Elegi Integritas Pejuang yang Terkekang

0
1028

Oleh: Sarlotha Mandosir *)
*) Penulis adalah pemerhati masa depan Manusia dan Tanah Papua. Tinggal di Biak.

Yang dimaksud pejuang yang disoroti dalam tulisan ini adalah orang asli Papua (OAP). Sebagai pejuang, integritasnya sedang terkekang saat ini. Di satu sisi kita sebgai OAP menginginkan perubahan yang lebih baik dengan mempertahankan harga diri kita, bahkan dengan nyawa taruhannya, namun di sisi lain integritas kita terkekang membuat kita tak mampu bersuara. Kalaupun bersuara ada konsekuensi mahal yang harus dibayar, bahkan lebih menyakitkan lagi di antara kita sendiri saling membunuh demi sebuah pamor yang tak pasti yang bisa kita genggam atau seperti tiupan angin yang tak dapat dirangkul, hanya dapat dirasakan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pertikaian di antara anak serumah pun membuat kita lupa membangun benteng bagi rumah negeri kita, sementara “musuh” dengan segala daya tenaga dan kekuasaan memporak-porandakan mahkota dan kerajaan kita.

Untuk itu sangat perlu mengingatkan dan membangunkan yang sedang lelah beradu dengan saudara sendiri tanpa memikirkan apa yang akan kita pakai untuk menjaga identitas kita, harga diri bangsa dan terlebih lagi membayar utang warisan yang mau atau tidak mau wajib diwariskan pada generasi selanjutnya.

Ketika kita sesama saudara orang asli Papua sibuk untuk saling mengejek, meremehkan, membenci maupun saling menyerang, kita tidak menyadari bahwa orang luar yang ada di Tanah Papua, maupun yang bebas berdatangan dari luar sibuk merebut hak milik kita, baik tanah, kekayaan alam hingga harga diri kita.

ads
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pada saat kita menyadarinya, akan terlambat karena integritas kita telah dikekang dari segala penjuru kepentingan.

Jika demikian, apa yang akan kita banggakan untuk kita wariskan bagi generasi mendatang. Apakah kita akan mewariskan kehebatan dan kepintaran kita, sementara itu akan lenyap seiring dipanggilnya kita “pulang”? Apakah kita akan menurunkan cerita kejayaan seorang Mambri atau Mansonanem atau Binsyowi tanpa bukti yang dapat dilihat atau disentuh oleh anak cucu kita kelak?

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Apakah masih mungkin kita membuat syair tentang alam dan kekayaan yang berlimpah serta menyanyikannya sementara saat ini pun kita menorehkan tinta dengan tangan kita sendiri untuk setiap perjanjian yang merenggut negeri penuh susu dan madu?

Semuanya “terjual” demi hari ini dan sebuah janji yang tak pasti.

Tulisan ini bukan hendak memprovokasi tetapi sedikitnya mari kita berpikir jernih menyikapi fenomena yang sedang terjadi di sekitar kita di negeri ini dan coba membayangkan apa yang akan terjadi pada 1 atau 2 dekade atau se abad ke depan. (*)

Artikel sebelumnyaBerhasil Patahkan Gigi Bajul Ijo, Persipura Naik ke Urutan 15 Klasemen
Artikel berikutnyaPemekaran Provinsi Baru Dikhawatirkan Ancam Eksistensi Hutan Konservasi Tambrauw