan merupakan seluruh aspek yang berkaitan dengan miskin atau kekurangan apa yang penting bagi hidup manusia. Kemiskinan yang dimaksudkan di sini adalah kemiskinan yang memiskinkan orang lain melalui kemiskinan struktural dan kemiskinan atas kekayaannya sendiri yang dibuat sedemikian rupa oleh penguasa di Papua. Pada hal, kita semua tahu bahwa Papua adalah Surga Kecil:” segalanya sudah ada dan sempurna dari segi kekayaan alamnya, manusianya beranekaragam dan lainya sehingga baik adanya (Wirshart, 1978:11).

Namun semuanya berubah akibat perbuatan yang memiskinkan orang Papua. Kemiskinan dimunculkan oleh pihak-pihak tertentu seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahan dan lainnya, itu karena salah satu dari bentuk kejahatan sebagai kebodohan manusia dan tidak mengerti bahwa semua orang yang ada di bumi Papua ini adalah segambar dengan Allah sendiri.

Gambaran singkat mengenai situasi kemiskinan di Papua. Data kemiskinan yang dipublikasikan pada tahun 2004 hingga sekarang oleh UNDP, BPS-Papua, BKKBN Papua memperlihatkan bahwa rakyat Papua (75%) berada dalam kemiskinan (http://id.ethologue.com,  jam 10.30, senin, 7 September 2020).

Kemiskinan inilah yang membuat rakyat Papua mengalami kelaparan, gizi buruk, berbagai penyakit dan angka kematian yang tinggi. Realitas kemiskinan ini berlawaanan karena kenapa PT Freeport, dana otsus dan lainnya hadir di Papua dan pemerintah pusat mendapat pajak sangat tinggi tetapi realitasnya seperti ini, kan aneh? Buktinya kita dapat melihat tokoh-toko, ruko-ruko, saham-saham, kendaraan dan lainnya semakin tinggi di Papua. Bahkan di Papua daerah trans semakin banyak dengan mendatangkan orang-orang luar atas kebijakkan pemerintah pusat dan daerah.

Untuk itu kemiskinan di Papua bukan bersifat individual dan juga bukan karena faktor alam dan lainnya. Kemiskinan di Papua sudah merupakan kemiskinan struktural, sistematis yang dilakukan dari pusat Jakarta dan daerah Papua di mana sistem ekonomi, sosial, budaya, politik yang diterapkan untuk memiskinkan, merugikan dan membunuh rakyat Papua dan menguntungkan mereka yang berkuasa di atas negeri ini.

  1. Kegagalan pembangunan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lainya

Pendidikan

Semenjak UU Otsus diberlakukan di Papua ada beribu ribu kegagalan pembangunan pendidikan di Papua. Kegagalan ini dilakukan secara sistematis oleh negara.

Pertama, tidak ada ruang bagi masyarakat kecil di Papua melanjutkan studi yang berkompoten di luar negeri maupun di dalam negeri.

Kedua, masyarakat kecil tidak mendapatkan dana otsus sehingga mereka berhenti sekolah di pertengahan jalan hingga menganggur.

Ketiga, masyarakat kecil yang sudah mengenyam pendidikan dengan biaya sendiri pun tidak mendapat lapangan kerja sedikit pun.

Keempat, secara keseluruhan di daerah-daerah pelosok belum memiliki putra daerah Papua yang secara khusus menangani pendidikan hingga menyeluruh. Padahal sangat luas cakupan pendidikan membutuhkan penanganan dan pembinaan secara propesional oleh petugas khususnya di bidang tersebut.

Kelima, tidak ada akses jalan dari sekolah-sekolah pedalaman ke kota untuk mereka dapat mengeyam pendidikan lebih lanjut.

Keenam, pembangunan fisik, saran dan prasana seperti perpustakaan dan lainnya tidak ada.

Ketujuh, masyarakat kecil dibunuh dengan pendidikan dari para Tentara Republik Indonesia yang secara membabi buta mengajar anak-anak sekolah di pedalaman-pedalaman Papua. Padahal kita tahu profesi TNI adalah petugas keamanan bukan ahli tenaga guru, apalagi mereka bukan ahli pengajar.

Kedelapan, masyarakat kecil tidak mendapat dana pendidikan dari otsus tetapi diperuntungkan bagi anak-anak para elit politik dan bahkan dana otsus diperuntungkan bagi orang asing seperti orang Jawa, Kalimatan, Sumatra, Sulawesi, Maluku=Ambon, NTT=Flores dan lainnya yang bukan orang Papua sampai detik ini.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kesehatan

Di sisi kesehatan, infrastruktur sangat tidak memadai di seantero tanah Papua. Kematian orang Papua di era otonomi khusus terbilang tinggi. Hal ini terlihat dari sejumlah hal yang melatarbelakanginya. Antara lain:

Pertama, orang Papua setiap hari meninggal minimal 1 sampai 5 orang akibat kekurangan gizi.

Kedua, orang Papua dikenakan biaya saat pengobatan di rumah sakit umum, klinik dan lainnya padahal dana otsus sudah diperuntungkan untuk masyarakat kecil di Papua.

