Sikap Diam Uskup dan KWI terhadap Penderitaan Papua (bagian II/habis)

0
333

Oleh: Petrus Pit Supardi)*
)* Penulis adalah Alumnus STFT Fajar Timur, angkatan 2006. Saat ini bergerak pada pemberdayaan masyarakat kampung di Nabire

Tulisan ini merupakan bagan kedua (terakhir) dari tulisa bagian pertama yang sudah terbit dengan judul Gereja Katolik Indonesia Jangan Menambah Luka Papua (bagian I).

Pernyataan Kardinal Suharyo, bahwa “Sikap gereja Katolik yang resmi terhadap masalah Papua itu sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah, karena dijamin undang-undang internasional,” sangat melukai hati orang asli Papua. Kalau Kardinal Suharyo, selaku pimpinan tertinggi Gereja Katolik di Indonesia berpendapat demikian, bagaimana dengan nasib dan masa depan orang asli Papua yang sedang mengalami operasi militer saat ini?

Selama ini, ada kesan empat Uskup di tanah Papua memilih diam terhadap situasi Papua, yaitu Uskup Agung Merauke (uskup emeritus Mgr. Nico Adi Saputra MSC dan kini uskup P.C Mandagi MSC), Uskup Jayapura (Mgr. Leo Laba Ladjar OFM), Uskup Agats (Mgr. Aloysius Murwito OFM) dan Uskup Manokwari-Sorong (Mgr. Hilarius Datus Lega). Hanya ada dua Uskup yang bersuara untuk Papua yaitu almarhum Uskup Herman Muninghoff (uskup emeritus keuskupan Jayapura) dan Uskup John Saklil-uskup keuskupan Timika).

Selain itu, sebagai satu provinsi gerejawi Papua, tidak ada suara bersama para Uskup di tanah Papua untuk mendesak pemerintah Indonesia membuka ruang dialog dengan orang Papua. Kita jarang mendengar seruan, ajakan, atau inisiatif bersama para Uskup di tanah Papua untuk mendorong pemerintah Indonesia menghentikan pendekatan keamanan di Papua! Kita justru melihat Uskup-Uskup di Papua lebih dekat dengan pimpinan militer dan pejabat sipil Indonesia. Kita berharap kedekatan para Uskup dengan petinggi militer dan pejabat sipil Indonesia itu berdampak pada perbaikan pendekatan Indonesia terhadap Papua. Tetapi, harapan itu tak membuahkan hasil. Sebab, sampai saat ini, hanya ada satu pendekatan yang diterapkan oleh Indonesia di Papua, yaitu pendekatan keamanan (operasi militer dan operasi intelejen!).

ads

Situasi Papua memang rumit! Ke mana orang Papua meletakan harapan mereka? Kita menyadari bahwa orang Papua masih percaya pada Gereja, termasuk Gereja Katolik! Orang Papua masih yakin dan berharap bahwa mereka akan baik-baik saja di dalam rumah Gereja! Tetapi, apakah keyakinan dan harapan orang Papua itu terwujud?

Gereja Katolik membaptis orang Papua, “Dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus!” Tidak hanya sampai di situ! Gereja, melalui para Gembalanya, Uskup dan Pastor harus bisa memastikan bahwa orang-orang yang telah mereka baptis tidak mati sia-sia karena gizi buruk, HIVAIDS, TBC dan ditembak oleh polisi dan tentara! Pada titik ini, Gembala memiliki peran utama untuk melindungi dan memastikan bahwa kawanan dombanya tidak ada yang sakit, tidak sekolah dan mati di tangan militer Indonesia.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Kita bisa melihat, pada tanggal 26 Oktober 2020, katekis Katolik atas nama Rufinus Tigau mati ditembak militer Indonesia, tetapi Kardinal Suharyo dan para Uskup Papua dan Indonesia yang tergabung dalam KWI memilih diam! Kepada siapa, kawanan domba orang Papua berharap? Mengapa Gereja Katolik Indonesia tidak hadir dalam penderitaan umat Allah, orang asli Papua? Kita melihat bahwa KWI tidak memiliki niat melindungi kawanan domba orang asli Papua!

