BeritaIni Tiga Rekomendasi PAHAM Papua Terkait Kasus Penganiayaan di Sentani

Ini Tiga Rekomendasi PAHAM Papua Terkait Kasus Penganiayaan di Sentani

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua menyatakan, kekerasan aparat terhadap warga sipil di Papua kembali terjadi, tepatnya di kompleks Asrama Soloitma Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (4/11/2020).

Gustaf Kawer, Direktur PAHAM Papua mengatakan, kejadian itu bermula dari kejadian lakalantas karena kelalaian antara oknum anggota TNI berpakain preman dan dua warga sipil atas nama Meky Suhuniap dan Olun Yoal di dekat kampus STIKES Sentani Jayapura pada 4 November 2020 pukul 21.00 WIT.

Dimana oknum aparat tersebut menabrak dua orang warga sipil yang mengendarai motor melewati jalan Yomake dari arah belakang pasar Lama menuju kompleks BTN Ceria, sehingga menyebabkan pertengkaran, dan pemukulan terhadap oknum aparat dan motor miliknya diamankan.

Respon tindakan tersebut, oknum anggota tersebut menghubungi sesama anggota korpsnya di Yonif 751 Sentani pada pukul 23.00 WIT, dimana sekitar 50 anggota berpakain preman dan dinas mendatangi asrama Soloitma di Sentani dengan membawa sangkur, pedang Samurai dan melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil di sana.

“Warga dipukul, pintu rumah dirusak dan motor-motor diangkut. Salah satu warga bernama Demision Kobak (18) yang sedang sakit dan berbaring ditendang aparat di badan bagian kiri walaupun yang bersangkutan telah menyampaikan tidak tahu persoalan sumber keributan itu. Akhirnya ia di bawa ke rumah sakit Yowari Sentani untuk di rawat, namun tanggal 5 November 2020 pukul 04.00 nyawanya tidak tertolong dan meninggal dunia,” kata Kawer melalu siaran persnya yang diterima suarapapua.com, Jumat (6/11/2020).

Baca Juga:  Sikap Mahasiswa Papua Terhadap Kasus Penyiksaan dan Berbagai Kasus Kekerasaan Aparat Keamanan

“Dengan situasi tersebut, mestinya melapor kepada institusi yang berwenang agar mengatasi peristiwa lakalantas dan penganiayaan ini, bukannya melakukan tindakan seperti itu,” kata Kawer.

Selain itu, aparat melakukan kekerasan terhadap enam (5) warga sipil di asrama Soloitma, yang berasal dari Yahukimo, Papua. Enam warga itu di bawa ke Yonif 751 untuk dinterogasi sambil ditendang, dipukul dibagian badan dan muka. Dipukul menggunakan “moncong senjata” dibagian kepala hingga berdarah.

Kemudian, keenam warga tersebut dipindahkan ke Mapolres Jayapura di Doyo, Sentani dan pada 5 November 2020, sekitar Jam 02.00 WIT, warga tersebut di pulangkan pihak Kepolisian Polres Jayapura.

Sebanyak 5 orang yang mengalami penganiayaan:
1. Edi Kobak (laki-laki dewasa).
2. Nation Suhuniap (laki-laki dewasa).
3. Nus Suhuniap (laki-laki dewasa).
4. Simson Suhuniap (laki-laki dewasa).
5. Yotam Kobak (laki-laki).

Warga sipil lainnya yang sempat diangku aparat:
1. Mince Kobak (perempuan dewasa).
2. Laura Yoal (perempuan dewasa).
3. Pinet Pahabol (laki-laki dewasa).
4. Demisian Kobak (perempuan dewasa).

Baca Juga:  Panglima TNI Bentuk Koops Habema Tangani Papua

Dengan tindakan ini katanya, tindakan aparat TNI dari Yonif 751 Sentani dapat dikategorikan sebagai tindakan tidak profesional, melanggar hukum disiplin militer sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruh a dan b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 dan melanggar Undang-Undang yang berlaku, yakni melakukan penangkapan diluar prosedur hukum, melakukan penganiayaan dan penyiksaan dan melakukan pembunuhan diluar prosedur hukum.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 Jo. Pasal 351 Ayat (1), (2) dan 3 KUHP Jo. Pasal 170 KUHP Jo Pasal 190 Ayat (1), (2) dan (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

Yohanes Mambrasar, Koordinator Non Litigasi PAHAM Papua mengatakan, situasi kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil di Papua kini menjadi kebiasaan rutin tanpa proses hukum dan tindakan tegas dari institusi bersangkutan untuk membuat efek jera oknum. Terutama kasus-kasus penembakan yang berulang kali terus terjadi di Nduga, Timika, Intan Jaya yang berakhir tanpa proses hukum.

Kata Mambrasar, bahkan terkesan negara, aparat penegak hukum dan institusi TNI masih melindungi pelakunya yang adalah aparat yang berasal dari institusinya sendiri.

“Kita dapat melihat peristiwa yang baru saja terjadi beberapa waktu terakhir ini, penembakan dua Warga Nduga, ayah dan anak atas nama Elias Karunggu dan Seru Karunggu, penembakan terhadap 3 warga Timika, Melki Marck Mnisini, Armando Bebari dan Ronny Wandik, penembakan di Intan Jaya terhadap Pdt. Yeremia Sanambani, Katekis Gereja Katolik, Agustinus Duwitau dan Rufinus Tigau yang hingga kini pelakunya masih menghirup udara bebas dan belum tersentuh hukum,” tegasnya.

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

Dengan demikian PAHAM Papua merekomendasikan beberapa hal untuk menjadi perhatian:

  1. Pangdam XVII Cenderawasih agar memproses hukum para anggota TNI yang terlibat dalam penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan diluar hukum terhadap warga sipil di asrama Soloitma di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua;
  2. Anggota TNI Yonif 751 yang terlibat dalam tindakan penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan diluar hukum sudah selayaknya di beri sanksi yang tegas berupa vonis sesuai dengan perbuatannya dan pemberhentian dengan tidak hormat dari institusinya;
  3. Pangdam XVII Cenderawasih perlu mengevaluasi pendekatan militer di Papua agar lebih humanis dan melakukan pembinaan terhadap seluruh Anggota TNI pada satuan tugas masing-masing, agar bertindak lebih profesional dan tidak lagi melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil di Papua, seperti yang terjadi secara berturut-turut di Nduga, Timika, Intan Jaya dan Jayapura.

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.