Review Buku Menggugat Freeport: Satu Jalan Penyelesaian Konflik

0
1320
Buku Menggugat Freeport: Sebuah Jalan Penyelesaian Konflik yang ditulis oleh Markus Haluk. (Dok Andreas Gobay).
adv
loading...

Oleh: Andreas Gobay)*
)* Penulis adalah Intelektual Muda Papua

Buku berjudul Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik ” terdiri dari 10 bab. Buku ini ditulis oleh Markus Haluk, salah satu tokoh muda yang cukup lama konsen melawan pelanggaran HAM dan Kerusakan Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh Freport. Cetakan pertama di cetak pada tahun 2014 dan diterbitkan oleh Penerbit Deiyai, setebal 125 halaman, dengan nomor ISBN 978-602-03-17071-59.

Bagian awal disertai pengantar oleh Hans Magal, mewakili pemilik hak ulayat Nemangkawi yang menguraikan bahwa gunung Nemangkawi dalam peradaban suku Amungme merupakan simbol hidup yang sangat sakral. Simbol kesakralan tersebut telah membentuk identitas, harga diri, roh dan inspirasi hidup dalam kehidupan marga-marga Amungme pemilik dan penghuni disekitar Nemangkawi. Gunung Nemangkawi secara turun temurun telah menjadi sumber inspirasi dan sumber ilmu terutama dalam pembentukan manusia Amungme yang sejati.

Orang Amungme tidak diwariskan nilai dan norma adat untuk mengucilkan, memanipulasi dan mengecilkan orang lain atau marga lain dalam menyatakan kepemilikan hak hidup dan hak atas kepemilikan batas-batasnya wilayah hidupnya. Prinsip hidup tersebut diwariskan dari generasi ke generasi sampai saat ini.
Kendati besarnya arus dan budaya luar yang masuk diwilayah hidup orang Amungme namun budaya baru tersebut serta merta dapat menghapus nilai dan norma yang telah ada turun temurun.

Pada kenyataannya semakin terlihat pengkotak-kotakan dan pengelompokan wilayah hidup atas hak ulayat/kepemilikan Nemangkawi juga menunjukkan keretakan internal antar marga disekitar Nemangkawi. Semua kondisi ini merupakan sebab akibat dari satu nilai dan norma baru yang terjadi akibat kepentingan sesaat.

ads

Freeport Indonesia sedang menambang tembaga yang mempunyai deposit ketiga terbesar di dunia, sedangkan untuk emas menempati urutan pertama dan diduga dilokasi yang sama juga terdapat deposit uranium sebagai bahan energi nuklir, yang harganya tentu berkali-kali lipat lebih mahal dari pada tembaga dan emas.

Pertanyaannya apa yang didapatkan oleh pemilik Ulayat selama ini?

Kajian Imparsial menemukan bahwa persoalan pertambangan tembaga oleh Freeport Indonesia menuai masalah dalam kaitannya dengan perampasan tanah ulayat milik suku Amungme yang berdiam disekitar wilayah pertambangan ditambah lagi keterlibatan militer Indonesia dalam melakukan penjagaan terhadap lokasi pertambangan Freeport. Akibatnya suku Amungme meninggalkan tanah leluhurnya di gunung yang dikuasai Freeport dan kemudian pindah ke Aria, Waa, Tsonga dan Norma karena berbagai kejahatan yang dilakukan oleh Freeport Indonesia.

Dalam Buku Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik, bab pertama Menguraikan Tentang Freeport Dari Titik Nol. Dibagian awal buku ini Penulis mengambarkan kekayaan alam Papua telah mengundang perhatian orang-orang dibelahan Eropa. Pada tahun 1760-an eksploitasi dilakukan, meski sebatas temuan-temuan benda-benda aneh dan langka.

Jauh sebelumnya pada 1623, Jan Cartensz berlayar di sepanjang pesisir tenggara kepulauan Papua. Jan Cartensz menjadi orang pertama yang melihat puncak gunung tertinggi yang di tutupi salju bernama Cartensz, kemudian diabadikan untuk nama gunung itu, yang kini dikenal dengan nama orang Papua dalam bahasa Amungkal, Nemangkawi.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pada tahun 1936, sebuah kelompok ekspedisi melakukan perjalanan ke pegunungan Cartensz, terdiri dari Anton Hendrik Colijin, Frigat Julius Wissel dan Jean Jacques Dozy. Ketiga orang tersebut mendaki dan berhasil mencapai puncak Cartenz. Ekspedisi ini dikenal dengan nama ekspedisi Colijin, yang kemudian menjadi catatan penting bagi ekspedisi kelompok lainnya yang mengeksplorasi sumber kekayaan bumi Papua.

Pada Tahun 1967 sesudah Forbes Wilson menemukan kandungan emas di Nemangkawi atau beberapa waktu setelah Suharto dilantik sebagai Presiden pada 7 April 1967, eksploitasi dimulai. Suharto memberikan lisensi ke perusahaan tambang Amerika serikat, Freeport Sulplur, sekarang Freeport McMoRan, untuk menambang di pegunungan Hertzbeeg di kabupaten Fakfak, Irian Barat. Kini lokasi itu sebagian besar masuk area konsesi Freeport di Timika.

