BeritaDewan Pers: Saatnya Indonesia Memiliki Regulasi Tentang Medsos

Dewan Pers: Saatnya Indonesia Memiliki Regulasi Tentang Medsos

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Dewan Pers menegaskan kini saatnya Indonesia memiliki regulasi mengenai media sosial. Hal ini karena kekuatan media sosial semakin meningkat dibandingkan pengaruh media massa, sementara sejauh ini tidak ada regulasi yang mengatur penggunaan media baru ini.

Hendry Chairudin Bangun, wakil ketua Dewan Pers, tidak membantah besarnya peran media sosial di tengah masyarakat Indonesia.

Lantaran peran media sosial yang semakin besar dalam masyarakat, Hendry menyebutkan bahkan pengelola surat kabar saat ini harus kreatif.

“Bagaimana caranya? Itu yang menjadi persoalan sekarang karena kue iklan itu merosot tajam bukan tajam lagi ya jadi dari 100% mungkin sekarang tinggal 17% ya atau bahkan kurang. Kalau dulu belanja iklan itu Rp150 triliun, bayangkan kalau hanya 15% sekarang yang jatuh ke media diperebutkan oleh 40.000-an media. Semuanya itu untuk Google, Yahoo, YouTube dan sebagainya, jadi ini masalah besar,” bebernya dalam diskusi ‘Regulasi negara dalam menjaga keberlangsungan media-media mainstream di era disrupsi medsos dalam rangka Hari Pers Nasional’, Kamis (4/2/2021) di Graha Pengayoman, Jakarta.

Mantan wartawan Kompas ini berpendapat, sebetulnya pers juga membantu medsos.

“Ya, apa-apa yang muncul di akun-akun pejabat-pejabat langsung jadi berita. Orang lalu mencari aslinya, otomatis membunuh pelan-pelan media itu sendiri. Ini fenomena yang aneh, terutama yang clickbait ini,” kata Hendry.

Ada satu faktor lagi dimana media sosial semakin menjadi sumber informasi, Presiden Joko Widodo sejak awal itu mempromosikan media sosial.

“Kita tahu vlognya dengan Raja Salman, dengan Mahathir Mohamad dan segala macam,” jelasnya.

“Kantor Sekretariat Negara juga sekarang, semua ada di media sosial, jadi media massa mencari dari situ. Masyarakat juga mencari dari situ, dulu kan orang menunggu besok atau menunggu siaran televisi. Nah ini sekarang termasuk Kementerian Hukum dan HAM juga hebat, semua ada.”

Baca Juga:  Polri akan Rekrut 10 Ribu Orang untuk Ditugaskan di Tanah Papua

Lanjut Hendry, “Kami di Dewan Pers kadang-kadang memandang konten media sosial itu dianggap sebagai karya jurnalistik. Dengan kasus-kasus tertentu terutama apabila menyangkut kasus hukum terhadap wartawan, termasuk juga peristiwa di KM 50 itu.”

“Patokan kami adalah ada dua syarat dia dianggap sebagai media massa itu pertama yang membuat itu wartawan aktif, ada sertifikat dan seterusnya. Kemudian yang kedua akun itu adalah akun resmi. Facebook-nya siapa, Instagramnya Tempo misalnya, itu adalah kita anggap media massa. Kemudian tentu yang lain adalah berbadan hukum nah ini kaitannya dengan Kementerian Hukum dan HAM kalau dia berbadan hukum meskipun dia YouTube, Dewan Pers akan menilai itu sebagai karya jurnalistik,” paparnya.

Dalam menghadapi konten media sosial ini, Dewan Pers memang tak bisa serta merta bertindak.

“Kalau medsos ya ke Kominfo. Jadi, dalam perspektif kami memang perlu sekali ada regulasi, entah level apa tadi disinggung misalnya mungkin peraturan pemerintah dan seterusnya. Adanya regulasi ini adalah untuk melindungi wartawan yang benar. Yang kedua kita ingin supaya masyarakat juga tidak terus diracuni,” tutur Hendry.

Kepercayaan Terhadap Media

Wartawan senior ini mengutip hasil survei terakhir di Amerika Serikat, tingkat kepercayaan publik terhadap media merosot tajam.

“Dalam survei terakhir ini sebetulnya di Amerika Serikat, tingkat kepercayaan publik terhadap media merosot di bawah ambang batas 60 poin. Angkanya sekarang sekitar 53 untuk pertama kalinya. Terhadap media sosial juga skor tingkat kepercayaannya 35, namun partisipasinya tinggi,” jelasnya.

