SORONG, SUARAPAPUA.com — Memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diperingati setiap tanggal 25 November Sampai 10 Desember, delapan komunitas di provinsi Papua Barat mendesak pemerintah melindungi perempuan dan anak di Tanah Papua.
“Kitong punya budaya itu pukul tifa, bukan pukul perempuan. Stop pukul perempuan dan anak,” ujar Nova Sroyer, perwakilan komunitas Mama-mama Papua saat aksi mimbar bebas yang digelar di depan Lampu Merah Elin, Kota Sorong, Kamis (25/11/2021).
Nova tegaskan, perempuan dan anak wajib dilindungi meski dalam situasi apapun.
“Entah dalam bentuk apapun, perempuan dan anak harus dilindungi. Bukan menjadi sasaran tinda kekerasan,” ujarnya.
Menurut Johana Kamesrar, koordinator Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JJKLPK) region Papua Barat mengungkapkan, kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat terjadi dimana saja, dalam situasi bahkan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.
“Selama ini secara tidak langsung perempuan dan anak merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Setiap konflik yang terjadi pasti saja perempuan dan anak yang selalu menjadi korban,” beber Johana.
Dengan situasi yang terjadi di Tanah Papua akhir-akhir ini, pemerintah diminta tak mengabaikan perempuan dan anak yang menjadi korban di daerah konflik bersenjata.
“Kekerasan psikis sangat sulit untuk dihentikan. Korban butuh waktu pemulihan yang sangat lama. Pemerintah jangan abaikan mereka yang ada di daerah konflik. Mereka juga warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama,” tegasnya.
Tokoh perempuan Papua itu menambahkan, dalam 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan dan anak akan ada serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk guna melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Masih ada kegiatan lain diantaranya jalinan kasih dengan penyandang disabilitas, hingga webinar untuk mendesak pemerintah melindungi perempuan dan anak,” kata Kamesrar.
Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You