Gereja Katolik Indonesia Jangan Menambah Luka Papua (bagian I)

0
1347
Para Uskup Katolik di Indonesia. (kawali.org)
adv
loading...

Oleh: Petrus Pit Supardi)*
)* Penulis adalah Pekerja Pemberdayaan Masyarakat Kampung di Kabupaten Nabire, Papua

“Saya bertemu Ignatius Kardinal Suharyo selama dua jam, pada tanggal 7 April 2021. Dalam pertemuan itu, saya minta Kardinal untuk melobi pengambil kebijakan politik di Jakarta agar menghentikan upaya penambangan emas yang memicu terjadinya pendekatan militeristik sebagai jawaban atas penolakan masyarakat. Namun, apa kata Kardinal Suharyo saat bertemu Muhaimin Iskandar? Pilihan politik Romo Kardinal ini, sangat melukai kami sebagai OAP,” tutur Saul Wanimbo, Koordinator SKP Keuskupan Timika, pada Rabu (08/12/2021).

Komentar Saul Wanimbo di atas merespon pernyataan Ignatius Kardinal Suharyo pada saat bertemu Muhaimin Iskandar pada hari Senin, (29/11/2021) di kantor KWI, Cikini, Jakarta. Pada kesempatan itu, Kardinal Suharyo, sebagaimana ditulis dalam nasional.tempo.co bilang, “Sikap gerej Katolik yang resmi terhadap masalah Papua itu sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah, karena dijamin undang-undang internasional!”

Terhadap pernyataan Kardinal Suharyo tersebut, Sekretariat Keadilan Perdamaian (SKP) se-Papua mengeluarkan siaran pers berjudul, “Catatan Khusus untuk Bapa Ignatius Kardinal Suharyo.” SKP se-tanah Papua menyampaikan tiga poin penting.

Pertama, Ketua KWI Bapa Ignatius Kardinal Suharyo hendaknya dalam menyampaikan sikap yuridis politis harus juga disertai sikap pastoral  dalam semangat koordinasi dengan Uskup setempat berkaitan dengan situasi konflik di tanah Papua.

ads

Kedua, Konferensi Wali Gereja Indonesia hendaknya menggunakan laporan-laporan SKP se-Papua sebagai bahan rekomendasi kritis ke pemerintah Indonesia terkait kebijakan untuk Papua.

Ketiga, pemerintah Indonesia hendaknya mendengarkan masukan-masukan dari Uskup-Uskup di tanah Papua sebagai ordinaris wilayah yang paham karena mengalami situasi umat di tanah Papua.

Papua yang Terluka

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Papua memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah Papua tak pernah terlepas dari air mata, luka, darah dan kematian. Sampai saat ini, Papua sedang terluka. Manusia, budaya, alam, tempat keramat dan leluhur Papua sedang menjerit karena luka yang sedang dideritanya!

Siapa sebenarnya Papua? Siapa yang menciptakan luka pada tubuh Papua? Mengapa Papua dilukai terus-menerus?

Kita mengetahui bersama bahwa Papua memiliki sumber daya alam melimpah. Di atas tanah Papua, berdiam manusia orang Papua, hitam kulit, keriting rambut. Harmoni Papua selalu terpelihara melalui relasi hidup baik antara manusia, alam dan leluhur. Karena itu, ketika kita bicara tentang Papua, selalu berdimensi tripel: manusia (termasuk budaya), alam dan leluhur.

Kekinian, dimensi lain yang penting bagi orang Papua yaitu Tuhan Allah. Sebuah pemahaman baru yang diterima melalui kehadiran para misionaris Katolik dan Protestan. Secara khusus, kehadiran misionaris Protestan, Ottow dan Geissler di pulau Mansinam, Manokwari pada 5 Februari 1855 mengubah wajah Papua, dari suasana “hidup gelap” kepada “hidup terang!” Tetapi, apakah kehadiran misionaris Eropa ini, sungguh-sungguh menerangi hidup orang Papua, atau sebaliknya menciptakan “kegelapan baru” dan luka bagi orang Papua?

Saat ini, kita melihat dan mengalami bahwa suasana hidup harmoni semakin jauh dari Papua. Manusia, alam dan leluhur Papua berada dalam suasana “persimpangan jalan!” Papua mau ke mana? Sebab, pada setiap persimpangan ada “ranjau” yang siap meledak dan menghanguskan!

Gereja Protestan dan Katolik, datang membawa Yesus dan Injil untuk Papua. Untuk menerima Yesus dan Injil, budaya warisan turun-temurun harus dilepaskan. Misionaris bilang benda-benda keramat itu sebagai berhala-berhala. Ungkapan-ungkapan penghormatan kepada alam dan leluhur perlahan-lahan dilepakan atas nama Yesus dan Injil.

