ArtikelMemahami Kepentingan Investasi Dengan Dalih Pembangunan Kesejahteraan Rakyat Papua Melalui Otsus dan...

Memahami Kepentingan Investasi Dengan Dalih Pembangunan Kesejahteraan Rakyat Papua Melalui Otsus dan DOB

Oleh: Yohanis Mambrasar)*
)* Praktisi Hukum di Tanah Papua

Tulisan pendek ini saya buatkan untuk merespons kegelisahan kawan-kawan mahasiswa Tambrauw (yang saya temui dalam diskusi di Grup IPMT, dalam merespons situasi politik di Tanah Papua beberapa waktu belakangan ini, dalam isu Otsus, pemekaran, dan juga isu Pj Gubernur Papua Barat yakni penunjukan Paulus Waterpauw).

Saya mencoba memberikan ulasan singkat ini untuk menggambarkan kondisi-kondisi objektif yang terjadi dibalik pertarungan-pertarungan kepentingan yang membentuk kondisi sosial politik di Papua saat ini. Tulisan pendek ini tidak rapi secara struktur dan juga penggunaan kata baku, karena saya membuatnya dalam situasi tidak siap dalam hal menulis. Tulisan ini telah saya publikasikan dua minggu lalu pada 14 Mei 2022 di Grup IPMT, namun karena situasi dan kondisi Papua saat ini yang masih relevan, saya mempublikasikan lagi kepada publik lebih luas sebagai bahan bacaan bersama.

Eksistensi OAP
Untuk Anda yang merasa punya hutan, punya tanah, yang di dalamnya terkandung tambang: emas, tembaga, nikel, uranium, baja, minyak, gas dan berbagai jenis tambang lainnya, di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, harus bisa memastikan Anda akan tetap memiliki hak penuh atas hutan dan tanah Anda tersebut. Anda harus memastikan bahwa hutan dan tanah Anda akan tetap ada di bawah kendali penuh Anda, termasuk juga harus bisa memastikan bahwa ikatan luhur Anda dengan tanah dan nenek moyangmu, asal-usulmu akan tetap terjalin sampai masa tuamu dan hingga anak cucumu.

Saya sangat yakin ketika Anda kehilangan tanah, maka Anda akan kehilangan hak Anda atas tanah anda, maka Anda juga kehilangan hak pusaka Anda dalam komunitas sosial Anda atau dalam komunitas suku atau masyarakat adat yang lebih luas.

Banyak komunitas masyarakat adat di dunia dan lebih khusus di Indonesia dan Papua yang telah kehilangan tanah dan hutan, kini mereka pun telah kehilangan pusakanya, mereka telah kehilangan jati dirinya, tidak lagi memiliki ikatan luhur dengan tanah dan nenek moyangnya, mereka menjadi orang yang tidak punya otoritas sosial yang kuat dalam komunitasnya, mereka kehilangan power dalam mempertahankan hidupnya.

Contoh-contoh ini bisa mudah kita temukan dalam masyarakat di Papua, misalnya pada masyarakat adat Sentani, Keerom di wilayah Jayapura (Tabi), masyarakat adat Moi di Sorong, termasuk orang Biak di Sausapor (Bikar), orang Biak Doreri di Manokwari, atau orang-orang Biak dan Serui lainnya yang telah lama bermigrasi tinggalkan kampung halamannya.

Mungkin Boy Eluay, Ramses Ohee, Abisai Rollo bisa sebagai contohnya. Mereka hanya bisa mempertahankan dirinya sebagai Ondoafi atau Ondofolo, tetapi tidak punya lagi power dalam mengendalikan masyarakatnya atau tidak punya hak lagi untuk mengatur wilayah adatnya. Sama halnya Kepala-Kepala Suku buatan dalam suku Biak, seperti A Mirino dan Paul Vinsen Mayor di wilayah Sorong yang tidak punya otoritas atas tanah dan wilayah adat dan tidak memiliki pengakuan dan legitimasi sebagai pimpinan suku, namun suka mengklaim diri di media sosial sebagai kepala suku. Ini terjadi karena mereka telah kehilangan tanah dan tidak memiliki hubungan lagi dengan tanah dan leluhurnya, hubungan itu telah putus.

