Papua: Peluang Tak Bertangga

0
975

Sebuah Refleksi Analitis atas Kebijakan Otonomi Khusus & Pemekaran Provinsi Papua

Oleh: Wensi Fatubun)*
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan HAM di Papua

Akhir-akhir ini masyarakat di provinsi Papua kembali disibukan dengan pembahasan revisi kedua UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan wacana pemekaran provinsi Papua menjadi beberapa provinsi. Pelbagai percakapan dibuka untuk mendiskusikan revisi UU No. 21 dan pemekaran provinsi Papua. Bahkan pelbagai publikasi di media arus utama dan media sosial sangat gencar, baik itu pro maupun kontra.

Revisi UU No. 21 Tahun 2001 dan pemekaran semakin mendapatkan angin segar sejalan dengan menguatnya wacana pendekatan politik pembangunan ekonomi di provinsi Papua yang berbasis wilayah adat. Pertanyaannya apa refleksi kita terhadap revisi kedua UU No. 21 Tahun 2001 dan pemekaran? Siap yang untung? Siapa yang butung?

Perbagai pertanyaan di atas ini perlu dijawab melalui pertanyaan apa orientasi dan manfaat dari strategi kebijakan pemekaran di provinsi Papua bagi orang asli Papua? Saya kira orientasi dari kebijakan pemekaran yang tengah didiskusikan itu berbasis pada gagasan percepatan pembangun fisik dan mengikuti tuntutan perdagangan dunia (liberalisasi perdagangan), dan bukan mengikuti logika kebutuan masyarakat Papua, apalagi orang asli Papua. Salah satu cerminan dari orientasi itu adalah keyakinan bahwa pembangunan dan perdagangan akan menciptakan kemakmuran bersama semua orang. Hal ini disebabkan oleh tiga hal:

ads
  • pertama, pembangunan dan perdagangan akan menciptakan allocative efficiency. Pembangunan dan liberalisasi perdagangan akan menyebabkan pemerintah untuk melakukan spesialisasi dalam produksi setiap item di mana mereka secara relatif lebih efisien. Inilah yang oleh David Ricardo, salah satu peletak dasar teori ekonomi klasik, disebut sebagai teori comparative advantage. Sebaliknya, pada sisi koin dari mata uang yang sama, pembangunan dan pembatasan perdagangan atau distorsi cenderung menurunkan allocative efficiensy.
  • kedua, perdagangan akan menghasilkan efficiency from competition. Maksudnya, dengan terlibat dalam aktivitas pembangunan dan perdagangan global, pemerintah harus mendorong masyarakat lokal untuk bertarung di pasar, dan kemudian memaksa mereka agar lebih inovatif. Dengan cara demikian, pada akhirnya masyarakat lokal tersebut lebih efisien dalam berproduksi. Hasil akhirnya, kompetisi akan melahirkan harga yang lebih murah dan pelayanan terhadap konsumen yang lebih baik.
  • Ketiga, pembangunan dan perdagangan juga melahirkan apa yang disebut imported effisiency. Artinya, pemerintah mau tidak mau harus membuka pasarnya terhadap investasi dari luar, atau impor teknologi dari luar. Komponen yang datang dari luar daerah ini diharapkan akan membawa metode proses produksi yang lebih efisien.
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sebagai contoh, beberapa perusahaan multinasional tetap mempertahankan sebuah standar global, dan membawa teknologi dan praktik ekonominya pada level yang sama di mana pun mereka menginvestasikan modalnya di dunia ini. Asumsi ini mengharuskan pemerintah untuk mengambil kewenangan lebih dalam merumuskan kebijakan, bahkan mengintervensi pelaksanaan kebijakan di tanah ini. Hal ini diperlihatkan dengan sangat jelas dalam UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, khususnya pasal 76 ayat 2 dan ayat 3, dan Impres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Sehingga, tanpa berlebihan, dapat dikatakan bahwa orientasi kebijakan pemerintah untuk Papua itu ibarat menciptakan tangga di mana beri peluang kepada orang lain (the others) untuk menaiki tangga itu, dan tangga itu ditendang keluar setelah the others mencapai tujuan sehingga orang Papua yang sedang mengejar ketertinggalan menaiki tangga tersebut tak perna mencapai tujuan.

Kalau asumsi ini betul, maka pertanyaan kemudian siapa yang diuntungkan lewat kebijakan pemekaran ini? Masyarakat Papua asli sebagai kelompok minoritas pasti tidak diuntungkan. Mengapa? Ada beberapa hal yang kiranya jadi alasan, yakni masih rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan, penduduk Papua asli kalah bersaing dalam segalah aspek dari para pendatang,  monopoli para pendatang di bidang ekonomi dan terbengkalainya potensi-potensi alam daerah, ketidakadilan dalam pelayanan yang sering memprioritaskan para pendatang yang memiliki modal dan dekat dengan kekuasaan, tidak trasparannya kebijakan pembangunan pemerintah, dominasi relasi kekerabatan pada jabatan-jabatan penting di pemerintahan sehingga penduduk Papua asli pada umumnya tidak bisa mengakses proses penentuan kebijakan menyangkut daerahnya sendiri, diambil alihnya tanah-tanah adat oleh negara dan dieksploitasi oleh para pengusaha, ketidakadilan dalam perlakuan hukum yang sering berpihak pada mereka yang memiliki modal dan punya akses kekuasaan, penyeragaman hukum dan sistem nilai yang mengurangi pengakuan terhadap aturan dan hukum adat daerah, banyak daerah masih terisolasi dan sulit untuk berkembang, tingginya harga kebutuhan pokok, tingginya buta uruf dan buta angkah, dan tingginya harga bahan pokok serta pemerintah melakukan monopoli pada bidang transportasi laut dan udarah.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Kesemuanya ini menimbulkan pertanyaan mendasar, seberapa jauh manfaat dari orientasi kebijakan pemekaran di tanah papua untuk masyarakat? Pertama; Dalam pelbagai kasus yang terjadi sebelumnya, khususnya dalam periode 1970-1999, disebutkan bahwa “marjinalisasi atau pemiskinan masyarakat Papua asli terjadi bukan karena mereka malas dan bodoh, tetapi justru mereka diciptakan untuk malas dengan pelbagai bantuan, proyek dan proposal. Masyarakat Papua asli bukan bodoh tetapi dibuat bodoh supaya tanah, laut dan hutan mereka digarap dan dieksploitasi demi kekayaan segelintir orang tertentu.

Singkatnya, marjinalisasi atau pemiskinan atau pembodohan itu terjadi karena sistem kebijakan pembangunan dari penguasa yang tidak berpihak. Ingat pengalaman tangga yang ditendang keluar. Kedua; para pedagang kaki lima (PKL) akan turut tersingkir dengan pola atau orientasi kebijakan itu. Ketiga; Potensi konflik kekerasan semakin terbuka lebar. (*)

Artikel sebelumnyaDemi Penyadaran Basis, KNPB Dogiyai akan Tetapkan Sektor Baru
Artikel berikutnyaWartawan dari Maros Raih Penghargaan Oktovianus Pogau