Selalu menjadi pertanyaan, “Mengapa Gereja Katolik, melalui Gembalanya, Uskup, Pastor, membaptis orang Papua dan membiarkan mereka mati ditembak, hak asasi orang Papua diabaikan dan tanah, hutan alamnya dihancurkan? Mengapa Gereja Katolik, melalui Gembalanya, Uskup dan Pastor memilih diam dan menjadi bisu, buta dan tuli terhadap penderitaan orang Papua? Untuk siapa dan apa, orang Papua dibaptis, masuk ke dalam rumah Gereja dan dibiarkan mati melarat di atas tanah leluhurnya?”

Sikap diam KWI selama ini, ditambah lagi dengan pernyataan Kardinal Suharyo pada 29 November 2021 itu, memicu demonstrasi di depan Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta, pada 10 Desember 2021. Dalam aksi itu, massa yang menamakan diri, “Front Mahasiswa Katolik se-Tanah Papua,” diwakili koordinator lapangan, Yora Logo mengeluarkan seruan: pertama, menuntut Uskup Jayapura dan Timika harus berasal dari orang asli Papua. Kedua, meminta Kardinal Suharyo mencabut dukungannya kepada pemerintah atas situasi konflik Papua yang memojokan umat Tuhan. Ketiga, mendesak duta besar Vatikan dan KWI menyampaikan situasi konflik Papua kepada Paus Fransiskan. Keempat, apabila tuntutan di atas tidak dipenuhi, maka umat Katolik pribumi Papua siap bergabung dengan Gereja Katolik Pasifik!

Tuntutan mahasiswa Katolik tersebut mengindikasikan sikap tidak percaya kepada KWI dan Uskup-Uskup non-Papua yang selama ini menjadi Uskup di tanah Papua. Sebab, rentetan penderitaan kawanan domba orang asli Papua tidak pernah mendapatkan perhatian Uskup-Uskup di tanah Papua, dan KWI di Jakarta. Karena itu, ada desakan agar Gereja Katolik di tanah Papua dipimpin oleh Uskup orang asli Papua supaya bisa menyuarakan penderitaan orang Papua sampai di Vatikan!

Kita mengetahui bahwa dalam tradisi Gereja Katolik, ada yang namanya kunjungan ad limina. Kunjungan ini biasa dilakukan lima tahun sekali. Uskup-Uskup Indonesia, tahun 2019 melakukan kunjungan ad limina. Mereka bertemu dengan Paus Fransiskus. Apakah para Uskup dari tanah Papua berbicara dengan Paus Fransiskus mengenai konflik Papua pada kunjungan tersebut?

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Gereja Katolik dan Usaha Menyembuhkan Luka Papua

Papua sedang terluka! Bagaimana Gereja Katolik mengambil peran menyembuhkan Papua? Siapa perlu terlibat di dalam usaha penyembuhan terhadap luka Papua? Apa yang harus dilakukan oleh Gereja Katolik untuk menyembuhkan luka Papua?

Di tanah Papua, ada lima keuskupan, yaitu keuskupan Agung Merauke, keuskupan Jayapura, Manokwari-Sorong, Agats dan Timika. Artinya, ada lima orang Uskup di tanah Papua. Setiap Uskup secara otonom bertanggung jawab atas umat Allah di wilayahnya. Meskipun demikian, lima Uskup tersebut dipersatukan dalam satu provinsi gerejawi. Karena itu, setiap tahun ada pertemuan para Uskup di tanah Papua untuk membahas berbagai karya pastoral di wilayah masing-masing dan karya yang dilaksanakan secara bersama-sama.

Selain itu, di setiap keuskupan, ada Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) dan atau Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKP-KC) yang dikelola oleh Ordo/Taraket. SKP dan SKP-KC bekerja mengadvokasi Papua secara menyeluruh (sipil politik, dan ekonomi, sosial, budaya, hutan alam). Maka, pemetaan permasalahan Papua dan upaya penyelesaian berbasis pastoral sudah tersedia. Kini, kita menunggu keberanian para Uskup di tanah Papua untuk menyuarakan usaha penyembuhan luka Papua secara nyata dalam kata-kata seruan dan dalam tindakan nyata di tengah kehidupan orang asli Papua.

Para Uskup di tanah Papua perlu mengikuti jejak Uskup Herman Muninghoff dan Uskup John Saklil yang bersuara lantang atas pelanggaran hak asasi orang Papua. Keduanya telah memperlihatkan sikap dan tindakan berpihak pada orang Papua. Keduanya sekaligus menjadi model Uskup yang sangat dirindukan dan dibutuhkan di tanah Papua.

