Oleh: Thomas Ch Syufi)*
)* Penulis adalah Aktivis HAM dan advokat muda Papua
Pemerintah mulai serius menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014 dengan dibentuknya tim penyidik oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI). Hal ini menjadi pertanda bahwa pemerintah telah memiliki niat baik untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu untuk menuju pada rekonsiliasi.
Pembentukan tim penyidik Kejagung RI untuk menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai itu sebagai bentuk respons atas rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia. Tim penyidik yang terdiri dari 22 jaksa senior dan diketuai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ali Murkatono itu telah mendapat Surat Keputusan Jaksa Agung nomor 267 tahun 2021 yang ditandatangani Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada tanggal 3 Desember 2021, sekaligus telah mengantongi Surat Perintah Penyidikan nomor: Print-79/A/JA/12/2021.
Sesuai kewenangannya, Komnas HAM RI telah melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut dan menyimpulkan bahwa ada dugaan pelanggaran HAM berat kasus Paniai 7-8 Desember 2014 lantaran terjadi kekerasan terhadap warga sipil oleh aparat TNI. Sebanyak 4 orang warga meninggal karena luka tembak, sementara 21 lainnya terluka.
Pembentukan tim penyidik Kejagung atas pertimbangan atau alasan bahwa tidak terpenuhinya alat bukti untuk meningkatkan status perkara itu ke penyidikan. Tim Kejagung akan melakukan penyidikan umum dalam rangka mencari dan mengumpulkan alat bukti agar membuat terang kasus dugaan pelanggaran HAM berat guna menemukan pelakunya. Memang tepat bahwa dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang daripada cahaya (in criminalibus probationes debent esse luce clariores).
Dibentuknya tim penyidik kasus pelanggaran HAM berat Paniai memberikan pertanda bahwa pemerintah dibawah kepemimpinan presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memiliki kemauan (willingness) dan keseriusan untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang telah diputuskan oleh Komnas HAM. Dan, dari sekian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang segera dilimpahkan ke Kejagung adalah kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014.
Niat baik pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM Paniai kembali ditegaskan oleh presiden Jokowi pada peringatan Hari HAM Internasional 10 Desember 2021. Kejagung RI yang merupakan salah satu unsur pemerintah dalam dunia penegakan hukum, termasuk penyelesaian kasus pelenggaran HAM berat telah diperintahkan oleh Jokowi untuk segera memproses dugaan pelanggaran HAM berat Paniai 2014.
Sesuai prinsip legalitas, presiden meminta Kejagung memproses kasus pelanggaran HAM berat sesuai dengan Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
”Pemerintah berkomitmen menegakkan, menuntaskan, dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat,” kata Jokowi.
Kehendak baik presiden Indonesia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM merupakan sebuah lompatan besar dalam dinamisasi kehidupan berdemokrasi yang menjunjung tinggi penegakan keadilan dan supremasi haukum. Dalam dugaan pelanggaran HAM Paniai, Jokowi, tentu menginginkan adanya keadilan bagi warga negara dengan prinsip semua orang sama di depan hukum (the equality before the law).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, juga melontarkan pernyataan yang senada dengan presiden Jokowi. Bahwa, kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai disampaikan Komnas HAM kepada pemerintah oleh Kejagung telah dinaikkan ke tingkat penyidikan.
“Kualifikasi suatu kasus disebut pelanggaran HAM berat hanya ditetapkan dan diputuskan oleh Komnas HAM,” kata Mahfud MD, Senin (6/12/2021).
Jelas, presiden Jokowi mulai membuktikan komitmennya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM dan menghapus impunitas yang dijanjikan pada kampanyenya saat maju sebagai calon presiden RI pada Pemilu 2014. Janji politik itu juga terhimpun dalam visi, misi, dan program aksi yang disebut “Nawa Cita”.
Berlaku Retroaktif
Komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014 yang tengah dalam tahap penyidikan di Kejagung itu tentu akan melapangkan jalan untuk penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya. Semua kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi sebelum dan setelah disahkannya UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mempunyai peluang untuk dirampungkan.
Hal tersebut secara eksplisit telah disebutkan dalam pasal 43 ayat (1) UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.” Artinya, siapapun yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan masa lalu tetap akan diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk kasus pelanggaran HAM berat atau yang dilazim disebut gross violation of human rights, bisa diberlakukan asas berlaku surut atau retroaktif. Dibelakukan prinsip berlaku surut bagi kasus pelanggaran HAM berat karena dalam literatur hukum juga dikenal adanya asas “de uitzonderingen de regel” atau pengecualian memastikan aturan yang ada.