Kepentingan Dibalik Otsus dan DOB
Perpanjangan Otsus dan DOB di Papua adalah agenda kapitalisme dan kaum borjuis nasional (elit-elit politik, pejabat militer: TNI Polri. Wujud kepentingan kapitalisme dapat kita saksikan bersama dalam bentuk agenda korporasi yang mengeksplorasi tambang dan kegiatan perkebunan di Papua, Papua Barat. Misalnya PT Freeport, BP LNG Tanggu, PT Petro Gas (PT Petro Cina), proyek Blok Wabu di Intan Jaya, proyek MIFEE di Merauke, proyek KEK di Sorong, dan proyek-proyek perkebunan Sawit dan Kayu Log yang marak di seluruh Tanah Papua.

Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Otsus dan DOB adalah alat (kebijakan) untuk mengendalikan Papua dalam negara Indonesia untuk tujuan pengerukan (eksploitasi) sumber daya alam. Sedangkan manusia Papua hanyalah hitungan terakhir sebagai dalil (Narasi pembangunan dan kesejahteraan rakyat hanyalah alasan untuk perlancar kepentingan investasi) yang berfungsi sebagai basis perantara untuk sukseskan agenda kapitalisme itu. Otsus dan DOB adalah kebijakan politik yang bertujuan memperlancar kepentingan investasi di Tanah Papua. Tujuan utama Otsus dan pemekaran bukanlah untuk kepentingan memajukan atau memartabatkan manusia Papua.

Lihatlah arah kebijakan ekonomi politik pemerintah Indonesia saat ini, investasi menjadi fokus utama rezim Jokowi. Lihatlah bagaimana sistem hukum dan birokrasi (Pusat sampai daerah) ditata sebagai pelayan investasi melalui UU Omnibus Law. Lihatlah materi-materi diplomasi Jokowi dalam forum-forum internasional di Forum G20, KTT Asean-As yang baru saja dilakukan beberapa waktu lalu, ia bicara tentang kebijakan Indonesia yang mempermudah investasi, dan sumber daya alam Indonesia (termasuk Papua) yang sangat melimpah dan siap dikelola dengan biaya murah.

Lihatlah isi kesepakatan-kesepakatan pemerintah Indonesia dengan WTO, IMF dan Word Bank yang mempermudah investasi korporasi internasional, namun tidak memberikan perlindungan kepada masyarakat adat pemilik sumber daya alam dan buruh sebagai pekerja.

Arah kebijakan politik Jokowi yang pro-kapitalisme ini membentuk sistem hukum dan birokrasi pemerintah yang sangat loyal mengabdi pada kapitalisme (kepentingan investasi kapital/korporasi global) dengan setia bekerja “mempercepat”, “mempermudah”, dan “memperlancar” investasi. Rakyat hanya ditipu-tipu, dibuai dengan dalil Investasi untuk membuka lapangan kerja dan mensejahterakan rakyat.

Dalam kebijakan Otsus dan DOB pun rakyat Papua ditipu, dibuai dengan dalil percepatan pembangunan kesejahteraan rakyat Papua. Narasi-narasi palsu yang dibangun oleh kapitalisme dan didukung olah para militer (TNI/Polri) dan borjuis (kaum pragmatis dan feodal yang berperan sebagai elit nasional, elit lokal, para birokrat, elit partai, dosen-dosen, peneliti, konsultan, wartawan, dan penegak hukum).

Apa buktinya? Faktanya yang terjadi setelah kebijakan investasi dilakukan yang terjadi adalah kapitalisme semakin jaya, mereka semakin kaya raya dari hasil pengerukan sumber daya alam milik masyarakat adat, para pemilik modal/investor meraup keuntungan secara mudah atas dukungan perangkat hukum dan birokrasi. Namun rakyat: Masyarakat adat maupun buruh hanyalah korban, masyarakat adat kehilangan hutan sebagai ruang hidup dan tetap hidup miskin, mereka hidup dalam konflik tanah antar saudara, antar kelompok klan atau suku; mereka kekurangan pangan, serta layanan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, ekonomi sangat buruk. Para buruh juga sama, mereka dipaksakan bekerja dalam sistem yang buruk: upahnya murah, beban kerjanya tinggi, dan minim perlindungan dan pemenuhan hak-hak. Padahal buruh dan masyarakat adat memiliki peran vital dalam membangun bangsa dan negara.