Masuknya Freeport Sulphur ke Papua didukung dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang disahkan pada 10 Januar 1967.

UU Penanaman Modal Asing tersebut diatas didesain sejak awal dengan melibatkan pihak asing dalam perumusan, penyusunan, dan memperbaiki bab demi bab hingga proses pengesahan UU tersebut. Hal itu diketahui perusahaan konsultan Amerika Van Sickle Asociates, yang berkantor pusat di Denver, membantu para pejabat orde baru penyusunan materi UU PMA sejak 1966.

Freeport dan Investor Asing memandang Soeharto yang anti kapitalis dan antikolonialis itu sebagai batu sandungan besar untuk mengeruk kekayaan di Irian Barat. Jatuhnya Soeharto sebagai momentum yang ditunggu tunggu.

Sesudah Soekarno dipaksa menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto pada 12 Maret 1967, satu bulan kemudian UU PMA disahkan dan pada 7 April 1967, dan Pemerintah RI menandatangani kontrak karya pertama, lebih awal dua tahun dari Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Hal ini ada kaitannya dengan lobi-lobi Elsworkth Bunker yang mengusulkan New York Agreement 1962 dan Time Agreement 1969. Dibagian awal bab pertama Penulis menggambarkan secara utuh di buku tersebut.

Selanjutnya di bab kedua Penulis menggambarkan tragedi kemanusiaan di area Freeport. Dibagian kedua ini juga Penulis memberikan gambaran bahwa setiap usaha atau bisnis terkait keselamatan kerja adalah faktor yang amat vital. Keberadaan PT Freeport Indonesia lalai dalam beberapa kejadian keselamatan karyawan di area Freeport.

Sedangkan dibagian bagian ketiga Penulis memberikan gambaran tentang dana satu persen. PT. Freeport Indonesia mengucurkan dana satu persen untuk suku Amungme dan Komoro serta lima suku lainnya dikawasan areal tambang di Kabupaten Mimika. Merujuk sejarahnya, dana satu persen lahir dari perjuangan orang-orang Amungme dan suku-suku kerabat lainnya yang melakukan perlawanan terhadap Freeport. Namun dalam dalam perjalanannya dana satu persen ini menjadi sumber konflik yang hebat dan panjang. Sejak operasi sampai dengan 1996 barulah terjawab dana satu persen, belum lagi persoalan diskriminasi presentase pembagian dana tersebut. Diskriminasi lain yang dialami oleh masyarakat Pemilik Ulayat lainnya adalah penerimaan tenaga kerja.
Selain dana satu persen dan diskriminasi terhadap penerimaan tenaga kerja.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Pada bab selanjutnya Penulis memberikan gambaran tentang kontrak karya yang dilakukan dibawa ketiak antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport dengan mengorbankan kepentingan masyarakat pemilik ulayat seperti yang terlihat dalam negosiasi pemerintah pusat dengan Freeport, kontribusi Freeport bagi Indonesia, negosiasi Gubernur Lukas Enembe dengan Freeport.

Di bab lima Penulis juga memberi menjelaskan perlawanan rakyat Papua terhadap Freeport. Perlawanan rakyat Papua terhadap Freeport terjadi akibat penandatanganan kontrak karya pertama antara Pemerintah RI dan PT. Freeport tanpa sedikitpun persetujuan dengan masyarakat Amungme dan Komoro sebagai pemilik hak atas tanah, hutan, gunung dan air telah mengundang masalah serius dalam hidup suku Amungme dan Komoro. Mereka menjadi terganggu.

Pada tahun 1967 Freeport dan kontraktornya Bachel Pemeroy dibawah pimpinan Jhon Curry masuk tanpa meminta persetujuan ke dalam lembah Waa dan Banti. Melihat aksi Freeport sejumlah penduduk lembah ini, dibawah pimpinan Tuarek Natkime melakukan protes. Pasalnya, PT Freeport bersama kontraktornya menggusur tanaman rakyat dan mulai membangun helipad dan base-camp dibawah.

Masyarakat Amungme dengan dengan sadar memprotes orang asing diwilayah kehidupannya tanpa meminta izin. Wilayah Peyukate yang eksplorasi itu berdekatan dengan Yelsegel dan Ongopsegel, kawasan keramat suku Amungme yang tinggal di Lembah Waa dan Banti.

Perlawanan rakyat dimulai sejak itu dan Freeport terus menindas dengan kekuatan TNI dan Polri, selanjutnya kekerasan demi kekerasan terus terjadi di areal Freeport sejak operasi sampai saat ini. Perlawanan demi perlawanan rakyat terus menerus terjadi dengan berbagai cara, termasuk menggugat Freeport di New Orleans AS, Perjuangan Generasi Muda AMPTPI sampai pada Kontrak Karya pertama dan kedua dinilai catat hukum dan moral.