Memang dalam Statuta Roma yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pembentukan Makhkamah Pidana Internasional 17 Juli 1998, di Roma, Italia mengatur mengenai prinsip Ratione Personae Non-Retroaktif. Artinya, seorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Hal itu diatur juga dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Asas legalitas tersebut sama artinya dengan adagium Latin yang berasal dari Anselm von Feuerbach (1775-1833), sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801), yaitu “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” — tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.
Asas tersebut juga telah diderivasikan dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlalu surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Namun, pemberlakukan asas retroaktif bukan untuk semua peristiwa pidana secara umum, tetapi hanya terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Bahkan pernah dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 43 ayat (1) UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun MK menolak permohonan judicial review yang diajukan oleh Abilio Jose Osorio Soares (mantan gubernur Timor Timur) tentang pelanggaran HAM berat pasca-jajak pendapat di Timor Timur (1999) yang melibatkan dirinya (diduga by omission/melakukan pembiaran hingga terjadi pelanggaran HAM). Dalam putusan MK nomor 065/PUU-II/2004 yang menegaskan bahwa Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Jelas, putusan sela terhadap judicial review itu dengan alasan bahwa asas retroaktif digunakan berdasarkan kajian terhadap praktik pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas non-retroaktif (tidak berlaku surut) demi tegaknya keadilan, penghormatan terhadap nilai dan martabat kemanusiaan.
Kajian tersebut merujuk pada negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nuremberg (International Military Tribunal/IMT), Jerman yang resmi dibuka 20 November 1945 dan (Tokyo Tribunal/IMTFE), Jepang, yang diselenggarakan 3 Mei 1946. Juga, pengadilan internasional ad hoc untuk Yugoslavia (ICTY), 25 Mei 1993, serta Rwanda (ICTR), 8 November 1994, dan kasus dari salah seorang petinggi Nasional Sosialisme (NAZI) Jerman, Otto Adolf Ichmann di pengadilan Distrik Jerusalem (yang dijatuhkan hukuman mati pada 31 Mei 1962, pria yang lahir 19 Maret 1906 itu digantung di dekat Tel Aviv, tubuhnya kemudian dikremasi dan abunya dibuang ke laut).
Selain itu, pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) dan berdampak secara masif oleh dan menjadi musuh bersama (common enemy).
Dari berbagai uraian di atas menekankan bahwa asas retroaktif tetap berlaku untuk kasus pelanggaran HAM berat. Maka, tidak hanya kasus pelanggan HAM berat Paniai 2014, tetapi juga memungkinkan semua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diungkap, para penjahat HAM akan dibawa ke mimbar hukum dan diproses untuk dijatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya (culpue poena par esto).
Adapun kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diproses atau dibawa ke depan pengadilan, antara lain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius (Petrus) 1082-1985, Talangsari Lampung 1989, tragedi Rumah Geudong Aceh 1990-1999.
Juga kasus penculikan dan penghilangan paksa tahun 1997-1998, peristiwa Trisaksi dan Semanggi I dan Semanggi II 1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh 1999, serta kasus Abepura berdarah (2000) dan Wasior berdarah (2001) yang masih tersendat di Kejagung hingga sekarang.
Masih banyak lagi kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Papua yang belum terselesaikan, seperti Biak berdarah (1998), Wamena berdarah (2003), dan Uncen berdarah 16 Maret 2006, yang tentu menjadi “perhatian” pemerintah, termasuk Komnas HAM dan Kejagung.
Upaya pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di seluruh Tanah Papua yang diawali penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014 oleh Kejagung merupakan salah satu langkah atau metode terbaik untuk penyelesaikan konflik yang berkecamuk lebih dari 50 tahun di Tanah Papua demi menuju pada proses “rekonsiliasi”.
Tentunya, ikhtiar pemerintah untuk menuntaskan kasus HAM Paniai telah menjadi isu dan konsumsi publik, maka proses penanganan kasus tersebut butuh komitmen dan kesungguhan hati dari pemerintah yang direpresentasikan oleh Kejagung untuk bekerja secara objektif, imparsial, dan transparan tanpa keraguan dan alasan apapun, baik itu dalih kurang alat bukti atau diinterupsi oleh bayang-bayang kekuasaan dan kepentingan politik tertentu. Di situ citra dan wibawa pemerintah, terutama pribadi presiden Jokowi juga dipertaruhkan.
“Pengungkapan yang palsu, hanya akan melahirkan rekonsiliasi yang palsu pula,” kata Desmond Mpilo Tutu, aktivis kemanusiaan Afrika Selatan dan peraih Nobel Perdamaian 1984. *