Sama halnya dalam kebijakan Otsus dan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat yang dipaksakan oleh pemerintah Indonesia. Otsus dan DOB dipaksakan dengan dalih untuk mensejahterakan rakyat Papua, dengan dalih itu Otsus dan DOB dilaksanakan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Namun apa yang terjadi pasca Otsus dan DOB dijalankan? Berkaca pada pengalaman Otsus dan pemekaran yang telah dijalankan semenjak tahun 2001 dan komitmen politik pemerintah serta pola kerjanya, kita dapat melihat banyak fasilitas publik dibangun seperti jalan, jembatan, pasar dan kantor-kantor pemerintah, serta lahirnya para elit lokal Papua yang sangat korup. Namun banyaknya kemajuan pembangunan fisik dan elit lokal Papua korup itu tidak membuat orang Papua semakin kuat dan maju menjadi manusia-manusia berdaulat secara politik, ekonomi, pangan, maupun budaya, yaitu manusia yang mampu berproduksi, memiliki mental kerja yang kuat dan skill yang mumpuni dan merata, yang kemudian wujudnya membentuk manusia Papua yang menguasai birokrasi pemerintah di semua satuan dan level, menguasai ekonomi dan menjadi terampil dalam berwirausaha, menguasai manajemen, jadi leader dalam dunia industri (perusahaan-perusahaan).

Lihat saja pada era Otsus dan pemekaran pasca tahun 2000, banyak rakyat Papua semakin marjinal di semua sektor. Lihat di sektor ekonomi: pada sektor jasa dan industri masih diikendalikan oleh warga Non Papua, pengembangan ekonomi oleh pemerintah masih bersifat programatik yang dikembangkan sebatas waktu program, serta lebih banyak menyasar warga Non Papua. Penguasaan pasar sampai proyek-proyek infrastruktur skala kecil dan besar dikendalikan penuh oleh orang Non Papua. Pembinaan-pembinaan ekonomi oleh pihak wiraswasta seperti bank lebih banyak menyasar pelaku ekonomi Non Papua, orang Papua sangat sulit mengakses modal usaha. Di Toko, Supermarket, Hotel dan Perusahaan Jasa lebih banyak mempekerjakan orang Amber. Mereka tidak memberikan ruang yang besar bagi rakyat Papua. Sistem ekonomi yang dijalankan ini masih sangat rasis dan diskriminatif.

Orang Papua di masa Otsus dan pemekaran ini menjadi manusia konsumtif, manusia yang hanya bisa memakai, menggunakan, meminta, berharap atau bergantung pada orang lain, bergantung pada uang, namun tidak mampu berproduksi secara mandiri.

Di sektor birokrasi, orang-orang non Papua (Amber) masih mendominasi sistem pemerintah. Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan Bupati Walikota memang dikhususkan untuk diduduki oleh Orang Asli Papua, namun jabatan-jabatan strategis lainnya masih tetap dikendalikan oleh orang-orang Non Papua. Bahkan pada beberapa kota-kota tertentu seperti Kota dan Kabupaten Sorong, Kota dan Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, Manokwari, Timika dan Merauke, jabatan Wakil Bupati atau Wakil Walikota menjadi jabatan wajib orang Non Papua. Di bidang legislatif, kursi-kursi DPR tingkat Kota, Kabupaten dan Provinsi Papua masih banyak diduduki oleh warga Non Papua.

Pada sektor industri pertambangan, Migas dan perkebunan pun orang Papua hanya menjadi penonton menyaksikan tanah dan hutannya dikeruk untuk memperkaya investor dan para elit nasional, lokal dan pejabat TNI Polri.

PT Freeport misalnya, sampai sekarang tidak sepenuhnya memberikan prioritas bagi orang asli Papua, dalam hal sebagai lapangan kerja maupun kesejahteraan rakyat Papua. Banyak kasus yang menunjukan hal itu, misalnya kasus PHK sepihak 8300 pekerjanya dengan kebijakan Furlog tahun 2017, dari total 8300 pekerja ini sekitar 60 – 70% adalah orang asli Papua.

