BeritaPP PMKRI Ingatkan Pemerintah Jangan Pangkas Hak Bicara Rakyat Papua

PP PMKRI Ingatkan Pemerintah Jangan Pangkas Hak Bicara Rakyat Papua

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Pemerintah tidak boleh memangkas hak rakyat Papua untuk ikut berbicara mengenai evaluasi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang akan berakhir tahun 2021.

Hal ini ditegaskan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) mengingat pemerintah enggan mendengar suara rakyat Papua dalam agenda evaluasi dan revisi Undang-Undang Otsus yang berlaku di provinsi Papua dan Papua Barat sejak tahun 2001 itu.

Zakarias Wilil, ketua Lembaga Otonomi Khusus Papua PP PMKRI menegaskan, pemerintah pusat jangan membahas Otsus Papua secara sepihak dan mengabaikan pemerintah daerah, lembaga kultur Majelis Rakyat Papua (MRP), serta elemen rakyat Papua yang kontra terhadap Otsus.

“Pemerintah jangan memangkas hak rakyat Papua untuk berbicara mengenai evaluasi Otsus,” ujar Zakarias dari sekretariat PP PMKRI, Minggu (7/2/2021), dilansir verbivora.com.

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

Otsus Papua diatur dalam UU Nomor 21 tahun 2001 dan perubahan dalam UU Nomor 35 tahun 2008, pemerintah akan memperpanjangnya dengan mengevaluasi dan merevisi UU tersebut.

Alboin Samosir, Presidium Gerakan Masyarakat (PGK) PP PMKRI, menyatakan, wacana pemerintah yang merevisi UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua harus dilandaskan pada kajian, gambaran yang holistik dan jujur.

Fakta selama 20 tahun masa Otsus Papua, kata Alboin, masih sangat minim dampak positifnya jika berkaca dari data BPS, Papua dan Papua Barat memiliki nilai paling rendah diantara seluruh provinsi di Indonesia.

“Dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Papua Barat memiliki nilai 61,73 persen, sedangkan Papua memiliki nilai 57,25 persen. Sementara itu rata-rata HDI Indonesia adalah 69,55 persen, sedangkan dari data United Children Fund (UNICEF) menunjukkan bahwa 30 persen siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP. Bahkan di daerah pedalaman, sekitar 50 persen siswa SD dan 73 persen siswa SMP memilih untuk putus sekolah,” bebernya.

Baca Juga:  Polri akan Rekrut 10 Ribu Orang untuk Ditugaskan di Tanah Papua

Permasalahan Otsus Papua menurut Samosir, bukan hanya tentang ratusan triliunan dana yang digelontorkan ke Papua, tetapi pengakuan dan perlindungan terhadap orang Papua haruslah juga menjadi prioritas pemerintah.

“Kita melihat setiap tahunnya marak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). KontraS mencatat selama tahun 2020 total pelanggaran HAM di Papua terjadi sebanyak 40 kali,” tuturnya.

Selain pelanggaran HAM yang masih saja terjadi di Tanah Papua, ia juga menyoroti kerusakan lingkungan yang tak terkendali dengan masuknya banyak investor.

“Deforestasi hutan dan kerusakan lingkungan juga kian marak. Hasil analisis FWI pada tahun 2014 menunjukkan hutan alam di Bioregion Papua mencapai 83 persen daratan. Sampai dengan tahun 2017, terjadi pengurangan luasan lahan hutan seluas 189,3 ribu hektar/tahun antara 2013-2017. Praktis hingga tahun 2017 luas hutan alam di Papua sekitar 33.7 hektar atau 81 persen daratan. Ini belum termasuk dugaan kesengajaan pembakaran hutan yang dilakukan oleh Korindo, perusahaan sawit asal Korea Selatan,” papar Samosir.

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

Dengan berdasarkan fakta-fakta ini, ia tekankan, pemerintah dalam melakukan evaluasi dan revisi UU Otsus hendaknya sesuai kajian yang menyeluruh dari berbagai aspek.

“Dalam evaluasi Otsus Papua ini harus benar-benar berdasarkan kajian yang komprehensif dan mendengarkan aspirasi dari berbagai elemen masyarakat Papua,” pintanya mengingatkan. (*)

Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.