Samuel Asse Bless, intelektual muda Maybrat. (Maria Baru - SP)
adv
loading...

KOTA SORONG, SUARAPAPUA.com— Pemerintah Indonesia mesti mencari resolusi baru untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Tanah Papua, tak lagi dengan menawarkan untuk memperpanjang Otonomi Khusus (Otsus).

Pendapat ini dikemukakan Samuel Asse Bless, salah satu intelektual Papua dari kabupaten Maybrat, saat berbicara dengan suarapapua.com, pekan lalu.

“Pemerintah tidak boleh paksakan kehendaknya kepada rakyat Papua. Untuk menyelesaikan persoalan Papua, harus ada resolusi baru, bukan Otsus lagi!,” ujarnya.

Samuel mengungkapkan fakta selama 19 tahun Otsus diberlakukan sudah banyak orang Papua meninggal di atas tanahnya sendiri. Tak terkecuali kasus berdarah akibat terjangan peluru milik oknum aparat keamanan.

Berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, kata dia, tak pernah ditangani untuk memenuhi rasa keadilan keluarga korban.

ads
Baca Juga:  Satgas ODC Tembak Dua Pasukan Elit TPNPB di Yahukimo

Kebijakan melanjutkan Otsus yang tengah digodok di Jakarta, dianggapnya bukan solusi terbaik. Pun dengan rencana pemekaran daerah otonomi baru (DOB) yang justru nantinya berpeluang melahirkan konflik lebih besar di tengah masyarakat.

Menurut Samuel, solusi yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia adalah meninjau kembali hukum internasional yang diatur PBB tentang dekolonisasi agar ada penyelesaian masalah secara hukum internasional.

“Otsus berlanjut bukan keinginan mayoritas masyarakat Papua. Pemerintah jangan lagi menawarkan Otsus, tetapi harus ada resolusi baru untuk penyelesaian konflik di Tanah Papua. Resolusinya periksa kembali di hukum internasional, dari PBB yang mengatur tentang dekolonisasi masih ada. Kita mewacanakan ini, sehingga ada penyelesaian konflik Papua secara hukum internasional dan ada hak penentuan nasip sendiri bagi bangsa Papua,” ujarnya.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Ia sependapat dengan usulan berbagai pihak, dalam proses penyelesaian masalah Papua, bukan cuma antara Papua dan Jakarta, tetapi pemerintah mesti melibatkan pihak ketiga yang independen dengan tetap mengakomodir masyarakat akar rumput, seperti TPNPB-OPM, aktivis gerakan pro-kemerdekaan Papua, pemerintah daerah dan pusat.

“Pemerintah di Jakarta jangan mengambil kebijakan yang hanya mewakili para elit politik yang mencari makan untuk diri sendiri. Dengan juga suara dan tuntutan mayoritas rakyat Papua. Pemerintah menyelesaikan konflik Papua dengan meminta bantuan negara independen, kemudian menyatukan masyarakat akar rumput, bahkan TPN-OPM, ULMWP, KNPB, dan organisasi pro-kemerdekaan, supaya sama-sama mencari solusi terbaik,” tutur Bless.

Baca Juga:  Aktivitas Belajar Mengajar Mandek, Butuh Perhatian Pemda Sorong dan PT Petrogas

Sementara itu, Beyum Antonela Baru, salah satu tokoh perempuan di Kota Sorong, mengatakan, apapun strategi yang dibangun para elit politik Papua dan Jakarta seperti memekarkan lima provinsi bukan solusi, justru membuka peluang terjadinya kasus pelanggaran HAM dengan sasaran masyarakat sipil.

“Mau pakai strategi pemekaran provinsi, kabupaten, kampung, tetap sama saja dan itu menciptakan pelanggaran HAM baru dan berlapis-lapis bagi masyarakat Papua,” kata Beyum.

 

Pewarta: Maria Baru
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaDPRD Tambrauw: Otsus Gagal Total di Tanah Papua
Artikel berikutnyaFOTO: Pekerjaan Jalan yang Sering Mengakibatkan Kemacetan di Waena