EditorialEDITORIAL: Kriminalisasi Korban Rasisme

EDITORIAL: Kriminalisasi Korban Rasisme

SELAMA tiga bulan terakhir ini mata banyak pihak dari dalam maupun luar negeri tertuju pada kasus penangkapan dan pemidanaan Victor Yeimo. Boleh jadi karena dia kerap berbicara vokal di berbagai kesempatan bahkan pernah pimpin rakyat Papua turun aksi di Kota Jayapura, juga banyak tulisan dia di berbagai media online mengungkap banyak hal kurang baik yang dialami langsung rakyat Papua.

Tidak bisa dipungkiri bahwa nama besar Victor Yeimo dengan konsistensinya selama ini telah mengundang perhatian banyak pihak termasuk komunitas internasional. Perhatian diberikan tidak lama setelah dia ditangkap oleh Tim Penegak Hukum Satuan Tugas Nemangkawi pada tanggal 9 Mei 2021 di Tanah Hitam, Abepura, Kota Jayapura, Papua.

Kita ikuti itu melalui berbagai media massa juga media sosial. Dari semua itu, ternyata tidak hanya prosedur penahanan yang dipersoalkan. Penangkapan dan pemidanaan aktivis muda yang namanya mencuat sejak memimpin Komite Nasional Papua Barat (KNPB) beberapa tahun silam itu justru dikecam sejumlah organisasi pro-demokrasi dan kemanusiaan, termasuk komunitas internasional yang selama ini fokus terhadap isu rasial dan hak asasi manusia (HAM).

Simaklah pernyataan bersama 31 organisasi sipil pembela HAM tingkat lokal, nasional, dan internasional, serta lembaga advokasi HAM dari kalangan Gereja yang dirilis Selasa 18 Mei 2021, mempertanyakan pemidanaan Victor Yeimo. Bahkan ditudingnya lebih bermotif politik, mempertontonkan kegagalan pemerintah menyelesaikan akar masalah Papua.

Kegagalan pemerintah juga terlihat dalam kasus rasisme yang menimpa rakyat Papua. Victor Yeimo sebagai orang Papua, korban rasisme, justru dipidanakan. Dan, korban rasisme dijerat dengan Pasal Makar yakni Pasal 106 dan 110 KUHP.

Setelah ditahan, kesehatannya sekarat di rumah tahanan (Rutan).

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Tidak tanggung-tanggung, seorang Mary Lawlor yang adalah Pelapor Khusus tentang Situasi Para Pembela Hak Asasi Manusia PBB angkat bicara. Tampaknya kasus penahanan Victor Yeimo menggugah hati Mary Lawlor. Sampai-sampai dia menulis di twitter.

“I am hearing disturbing reports that Human Rights Defender from #WestPapua, Victor Yeimo, is suffering from deteriorating health in prison. I’m concerned because his pre-existing health conditions put him at grave risk of #COVID19”

Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kurang lebih seperti ini: “Saya mendengar laporan yang mengganggu, bahwa pembela hak asasi manusia dari Papua Barat, Victor Yeimo, menderita karena memburuknya kesehatan di penjara. Saya khawatir karena kondisi kesehatannya yang sudah ada sebelumnya menempatkannya pada resiko besar Covid9”.

Komentarnya ini dikutip oleh berbagai media. Pemberitaan bikin dunia gempar. Setidaknya selama beberapa waktu, meskipun kemudian kembali seperti biasa.

Dari perhatian publik termasuk komunitas internasional, mengerucut pada dua perspektif yang bertolak belakang, antara hukum kriminal di Indonesia dan hukum HAM PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB, melalui Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Ditinjau dari aspek hukum HAM internasional, seperti diakui oleh Mary Lawlor, bahwa Victor Yeimo adalah “Pembela Hak Asasi Manusia”. Artinya, dia menitikberatkan pada hak asasi manusia yang melekat pada seorang Victor Yeimo, yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh pemerintah, terlepas dari permasalahan hukum yang dituduhkan.

Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 menjamin upaya hukum atas perlakuan sewenang-wenang yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana pada Pasal 7 ayat 1: “Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia”.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Diatur dalam ayat 2, pemerintah memikul tanggung jawab negara menjalankan kewajibannya terhadap hak asasi manusia. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.

Pada Pasal 3 ayat 2: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Ayat 3: Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.

Pasal 33 ayat 1: Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Pemidanaan Victor Yeimo dilihat dari sudut pandang HAM., telah terjadi tindakan diluar teknis hukum, atau dengan kata lain kepatuhan terhadap undang-undang. Hal tersebut terindikasi pada tindakan sewenang-wenang, dimana terlihat jelas Hak Asasi Manusia seorang Victor Yeimo yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi, serta diperlakukan seadil-adilnya di muka hukum, dijamin oleh hukum hak asasi manusia di Indonesia, telah dilanggar oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun perangkat hukum penunjang lain dalam penahanan dan proses peradilannya.

Dugaan itu juga yang dibeberkan Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena dalam siaran persnya menyikapi kian memburuknya kesehatan Victor Yeimo di tahanan.

Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa penahanan Victor Yeimo atas tuduhan makar hanya karena mengekspresikan pendapat politiknya secara damai melanggar standar hak asasi manusia internasional serta konstitusi Indonesia sendiri.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Amnesty juga menegaskan bahwa seharusnya Victor Yeimo tidak pernah ditahan dan kondisi kesehatan yang memburuk menambah alasan kenapa dia harus segera dibebaskan. Pihak berwenang telah berulang kali menggunakan pasal-pasal makar dalam KUHP untuk mengkriminalisasi pengunjuk rasa damai.

“Kami menyerukan kepada pemerintah untuk segera membebaskan Victor Yeimo dan semua orang lain yang telah ditahan hanya karena menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi secara damai.”

Hanya dengan itikad baik pemerintah bersama wakil rakyat di Senayan mencabut atau mengubah secara substansial Pasal 106 dan 110 KUHP untuk memastikan bahwa ketentuan ini tidak dapat digunakan lagi untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi di luar batasan yang diizinkan dengan hukum dan standar hak asasi manusia internasional yang berulang kali diingatkan oleh Amnesty demi mengembalikan iklim demokrasi sehat.

Kita tahu bahwa hak atas kebebasan berekspresi sejatinya dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang selanjutnya dijelaskan dalam Komentar Umum nomor 34 tentang Pasal 19 ICCPR. Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang nomor 12 tahun 2005, yang juga berarti bahwa Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut.

Sampai pada tingkatan ini kita belum melihat secara nyata diimplementasikan oleh negara melalui aparatusnya di Tanah Papua. Bukti faktualnya, Victor Yeimo dalam situasi sekarat mendekam di tahanan tanpa mendapat hak kesehatan yang memadai meskipun Majelis Hakim menyatakan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk memfasilitasi terdakwa agar menjalani pemeriksaan lanjut dan perawatan di rumah sakit. ***

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.