SORONG, SUARAPAPUA.com— Memperingati hari International Day of the World’s Indigenous People, Koalisi Masyarakat Adat Sorong Raya mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk mengakui dan menghormati serta melindungi hak-hak dasar masyarakat adat orang asli Papua.
Falentitus Maas, Koordinator Koaliasi Masyarakat Adat se-Sorong Raya, menegaskan momentum 09 Agustus sebagai hari kampanye perlawanan kepada kepungan investasi di Tanah Papua, dan Penolakan terhadap DOB di Papua dan Papua barat.
“Jika komunitas masyarakat adat di tanah Papua tidak melawan maka akan punah dari Tanah Papua. Kebangkitan itu hanya bisa dilakukan oleh komunitas Adat atau rakyat dari bawah, dan itu adalah masyarakat adat Papua sebagai pemilik dan korban Investasi sekaligus pemilik tanah adat di tanah Papua,” tegas Falen kepada suarapapua.com usai aksi mimbar bebas di Taman Sorong City, Kota Sorong Papua Barat (09/8/2022).
Menurutnya, 9 Agustus diperingati di seluruh dunia sebagai suatu kampanye kemanusiaan untuk perlindungan masyarkat asli (Pribumi) sesuai dengan deklarasi universal HAM PBB pada 10 Desember 1948 (Universal Declaration of Human Rights), Undang-undang perlindungan Masyarkat Adat oleh Internasioanl organisation (ILO) 1989, Deklarasi PBB tentang Masyarkat Adat pada tahun 2007.
Di Indonesia dengan dalil pembangunan dan kesejateraan Pemerintah menggunakan militer serta berbagai kekuatan legal Indonesia demi memuluskan pembangunan dan kepentingan ekonomi Nasional serta investasi asing, yang mengakibatkan pelanggaran kemanusiaan secara massif di Papua hingga sekarang ini,dan eksistensi investasi tersebut didukung penuh oleh kekuatan dan kebijakan Negara.
“Fakta saat ini Pemerintah Indonesia tidak mengakui, menghargai dan menghormati hak-hak dasar orang Papua. Hal ini dibuktikan sejak Papua dianekesasi oleh Indonesia pada 1 mei 1963. Empat tahun kemudian (1967) wilayah Papua dijadikan target pertama penanam modal asing di Indonesia, lewat Undang-undang Penanaman Modal Asing yakni perusahan raksasa PT. Freeport pada tahun 1967 diijinkan Indonesia mencaplok 2,6 juta hektar yang menyebabkan rusaknya tatanan masyarakat Papua di Timika.”
“Setelah itu perusahan minyak dan gas, serta perusahan sawit pertama di Sorong tahun 1982 dan keerom pada tahun 1984, serta mega Proyek MIFEE di Merauke, yang telah merusak lebih dari puluhan juta hektar wilayah masyarakat adat hingga sekarang ini,” bebernya.
Sementara itu, Desi Sentuf, sebelum membacakan pernyataan sikap, mengatakan, tercatat sejak Januari-Juni 2022 telah terjadi Deforestasi di Papua seluas lebih dari 1150 hektar. Kebanyakan areal deforestasi tersebut berada pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, yang melakukan ekspansi bisnis.
“Ada lima lokasi perusahaan teridentifikasi tempat kejadian deforestasi terbesar di Papua, yakni PT Inti Kebun Sawit dan PT Inti Kebun Sejahtera, kedua perusahaan ini beroperasi di Distrik Moi Sigin dan Seget, Kabupaten Sorong, PT Subur Karunia Raya di Kabupaten Teluk Bintuni, PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura, dan PT Selaras Inti Semesta di Kabupaten Merauke,” ungkap Desi Sentuf.
Berikut pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Adat Se-Sorong dengan Tegas mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia:
- Menolak Tegas DOB di atas teritorial Tanah Papua
- Menolak Tegas DOB Papua Barat Daya
- Segara Cabut Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II
- Segera menarik Militer Organik dan Non Organik dari Teritorial Tanah Papua
- Menolak Tegas Pendirian POS TNI AL di Kabupaten Tambrauw
- Menolak Tegas Pembangunan Kodim dan Pos-pos Militer baru di Teritorial Tanah Papua
- Menolak Tegas Pembangunan KEK di Kabupaten Sorong
- Menolak Tegas Bendungan Kali Klaso
- Segara Tutup PT.Freeport
- Menolak Tegas Investasi di Tanah Papua
- Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Arnold Belau