NABIRE, SUARAPAPUA.com — Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Papua, antara lain penerapan Otonomi Khusus (Otsus) yang sedang direvisi sepihak untuk meloloskan pemekaran daerah otonomi baru (DOB) tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP), bermuatan politis. Rencana pemekaran lima provinsi di Tanah Papua dianggap tak berdasarkan aspirasi rakyat.
Dalam dua kali aksi massa Solidaritas Rakyat Papua (SRP) di Dogiyai, rencana pemerintah melanjutkan Otsus dan mekarkan beberapa provinsi di Tanah Papua, ditentang karena sama sekali tak pernah diusulkan ke Jakarta melalui pemerintah daerah, baik lembaga legislatif maupun eksekutif.
Bukan aspirasi rakyat Papua, lembaga adat juga tak pernah memberi persetujuan. Jikapun ada oknum tertentu memperjuangkan pemekaran maupun meminta Otsus dilanjutkan, itu kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Germanus Goo, kepala suku besar yang juga ketua Dewan Adat Daerah Dogiyai, menyatakan, pihak berkepentingan yang sedang “mengemis” ke Jakarta segera hentikan aksinya.
“Sampai hari ini rakyat Papua di wilayah adat Meepago tidak pernah minta pemekaran provinsi baru. Itu rencana sepihak dari pemerintah saja,” ujarnya.
Saat aksi massa di halaman kantor DPRD Dogiyai, di Komakago, Senin (22/2/2021), Germanus mengungkapkan, karena selama ini masyarakat Papua dari wilayah adat Meepago tidak pernah menyampaikan atau mengusulkan pemekaran provinsi Papua Tengah, lalu atas dasar apa pemerintah mau mekarkan provinsi baru?.
“Saya tahu betul apa keinginan masyarakat adat Meepago. Selama ini masyarakat tidak pernah usulkan ataupun desak pemekaran provinsi. Sekarang pemerintah mau kasih mekarkan itu atas dasar apa? Siapa yang minta? Tujuan dari pemekaran provinsi ini untuk apa? Masyarakat tidak pernah tuntut, jadi pemerintah tidak boleh paksakan,” tegasnya.
Dalam aksi yang diperkuat 18 organisasi kemasyarakatan yang ada di kabupaten Dogiyai itu, ia menegaskan, pemekaran provinsi, kabupaten, distrik maupun kampung termasuk pembentukan Polres, sejatinya atas persetujuan Dewan Adat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi adat setempat.
“Kami dipilih oleh masyarakat adat dalam musyawarah adat resmi. Tetapi selama ini masyarakat tidak pernah minta pemekaran. Kalau begitu, siapa yang desak segera ada pemekaran? Ini jangan korbankan masyarakat adat.”
Senada, Pdt. Yeheskiel Dumupa mengecam tindakan pemerintah yang selalu memaksakan kehendak rakyat sebagai ciptaan Tuhan hingga banyak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pendeta Dumupa mengingatkan pemerintah termasuk aparat keamanan agar lebih etis menangani persoalan Papua. Pendekatan militeristik bukanlah waktunya, sebab itu justru akan menambah persoalan dan makin memperparah hingga sulit diurai.
Perbedaan ideologi Papua Merdeka harga mati dan NKRI harga mati, menurut Germanus, hanya mengorbankan masyarakat adat. Masyarakat terjepit diantara kedua ideologi itu.
“Kami sangat prihatin dengan kenyataan selama ini, akibat dua idelogi itu, banyak orang yang jadi korban. Orang asli Papua maupun pendatang dan pihak TNI-Polri, selalu korban nyawa. Sebaiknya hal ini harus segera diakhiri. Pemerintah jangan paksakan kehendak. Dengarlah suara rakyat, supaya semua bisa diatasi dengan tenang dan tanpa ada korban di semua pihak,” tuturnya berharap.