Ketiga, tidak adanya bangunan fisik, sarana dan prasaran rumah sakit atau puskemas atau pusko yang profesional di seluruh wilayah Papua.

Keempat, orang Papua mengalami kekurangn gizi karena seluruh tempat tinggal dan tempat cari makan minum dipenuhi oleh PT Freeport, perusahan, pertambangan dan lainnya sehingga mereka terkena limbah, sakit, menderita dan mati secara tak wajar.

Kelima, salah satu contohnya di Asmat tanggal 8 Januari 2018 telah ditetapkan sebagai gizi buruk luar biasa oleh Pusat Krisis Kesehatan-Kementerian Kesehatan Indonesia. Sudah 72 orang meninggal  dunia hingga 1 Februari 2018, belum terhitung hingga sekarang tahun 2020 mengalami penderitaan gizi buruk di seluruh Papua.

Ekonomi

Di bidang ekonomi, secara umum dapat dikatakan bahwa perekonomian di tanah Papua telah dan sedang dikuasai oleh kaum imigran melayu dari luar Papua. Di era Otsus, orang dari berbagai pelosok nusantara terus datang ke tanah Papua bagai air mengalir. Hal ini berdampak pada sektor ekonomi. Dimana pada sektor ekonomi, telah dikuasai oleh kaum imigran melayu.

Beberapa hal yang melatarbelakanginya adalah, pertama, dari semenjak otsus diberlakukan sampai sekarang ini tidak ada pasar bagi mama Papua, walaupun pemerintah daerah maupun pusat berjanji akan dibangun dengan dana otsus melalui APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) dan lainnya.

Kedua, tempat-tempat hasil usaha kecil mama-mama Papua dikuasai oleh ruko-ruko, tokoh-tokoh serta dikuasi oleh pedagang asing di seluruh wilayah Papua.

Ketiga, orang Papua kaya atas alamnya tetapi semua kekayaan diekspor ke luar sehingga kebutuhan ekonomin keluarga sangat memprihatinkan.

Keempat, orang Papua tidak diberdayakan tenaga profesional  dalam bidang ekonomi untuk memiliki perusahan atau lainnya agar mereka membangun perekonomian sendiri. Kelima, hasil usaha kecil mama Papua dan lainnya tidak didukung dengan modal otsus sebagai titik awal perekonomian mereka.

Selain itu, kebudayaan sebagai wadah dan jati diri orang Papua dimusnahkan secara perlahan-lahan karena tidak ada museum di setiap suku atau wilayah, perhatian dan pelestarian adat istiadat di Papua yang kaya akan suku bangsa tersebut. Dan juga bahasa daerah atau bahasa ibu di beberapa suku sudah mulai hilang di Papua, bahkan hilang akibat pemaksaan bahasa Indonesia tanpa pemeliharaan bahasa setempat sebagai kekayaan istemawa. Ini karena tidak ada pemberdayaan bahasa setempat dengan membuka sekolah muatan lokal dari dana lokal atau dana otonomi khusus. Dan masih banyak rentetan persoalan otonomi khusus sebagai neraka bagi manusia Papua dalam segala bidang kehidupan di Papua.

Solusi – Sebuah jalan damai 

Pada akhirnya semua persoalan otsus di atas, orang Papua merasa dan mengalami otsus itu neraka atau api yang membakar manusia Papua sampai detik ini. Jika demikian, bagaimana caranya memadamkan atau mengeluarkan mereka dari neraka atau api ini? Mereka sesungguhnya meminta apa? Mereka membutuhkan apa? Apakah deretan persoalan di atas itu otsus sudah menyejahterakan rakyat Papua? Bagaimana caranya menyejahterakan manusia Papua? Apa solusi atas persolan-persoalan di atas tanah Papua?

Jawaban atas semua pertanyaan dan persoalan ini adalah orang Papua menginginkan refendum atau hak penentuan nasib sendiri menjadi negara WEST PAPUA. Mereka membutuhkan hak hidup atas tanah sendirinya sebagai manusia bermartabat seperti negara-negara lain dan manusia lainnya di dunia. Mengapa karena persoalan kekerasan dan HAM serta Rasisme adalah persoalan utama dan terutama di atas tanah Papua sampai detik ini. Selain itu, kita harus membuka dialog yang melibatkan pihak ketiga  antara Indonesia dan Papua. Dialog bukan sesuai keinginan bangsa Indonesia dan bangsa Papua tetapi dialog yang  mampu memediasi keduanya yakni melalui Jaringan Damai Papua (JDP) kepada suatu perdamaian. Salah satu hal yang paling penting juga adalah kita harus membuka wartawan asing masuk ke Papua agar semua orang mengetahui, mencari, menunjukkan dan memberikan jalan damai atas persoalan kekerasan dan HAM serta Rasisme di atas tanah Papua yang ditutupi selama ini oleh negara Indonesia. (*)

 

Artikel sebelumnyaBupati Dumupa Apresiasi Anggota DPRD Dogiyai
Artikel berikutnyaMinggu 4 Oktober, TPNPB Klaim Hadang dan Tembak Anggota TNI di Ndugusiga