ULMWP Dalam Negeri Tolak Kebijakan Kolonial Indonesia Perpanjang Otsus

0
1291
Markus Haluk, penulis buku ‘Konflik Nduga, Tragedi Kemanusiaan Papua’ saat diwawancarai wartawan usai launching buku dan diskusi publik di aula USTJ, Selasa (30/7/2019) kemarin. (Ardi Bayage - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam negeri menyatakan menolak tegas kebijakan colonial Indonesia untuk memperpanjang Otonomi Khusus Jilid II.

Penolakan ini diutarakan Direktur ULMWP, Markus Haluk kepada suarapapua.com di Jayapura, Rabu (14/7/2021).

Haluk mengungkapkan sejumlah hal yang menjadi dasar untuk menyatakan sikap menolak perpanjangan Otsus. Pertama,  kebijak memperpanjang Otonomi Khusus Papua secara sepihak oleh Pemerintah Kolonial Indonesia pada masa Rejim Jokowi merupakan praktek Politik Rasisme Sistemik Indonesia pada Orang Melanesia di West Papua.

Kedua, melihat dinamika hidup West Papua saat ini dan selama 20 tahun Pelaksanaan Otonomi Khusus Jilid 1 pada 2001-2021, orang Papua memandang Indonesia bukan  masa depan Papua untuk menjamin kehidupan bangsa Papua. Namun sebaliknya bahwa sejak Mei 1963 sampai saat ini, tanah Papua oleh Indonesia dijadikan sebagai masa depan bagi 270 juta penduduk Indonesia.

“Semakin menyata bahwa Papua bersama Indonesia, akan mengalami nasib tragis. Orang Papua cepat atau lambat akan mengalami pemusnahan etnis. Pengalaman dan fakta seperti penduduk asli suku Aborigin di Australia, penduduk  asli orang Indian di tanah Amerika serta beberapa suku asli lainnya yang menjadi  minoritas mulai terjadi pada orang Papua di West Papua selama pendudukan  Indonesia sejak Mei 1963,” beber Haluk.

ads
Baca Juga:  Dewan Pers Membentuk Tim Seleksi Komite Perpres Publisher Rights

Ketiga, lanjut Haluk, 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus (November 2001-July 2021), pemerintah  kolonial Indonesia telah gagal dilaksanakan di West Papua. Sebaliknya, Otonomi  Khusus menjadi sarana politik pendudukan, mempratekan politik rasisme sistemik dan mempercepat pemusnahan etnis orang Melanesia di West Papua.

“Karena itu kami meminta kepada para pemimimpin Melanesia, Pacifik, Afrika, Caribia, Uni Eropa, USA dan komunitas internasional tanpa terkecuali menghentikan dukungan politik dan dana  keberlanjutan Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua untuk 20 tahun yang akan  datang.”

“Sebaliknya, kami mohon dukungan para pemimpin regional dan komunitas  untuk mendorong Indonesia untuk mengijinkan kunjungan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, kunjungan diplomat, jurnaslis, para akademisi, peneliti, anggota senator dan kongres untuk mengunjungi West Papua,” pinta Haluk.

Keempat, solusi demokratis bagi West Papua ialah Pemerintah Indonesia memberikan pilihan kepada bangsa Papua untuk menentukan hak penentuan nasib sendiri. Solusi ini telah dipraktekan Pemerintah Indonesia kepada Rakyat Timor Leste pada Agustus 1999.

Solusi yang sama, tentang penentuan nasib sendiri sejak jaman presiden Soekarno hingga Joko Widodo pemerintah Indonesia selalu pro aktif terus secara konsisten mendorong untuk rakyat Palestina. Indonesia juga pernah mendorong hak kemerdekaan politik bagi rakyat Pakistan dari India dan kemerdekaan banyak Negara Islam lainnya di dunia internasional.

Baca Juga:  PT IKS Diduga Mencaplok Ratusan Hektar Tanah Adat Milik Marga Sagaja

“Sementara pada saat yang sama di West Papua,  Pemerintah Indonesia karena mayoritas orang Kristiani sehingga hadir sebagai koloni baru untuk melakukan pendudukan, penjajahan, mempratekan politik rasisme  sistemik,” ujar mantan Sekjen AMPTPI ini.

Kelima, Hak Bangsa Papua untuk Merdeka dan Berdaulat tidak bertentangan dengan Konstitusi Indonesia. Sebaliknya dalam mukadimah konstitusi Indonesia 1945 mengijinkannya 100%, “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”

“Jadi bangsa Papua punya hak untuk merdeka. Dan penjajahan Indonesia pada orang Papua harus dihentikan karena bertentangan Konstitusi dan sila kedua Pancasila. Perjuangan kemerdekaan dan  kedaulatan Politik Bangsa Papua juga tidak bertentangan dengan Kitab Suci Umat  Kristiani, Kitab Alquran dan kibat suci agama-agama besar lainnya,” katanya.

Dia menambahkan, kemerdekaan  politik bangsa Papua juga tidak bertentangan dengan Deklarasi Universal PBB.

Baca Juga:  Masyarakat Tolak Pj Bupati Tambrauw Maju Dalam Pilkada 2024

“Jadi kini sudah waktunya, pemerintah dan rakyat Indonesia, para pemimpin dan umat beriman di Indonesia dan pemimpin komunitas Internasional untuk mendoakan dan mendukung penuh perjuangan hak politik bangsa Papua untuk Merdeka dan berdaulat. Kini sudah tiba waktunya untuk bangkit melawan semua sistem politik rasial yang dipratekan oleh Indonesia,” pungkas Haluk.

Sementara itu, Agus Kossay, Ketua Umum KNPB Pusat kepada suarapapua.com soal rencana pengesahan RUU Otsus Jilid II ini mengatakan, KNPB menilai  Jakarta dan para elite birokrat Papua tidak peduli dengan konflik politik berkepanjangan yang terus berdarah-darah di Papua.

Secara khusus dia mengatakan, hari ini operasi militer besar-besaran di Nduga, Intan Jaya, llaga dan Jakarta dan elit Papua sibuk urus Otsus. Dia menegaskan Otsus tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua.

“Selama 20 tahun implementasi otsus di Papua memberikan dampak buruk kepada rakyat Papua, yaitu genosida, perizinan pertambangan, kelapa sawit besar-besaran yang menyebabkan kerusakan alam. Kita rakyat Papua untuk memutuskan nasib otsus di atas tanah Papua, dan kitalah yang akan membahas dan menentukan solusinya,” tegas Agus.

Pewarta: Arnold Belau

 

Artikel sebelumnyaTolak Otsus Jilid II, KNPB: Rakyat Papua Tuntut Referendum!
Artikel berikutnyaBenny Wenda: Indonesia imposing second Act of No Choice with ‘Special Autonomy’ bill