Kepentingan Elitis
Penolakan terhadap rencana pemerintah mekarkan lima provinsi baru diungkapkan masyarakat adat dalam aksi massa yang digelar di Mowanemani, Senin (22/2/2021) lalu. Juga, Senin (1/3/2021), ketika aksi demonstrasi lanjutan yang dilakukan ribuan masyarakat Meepago di lapangan Theo Makai, Mowanemani, distrik Kamuu, kabupaten Dogiyai.
Pemekaran provinsi Papua diduga kepentingan kaum elit untuk memperpanjang kekuasaan dan jabatan semata.
Karena itu, pemekaran provinsi Papua Tengah yang tengah diperjuangkan segelintir orang di bawah bendera Asosiasi Bupati Meepago yakni Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya, Mimika dan Puncak bersama segelintir oknum berkepentingan diminta segera dihentikan.
“Masyarakat Papua di wilayat adat Meepago tidak pernah tuntut pemekaran provinsi, jadi orang-orang politik dan pemerintah itu stop minta-minta sudah,” tegas Germanus.
Benny Goo, koordinator SRP Dogiyai yang juga penanggungjawab aksi massa, menegaskan, satu tekad bulat rakyat Papua menolak perpanjang Otsus termasuk segala kebijakan turunan lainnya yang tak pernah dievaluasi pemerintah.
“Rakyat Papua sudah tolak Otsus dilanjutkan. Pemekaran provinsi sebagai anak kandung Otsus, itu juga sudah ditolak. Pemerintah tidak boleh paksakan rakyat Papua terima,” tegasnya.
Lazimnya pemerintah mendengar suara rakyat, menjawab apa yang dikehendaki rakyat sesuai kebutuhan di daerah. Kali ini, ia menilai, sangat berbeda. Pemaksaan pemerintah kepada rakyat untuk menerima kebijakan negara jauh lebih kuat.
“Terkesan pemaksaan ini berbau politis. Kami khawatirkan dampak buruk di tengah masyarakat jika berbagai kebijakan negara terus dipaksakan diterima.”
Seperti daerah lain di seluruh Tanah Papua, masyarakat adat Meepago menurut Benny, sudah satu suara menolak kebijakan negara melanjutkan Otsus dan pemekaran DOB.
Menyoal tujuh kriteria pemekaran DOB, ia menegaskan faktor geografis bukanlah jaminan untuk mempercepat pemekaran provinsi Papua Tengah. Ditegaskan, pemekaran justru akan menghancurkan kondisi geografis Papua di wilayah adat Meepago.
Kaitannya dengan ketersediaan SDM, tegas dia, hingga kini sangat minim. Terbukti, tak ada kemajuan pembangunan di kabupaten-kabupaten yang ada di wilayah adat Meepago. Buruknya SDM di birokrasi menyebabkan terjadi krisis keuangan daerah yang dikategorikan luar biasa.
Ia juga tak sepakat dengan alasan keamanan. Kata Benny, kehadiran provinsi baru justru akan menambah daftar panjang kasus pelanggaran HAM.
“Seharusnya Asosiasi Bupati Meepago meminta demiliterisasi dari tanah adat Meepago,” pintanya.
Kehadiran DOB juga diprediksi menghancurkan tatanan adat istiadat suku Mee dan suku-suku lain yang ada di wilayah adat Meepago.
SDM Rendah
Mengisi jabatan struktural di sebuah provinsi baru tentu butuh sumberdaya manusia (SDM) yang mumpuni. Selain itu, sektor swasta yang terbuka lebar ketika DOB yang dipaksakan berhasil, diperuntukan bagi siapa, apakah putra daerah atau orang luar.
Belum siapnya SDM di Papua khususnya wilayah adat Meepago, memaksa putra-putri harus pasrah menjadi penonton setia di negeri sendiri. Inilah yang dikhawatirkan Yustinus Agapa, ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) kabupaten Dogiyai.