Dalam hal berkontribusi bagi kesejahteraan warga Papua masih sangat minim, walaupun Freeport mengatakan telah memberi pajak besar bagi negara dan membangun banyak masyarakat Papua di sekitarnya. Namun faktanya ada banyak orang Kamoro di Timika yang hidup sangat miskin, banyak dari mereka yang tidak memiliki rumah layak, tidak memiliki akses terhadap air bersih, dan sulit mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Bahkan saat ini jika Anda ke Kota Timika dan makan di warung-warumg kecil di sekitar komplek Timika Indah, Anda akan menemui warga sempat meminta uang dengan alasan untuk beli makan atau biaya berobat. Saya pernah mengalami situasi ini secara langsung berulang kali. Sebaliknya Freeport gencar membiayai study doktoral, profesor dan guru besar dosen-dosen di Universitas Indonesia (UI), serta meningkatkan fasilitas kampus Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kasus yang sama juga dialami oleh masyarakat Moi Sorong dan rakyat Bintuni dalam hubungannya dengan kegiatan investasi PT Petro Gas (Petro Cina) dan BP LGN Tanggu. Orang Moi di distrik Segun dan Seget, wilayah pengerukan Minyak dan Gas oleh PT Perto Gas (PT Petro Cina) misalnya, sampai sekarang mereka tidak memiliki akses jalan yang baik ke kota atau lintas distrik.

Warga Seget khususnya saat ini (pada beberapa bulan lalu, atau mungkin masih sampai sekarang) harus ke kota Sorong menggunakan perahu longboat melewati laut dengan resiko yang tinggi, padahal pengerukan minyak dan gas dalam jumlah banyak di wilayah Seget dan Segun telah dilakukan lebih dari 50 tahun.

Orang Papua Semakin Tersingkir Dalam Kebijakan Otsus dan Pemekaran
Otsus dan pemekaran yang marak dilakukan dengan iming-iming untuk membangun, memajukan kesejahteraan rakyat Papua, namun faktanya tidak demikian. Faktanya kehidupan banyak orang Papua semakin memburuk, di kota-kota besar orang-orang Papua hidup dalam komunitas-komunitas miskin di sudut kota.

Contohnya di Kota Sorong, banyak warga Papua di Rufei, Klademak Pante atau di KM 8-10, hidup dalam rumah-rumah kecil yang tidak layak, mereka tidak memiliki akses air bersih yang mudah, dan juga sulit mengakses aliran listrik, dan memiliki tingkat kesehatan dan pendidikan yang buruk. Atau, banyak orang Papua di kota-kota besar di Papua dan Papua Barat telah menjadi peminta-minta di jalanan tanpa memiliki pekerjaan dan pendapatan tetap. Banyak dari mereka melakukan kegiatan meminta-minta di jalanan, atau menjaga parkiran.

Situasi yang berbeda 100% sebelum adanya Otsus dan pemekaran. Sebelum tahun 2000 tidak ada orang Papua yang meminta-minta di jalanan atau menjaga parkiran, bahkan tidak ada yang memegang karton di lampu merah untuk minta sumbangan bantuan biaya pengobatan. Tetapi saat ini pada era Otsus sangat mudah kita jumpai orang Papua memegang karton minta sumbangan biaya pengobatan.

Otsus dan DOB adalah Alat Menjajah Papua
Otsus dan pemekaran dilakukan dengan dalih membangun kesejahteraan orang Papua, namun kebijakan itu dilakukan tanpa meletakannya pada kebutuhan objektif atau aspirasi rakyat Papua. Padahal jika rakyat Papua menjadi subjek dari kebijakan tersebut, dan jika benar-benar pemerintah memiliki niat baik membangun rakyat Papua, maka mestinya kebijakan Otsus, pemekaran dan investasi di Papua harus dilakukan berdasarkan kebutuhan rakyat Papua.

Pemerintah harus mendengar dan menghargai aspirasi rakyat Papua. Karena di situlah kita dapat mengukur komitmen serius pemerintah membangun rakyat Papua. (*)

Tambrauw, 29 Mei 2022

Terkini

Populer Minggu Ini:

Manasseh Sogavare Mengundurkan Diri Dari Pencalonan Perdana Menteri

0
“Saya sangat menyadari tantangan yang ada dan saya tahu bahwa terkadang hal ini dapat menjadi beban dan kesepian; namun saya yakin bahwa saya terhibur dengan kebijakan yang baik yang kami miliki dan solidaritas dalam koalisi kami.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.