Bab enam menggambarkan hancurnya peradaban Amungsa, dimana pada tahun 1973 penduduk Mimika kurang dari 10.000 orang, lalu melonjak menjadi 60.000 orang pada tahun 2021 berjumlah 311.211. Dari data diatas, penduduk pendatang lebih besar dibandingkan warga asli Papua. PT. Freeport Indonesia memperkerjakan warga pendatang lebih banyak dari pada penduduk asli Mimika Papua. Kehadiran Freeport membuat runtuhnya peradaban Amungme dan Komoro di bumi Amungsa.

Selanjutnya di bab 7, Penulis memberikan gambaran atas kemelut tapal batas, dimana ekspedisi pertama di Nemangkawi telah menyebabkan penderitaan panjang. Penderitaan orang Amungme tak kunjung henti ketika kontrak karya Freeport berlanjut sepihak oleh Pemerintah Pusat dan PT Freeport Indonesia tanpa melibatkan Pemilik Ulayat.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Bab delapan, Penulis secara jelas mengungkap Januari Agreement, yakni momentum pertemuan 8 Januari 1974, dimana Freeport, Pemerintah dan Pemilik Nemangkawi berkumpul yang dikenal dengan pertemuan segitiga. Pemerintah Indonesia diwakili oleh Pemerintah Provinsi Irian Jaya dan Tom Beanal salah satu tokoh Amungme, mewakili pemilik Nemangkawi melahirkan suatu perjanjian Januari Agreement , sebuah perjanjian yang menentukan alur sejarah Bangsa Papua. Sayangnya pada perjanjian itu, menyingkirkan masyarakat Amungme, Pemilik Tanah ditambang Freeport.

Selanjutnya di Bab 9 Penulis mencatat Alfa dan Omega di Meja Perundingan. Dibagian ini Penulis secara gamblang menjelaskan dialog sebagai langkah terbaik dalam menyelesaikan banyak masalah terutama terkait dengan masalah kepemilikan tanah hak ulayat Nemangkawi. Dengan dialog masalah bisa diselesaikan lebih bermartabat . Maka penyelesaian kepemilikan tanah ulayat yang menjadi wilayah operasi penambangan dipertemukan dalam meja perundingan antara Freeport dan suku Amungme terutama marga besar Magal, Natkime, Beanal, Kum, Bugaleng, dan Omaleng.
Inti perundingan marga Magal, Natkime, Beanal, Kum, Bugaleng, Omaleng dan pemilik Nemangkawi dengan Freeport adalah mencapai kesepakatan baru menuju keadaan yang lebih baik sehingga suka tidak suka mau tidak mau solusi harus dilahirkan.

Pilihannya adalah sejak perundingan dilakukan Suku Amungme Pemilik Nemangkawi yang dibantu oleh segenap rakyat Papua memberhentikan sementara operasi tambang selama dalam proses perundingan dengan dibuat tahapan perundingan, peserta perundingan dan mediator atas perundingan.

Bab sepuluh merupakan bagian akhir berisi penekanan pada tiga hal; yaitu pertama pemilik Nemangkawi merasa orang diluar suku Amungme telah merusak nilai peradaban suku Amungme terutama dengan sengaja menganggap tidak ada orang yang hidup disekitar gunung Nemangkawi. Tidak benar anggapan Freeport bahwa tidak ada pemilik Nemangkawi. Orang Amungme adalah pemilik sah Nemangkawi.

Kedua, diluar orang Amungme merasa selama ini Freeport sungguh memberikan perhatian dan dukungan perubahan atas penggunaan lahan tanah milik suku Amungme secara proporsional, namun fakta berkata lain.

Semua perkataan dan perjanjian jauh dari harapan dan orang Amungme hidup dalam garis kemiskinan , banyak pengangguran, dan buruknya fasilitas umum.

Ketiga, tidak ada kata terlambat untuk berjuang mendapatkan keadilan. Orang Amungme bertahan diatas derita dan pergumulan panjang demi mendapatkan keadilan secara bermartabat. Maka, masyarakat Amungme sepakat mencari jalan perundingan. Duduk bersama sama dengan para pihak untuk menyelesaikan konflik di tanah ini secara damai dan terbuka.

Buku Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik ini bisa mendorong perundingan untuk menyelesaikan konflik tanah ulayat Amungme dan Freeport. Sekarang saatnya bersatu menggapai tujuan dan cita-cita bersama yaitu pengakuan identitas harga diri dan kesetaraan hak asasi suku Amungme dimuka bumi ini.

Dengan demikian, saya merekomendasikan buku ini menjadi bahan bacaan yang sangat layak dibaca oleh siapapun.

Terimakasih, Koha. (*)

 

Artikel sebelumnyaPdt. Jopinus Uamang: Tidak ada Pemerkosaan yang Dilakukan TPNPB di Beoga
Artikel berikutnyaCIVICUS Desak Pemerintah Indonesia Selidiki Teror Terhadap Jurnalis Papua