“Kita belum siap untuk menerima provinsi baru. Kalau dimekarkan, sudah pasti jabatan eselon dan sektor swasta terbuka bagi orang luar. Kita akan terjajah di atas negeri sendiri,” ujar Agapa.
Guru senior lulusan SPG YPPK Teruna Bakti Waena Jayapura ini mengaku sangat prihatin dengan ketidaksiapan SDM putra daerah. Kata Agapa, pemerintah yang ada tak memberi perhatian cukup dalam menyiapkan SDM. Pemerintah lebih banyak mengurus hal-hal lain.
Ia tak menampik buruknya kondisi pendidikan di daerah ini dan umumnya wilayah adat Meepago selama masa Otsus yang diterapkan sejak tahun 2001.
“Pemerintah daerah Dogiyai maupun seluruh pemerintahan di wilayah adat Meepago selama ini tidak fokus mengurus pendidikan. Justru lebih banyak urus pemekaran provinsi Papua Tengah,” tuturnya.
Fakta hari ini, Agapa sebutkan, SDM masih sangat rendah. Buktinya, angka buta huruf di kabupaten Dogiyai mencapai 99%. Artinya, orang asli Papua belum siap menerima provinsi baru.
“Kalau DOB dihadirkan di saat SDM bagi warga asli Papua belum disiapkan, lantas untuk siapa pemekaran provinsi baru itu? SDM kita masih sangat minim, bahkan yang telah menyelesaikan studi strata satu dan magister bisa dihitung dengan jari.”
Agapa bahkan menyoroti ketidakberpihakan pemerintah yang hanya mengejar uang dan kekuasaan sembari mengabaikan pengembangan pendidikan.
“Sekolah dan guru mati di tengah kepentingan pribadi dan kelompok. Akibat dari itu, pendidikan kita sangat buruk. Lihat saja, angka buta huruf di kabupaten Dogiyai sudah 99 persen,” urainya.
Menurut Agapa, keberadaan pendidikan setelah hadirnya kabupaten Dogiyai malah lebih buruk dibandingkan saat masih berstatus kecamatan.
“Setelah kabupaten ini hadir, pendidikan makin menurun, malah lebih buruk dibandingkan saat masih berstatus kecamatan. Daripada urus pemekaran provinsi dan hadirkan Polres, lebih baik mari menjadi guru untuk masyarakat supaya pendidikan tidak mati suri,” kata Agapa.
Karena faktanya demikian, Agapa menyangsikan pemekaran hanya untuk memenuhi harapan politis segelintir orang.
Pilihan Referendum
Saugas Goo, ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Dogiyai, menilai semua kebijakan pemerintah hanyalah gula-gula politik yang sekadar menyenangkan sesaat, tetapi menyengsarakan seumur hidup.
Ini yang menurut Saugas, tidak dikehendaki rakyat Papua.
“Pemaksaan pemerintah untuk melanjutkan Otsus jilid kedua, pemekaran provinsi, dan pembentukan Polres sama sekali tidak dibutuhkan oleh rakyat Papua. Rakyat Papua sudah tolak semua gula-gula politik Indonesia,” ujarnya.
KNPB sebagai media rakyat Papua, kata Saugas, tetap berkomitmen pada misi perjuangan pembebasan Papua.
“Hari ini rakyat West Papua hanya mau penentuan nasib sendiri. Tidak ada tawar menawar lagi,” ujar Saugas.
Referendum menurut Saugas, pilihan politik rakyat Papua yang sangat tepat mengakhiri penderitaan dan penjajahan panjang sejak tahun 1961.
“Biarkah rakyat Papua menentukan masa depannya.”
Saugas menegaskan, jika pemerintah terus menerus memaksakan kehendak politiknya, rakyat siap mengambil sikap tegas.
“Rakyat siap melakukan mogok sipil nasional (MSN) sesuai keputusan tertinggi pimpinan KNPB di Jayapura,” ujar Saugas.
Pewarta: Markus You