Para Uskup juga memiliki Pastor, yang berkarya di kota-kota sampai pelosok tanah Papua. Melalui para Pastor, Uskup mendapatkan laporan kondisi riil kawanan domba orang Papua. Berbekal informasi akurat dari para Pastor tersebut, hendaklah para Uskup bersuara lantang membela hak hidup orang Papua yang dicaplok atas nama apa pun!

Pada akhirnya, para Uskup di tanah Papua, perlu membuka diri terhadap permasalahan Papua. Uskup tidak lagi menjadi Uskup untuk urusan doktrin dan dogma saja, melainkan terlibat dalam penderitaan orang Papua. Pada titik ini, para Uskup perlu berinisiatif mengundang tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan, perwakilan mahasiswa melakukan dialog seputar upaya Gereja Katolik menyembuhkan luka Papua. Dengan demikian, Uskup mendapatkan tambahan informasi untuk menyuarakan kerinduan dan dambaan orang Papua kepada pemerintah Indonesia.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kita menyadari bahwa untuk dapat menyembuhkan luka Papua, Gereja Katolik melalui para Uskup dan Pastor tidak bisa berjalan sendiri. Uskup dan Pastor perlu berjalan bersama umat Katolik Papua. Lazimnya seorang gembala, mesti selalu ada bersama kawanan dombanya. “Gembala dan domba harus berada di dalam satu kandang!” Sebab, luka Papua adalah luka kawanan domba yang membutuhkan penanganan intensif dari dalam!

Kalau Uskup dan Pastor berada di luar, tidak masuk ke dalam hidup dan pergumulan kawanan domba orang Papua, bagaimana mereka dapat merasakan dan mengalami penderitaan orang Papua? Untuk menyembuhkan luka Papua, Uskup dan Pastor harus berani masuk ke dalam ruang-ruang hidup Papua!

Apa saja ruang hidup Papua? Ruang sejarah politik dan ideologi Papua. Ruang pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya. Ruang sumber daya alam (hutan dan tambang). Ruang-ruang hidup Papua itu sedang terluka dan bernanah. Semua luka itu mendera Papua. Rumah hidup Papua penuh luka dan borok. Uskup dan Pastor harus masuk ke dalam rumah Papua seperti itu.

Penyembuhan luka Papua harus bermula dari dalam rumah dan ruang hidup Papua! Artinya, Gereja Katolik, melalui Uskup dan Pastor perlu belajar mendengarkan dan memahami setiap ruang hidup Papua. Kemudian, bersama-sama kawanan domba membersihkan dan membalut luka-luka pada tubuh Papua. Pada titik ini, dialog dan rekonsiliasi menjadi sangat penting dan perlu dilakukan dalam semangat mengobati, menyembuhkan dan memulihkan Papua.

Kita meyakini bahwa Roh Kudus membimbing para Uskup dan Pastor di tanah Papua agar dapat hidup dan berjalan bersama Papua: manusia, budaya, alam dan leluhur Papua. Kita mengakui bahwa Papua sedang terluka dan mengharapkan Gereja Katolik mengambil bagian dalam penyembuhannya. Penyembuhan Papua harus bermula dari dalam rumah dan ruang hidup Papua. Karena itu, Gereja Katolik, melalui Uskup dan Pastor harus masuk ke dalam rumah hidup Papua.

Di dalam rumah hidup Papua itulah, gembala dan domba tinggal bersama dan saling bicara tentang sukacita dan dukacita yang dialami sebagai manusia orang asli Papua! Tetapi, bagaimana kita dapat menyiapkan ruang dialog yang lebih luas di dalam rumah Papua, yang akan mengantar pada rekonsiliasi menuju pemulihan dan penyembuhan luka Papua? Sekali lagi, gembala dan domba perlu duduk bicara secara bersama-sama di dalam rumah Papua!

Nabire 11 Desember 2011.

Catatan: [Tulisan ini sebelumnya, telah dimuat di media www.suarafajartimur.com, pada tanggal 21 Desember 2021.]

 

 

 

Artikel sebelumnyaHimbauan Kapolda Papua dan Miras yang Beredar Bebas
Artikel berikutnyaDiduga Dua Anggota TNI Perkosa Seorang Perempuan di Kota Jayapura