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

Papua terluka! Sebab, harus melepaskan keyakinannya yang diwariskan turun-temurun. Tetapi, demi menjadi anak-anak Allah dan memasuki “rumah baru bernama Gereja,” orang Papua rela melepaskan sebagian budayanya. Harapannya, dengan melepaskan sebagian budaya dan masuk ke dalam rumah Gereja, hidup harmoni warisan turun-temurun tumbuh subur dan berbuah lebat. Papua menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Apakah harapan itu menjadi kenyataan?

Selain misionaris Protestan dan Katolik, pemerintah Belanda juga datang ke Papua. Bersama dengan para misionaris, pemerintah Belanda membangun “peradaban modern” bagi Papua. Ada sekolah. Ada klinik kesehatan. Ada pertanian dan perkebunan. Ada pengeboran minyak.

Secara politik, pemerintah Belanda berjanji mempersiapkan kemerdekaan bangsa Papua. Hal ini tampak jelas pada tanggal 1 Desember 1961, dilaksanakan proklamasi kemerdekaan bangsa Papua. Pada saat itu, lagu tanah Papua berkumandang dan bendera Bintang Kejora berkibar di samping bendera Belanda.

Ironisnya, pada tanggal 19 Desember 1961, atau hanya delapan belas hari setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Papua, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Tri Komando Rakyat (Trikora). Isinya,   pertama, gagalkan pembentukan negara Papua. Kedua, kibarkan bendera merah putih di Papua Barat; ketiga, bersiap untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Papua terluka dari waktu ke waktu tanpa tahu kapan akan sembuh dan pulih? Gereja Protestan dan Katolik, pemerintah Belanda dan Indonesia, tidak mengobati luka Papua. Dampaknya, Papua semakin terluka dan hanya menyisakan air mata dan kematian. Kini, Papua lebih dekat pada kematian daripada kehidupan!

Mengapa Papua dilukai terus-menerus, baik oleh Gereja, secara khusus Gereja Katolik Indonesia maupun pemerintah Indonesia? Kita melihat bahwa sampai saat ini, sejak Gereja masuk di tanah Papua, 1855 dan Indonesia menguasai Papua melalui pelaksanaan Pepera 1969, Papua tidak pernah dilihat sebagai satu kesatuan bangsa, kultur dan ras melanesia, yang berhak mengatur diri, hidup dan masa depannya. Bahkan Indonesia, tidak pernah membuka diri untuk membicarakan Papua secara menyeluruh. Sebab, klaim “Papua sudah final di dalam NKRI!” mendominasi. Padahal, Pepera 1969 merupakan sebuah pembohongan publik karena hanya diikuti oleh 1.025 orang dari 800 ribuan lebih jiwa orang Papua saat itu.

Baca Juga:  Masyarakat Tolak Pj Bupati Tambrauw Maju Dalam Pilkada 2024

Saat ini, pemerintah Indonesia mengedepankan pendekatan keamanan dalam menghadapi permasalahan Papua. Kita melihat, ribuan pasukan tentara, polisi dan intelejen membanjiri tanah Papua. Tetapi, apakah kehadiran pasukan keamanan Indonesia itu dapat menyelesaikan permasalahan Papua? Tidak! Justru menambah penderitaan Papua!

Di tengah situasi tersebut, Gereja Katolik (di) Papua berupaya bersuara melalui para Pastor yang berkarya di tanah Papua! Para Pastor Katolik menyuarakan agar permasalahan Papua dapat diselesaikan dengan cara-cara damai dan bermartabat, yaitu melalui dialog yang setara antara pemerintah Indonesia dan Papua. Berulangkali, seruan, konferensi pers dan laporan-laporan diterbitkan, tetapi tidak berdampak pada penyelesaian Papua secara menyeluruh! Sebab, sampai saat ini pendekatan keamanan dan intelejen masih diberlakukan di Papua. Ruang dialog masih tertutup rapat.

Bersambung… (bagian kedua dari tulisan ini akan terbit dengan judul Sikap Diam Uskup dan KWI terhadap Penderitaan Papua)

Catatan: Tulisan ini sebelumnya, telah dimuat di media www.suarafajartimur.com, pada tanggal 21 Desember 2021. Dan juga telah diterbitkan di blog Kompasiana pada edisi 23 Desember 2021. ]

 

Artikel sebelumnyaNetha Boseren: Ibu Guru, Suka Bikin Kue dan Perjuangan Membangun Literasi di Papua
Artikel berikutnyaBudaya Empat Suku di Tambrauw akan Dimasukkan dalam Kurikulum Pendidikan