Menurut Hendry, dari Survei Elderman, skor Indonesia tertinggi dari negara lain yakni 72 dalam tingkat kepercayaan terhadap media massa. Angka ini menunjukkan unggul dibanding China (70), India (69), Singapura dan Malaysia (62), Belanda dan Thailand (61).

Baca Juga:  Kemenparekraf Ajak Seluruh Pelaku Usaha Kreatif di Indonesia Ikut AKI 2024

“Kepercayaan terhadap media itu merosot karena menganggap media massa bersikap bias, tidak lagi menjalankan fungsi yang atau bersifat independen sebagaimana seharusnya,” kata Hendry.

Dalam survei disebutkan, 59 persen menilai bahwa wartawan secara sengaja menyesatkan audiensnya dengan menyampaikan sesuatu yang mereka tahu masalah atau berlebihan.

Sedangkan 59 persen responden menilai media lebih peduli pada dukungan atas ideologi atau posisi politik tertentu ketimbang memberikan informasi sesuai kepentingan publik. Bahkan 61 persen responden menilai media tidak objektif dan partisan. Itulah kondisi media di tingkat global yang menyebabkan media massa runtuh karena semakin tidak dipercaya.

Dewan Pers pernah melakukan survei yang dirilis tahun 2019. Sebetulnya dari mana orang mencari informasi? Ternyata kalau kita lihat di sini yang pertama media online lalu WhatsApp, Instagram, Facebook, televisi, Twitter, dan surat kabar itu sudah nomor sekian.

“Untuk memeriksa secara silang kebenaran informasi tetap juga ke media online barulah kemudian ke televisi karena ada gambar, “Oh ada kebakaran”. Ini faktual kira-kira begitu, baru kemudian surat kabar, jadi kita lihat di sini memang pertama-tama dia tidak dari media massa.”

Meskipun media massa tidak lagi menjadi sumber utama, tetapi tingkat kepercayaan masih tinggi, surat kabar itu 83.44, televisi 78.24, radio 82.25. Mengapa dipercaya media massa itu antara lain karena fakta-fakta yang disajikan narasumber yang dikutip dan yang kedua adalah brand, masyarakat lebih percaya pada brand yang kedua ini kalau hasil survei itu.

Hendry menambahkan, “Media online sebetulnya juga cukup baik ya 71.8, kemudian YouTube 51.77, Instagram pelaku 48 dan seterusnya. Nah, hasil survei Dewan Pers dan Universitas Moestopo ini menunjukkan adanya anomali, percaya pada media massa, tetapi tidak mau bayar, kira-kira gitu gampangnya ya mereka lebih memilih media online atau media sosial yang gratis.”

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

“Dari survei kami mayoritas orang Indonesia hanya mau keluar uang Rp50.000 dalam satu bulan 40,29%, sedangkan yang 28% antara Rp100.000 sampai Rp150.000, tetapi memang ada yang 16% yang masih mau keluar uang banyak ini. Barangkali ini orang-orang manula yang masih tergantung pada media massa,” tuturnya.

Dari sini dapat diketahui bahwa kecenderungan terbesar masyarakat membeli paket data untuk browsing, tetapi tidak hanya untuk informasi, juga misalnya untuk main game ataupun belanja online. Ini gambaran dari hasil survei.

Di awal tahun 2021, Mohammad Nuh, ketua Dewan Pers mengatakan, kemerdekaan menyatakan pendapat dan berekspresi merupakan hak warga negara yang dilindungi Undang-Undang Dasar, dan kemerdekaan pers merupakan bagian tidak terpisahkan dari kemerdekaan berpendapat dan berekspresi tersebut.

Kemerdekaan pers menurutnya bagian dari prinsip demokrasi dan harus diperjuangkan bersama.

“Dewan Pers mengajak semua pihak untuk menciptakan kondusivitas dan tekad bersama, agar kemerdekaan pers semakin berkualitas dan dapat memberikan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat Indonesia,” katanya di Jakarta, 2 Desember 2021.

Karena itu, di awal tahun ini, Dewan Pers mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga dan melaksanakan spirit dan perintah yang termaktub dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999.

“Dalam negara demokrasi, pers bebas untuk memberitakan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan publik dengan senantiasa menaati Kode Etik Jurnalistik. Secara prinsipil dan moral, negara berkewajiban untuk menghindari atau meminimalisir hambatan dan batasan atas kemerdekaan pers dalam menyampaikan informasi kepada publik.”

Ketua Dewan Pers menyatakan, setiap masalah yang timbul terkait dengan praktik jurnalistik, mesti diselesaikan berdasarkan mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Pers. (*)

Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.